Rabu, 04 Desember 2013

Kemunafikan Cinta Membutakan


Sengaja kubuat raut wajahku berdusta. Setiap pujian selalu kusikapi dengan dingin. Kukatakan kalau aku hanya orang biasa yang punya cela, meski dalam hatiku sangat merasa tersanjung. Kupikir jika menyombongkan kesempurnaan, yang ada malah dihinakan nantinya.
Aku terus saja merendahkan diriku, tampil sesederhana mungkin, meskipun aku sebenarnya mendambakan pujian yang lebih dari sikapku itu. Dan berkatalah mereka kalau aku tampan, cerdas, dan menyenangkan. Semua pujian semakin meninggikan nilai pribadiku, hingga tak sulit bagiku menaklukkan wanita pujaan lelaki di kampusku, termasuk juga Rani.
Aku seperti ditakdirkan memilih sendiri pendamping hidupku. Termasuk juga, aku bebas menolak tawaran perasaan seorang wanita kepadaku. Rima, teman dekatku di kampus, wanita yang cerdas dengan paras yang kurang menarik, pernah kutolak cintanya. Meski begitu, ia tetap mengulang pernyataannya untuk mengetuk pintu hatiku.
Suatu hari, Rima bertanya padaku untuk ke sekian kalinya, “Za, mungkin tidak, kau mencoba untuk menerima aku apa adanya?"
Aku benci mendengar pertanyaannya itu. Ingin aku membuatnya yakin jika aku benar-benar tak punya sedikit pun rasa padanya. Maka kukatakanlah dengan nada tinggi, “Kau sadar tidak sih! Aku tidak akan tertarik kepada orang jelek sepertimu!"
Setelah itu, dia tidak pernah lagi mengungkapkan perasaannya kepadaku. Ia mulai sadar diri, meski ia tak sedikit pun merasa cangung kepadaku. Dan aku berharap ia tak tersakiti karenaku, serta bisa memperlakukan aku sebagai teman baiknya saja, selamanya.
Hingga akhirnya, aku pun tertarik kepada seorang mahasiswi cantik. Namanya Rani. Ia mahasiswi pindahan beberapa dari kota seberang. Dia seakan menjadi idola mahasiswa di kampusku. Dia memang menarik dan sangat ramah kepada siapa pun, termasuk aku. Poninya, mata sipitnya, lesung pipinya, bahkan cara bertuturnya, sungguh memesona.
Sampai suatu hari, tanpa kuduga, ia menemuiku dan bertanya mengenai tugas kuliahnya. Aku pun merasa tersanjung, sekaligus deg-degan. Tapi aku berusaha menyikapi tingkahnya secara wajar, sebab ia memang tampak dodoh, sehingga perlu menanyai mahasiswa cerdas sepertiku. Dan kukira, ia akan beruntung jika mendapatkan cintaku.
Hari berganti, dia semakin sering mendatangiku. Aku jadi besar kepala. Mungkinkah dia menyukaiku? Jika itu nyata, pasti banyak laki-laki yang akan cemburu. Entah sudah berapa tawaran cinta dari laki-laki untuknya, tapi sama sekali ia tak menggubris. Sedang untukku, ia malah mendekat sendiri. Dan kutaksir, ia ingin menjadi pemenang di antara wanita yang ingin mendapatkan perhatianku, sebagaimana aku ingin menjadi pemenang di antara lelaki yang ingin mendapatkan perhatiannya.
Waktu terus bergulir. Pada sore hari, aku sengaja menyendiri di taman kampus selepas kuliah. Keadaan itu biasanya mengantarkan si cantik di sampingku. Tepat jam 4, ia pun datang  menghampiriku. Setelah menyodorkan sekaleng minuman, ia lalu melayangkan satu senyuman manis. Dan seperti biasa, aku pun menanyakan soal tugas kuliah apa lagi yang hendak ia tanyakan.
Tapi tiba-tiba, ia menyergah, “Tidakkah kau berpikir apa alasanku sering mendatangimu?”
Aku yakin jawabannya karena ia menyukaiku. Sejak tiga bulan mengenalnya, pertanyaan ini yang selalu kunantikan. Apalagi, aku sangat kesulitan menyatakan perasaan lebih dulu. Namun seperti biasa, aku mencoba terlihat abai. “Ada tugas lagi, kan?”
“Sudahlah, kali ini aku benar-benar bukan soal tugas. Kali ini, aku ingin...," kata-katanya tersendat, dengan mata berkaca-kaca yang menatapku begitu dalam. "Aku ingin bilang..., aku suka padamu!”
Sontak, aku merasa terkejut. Senarsisnya aku, sungguh tak kusangka kalau perkiraanku memanglah benar. Seketika, aku jadi gugup. Namun tetap kuupayakan juga untuk membalas sewajarnya, “Sebenarnya, aku juga suka padamu sejak kemarin-kemarin," tuturku, sembari menguatkan diri untuk beradu tatapan. "Aku mencintaimu sejak pertama kali berjumpa!"
Ia pun tampak terkesima. Ia lalu tertunduk, tersipu malu.
Beberapa waktu berselang, kami hanya saling mendiamkan. Seperi sama-sama belum yakin kalau kami telah melalui tahapan tersulit dalam menjalin hubungan.
Kemudian, sepanjang waktu setelahnya, aku pun menjalani hari-hari yang penuh kebahagiaan. Dia yang begitu berharga bagiku, menjadi pengiring jalanku. Pulang-pergi kuliah, kami selalu bersama, layaknya raja dan ratu. Dan tak bisa dimungkiri, bertebaran mata-mata insan yang menatap kami dengan perasaan cemburu.
Sampai akhirnya, waktu mengubah keadaan begitu cepat. Setelah tiga bulan kebersamaan kami, ia lenyap entah ke mana. Sedang aku di sini, masih terus memimpikan dan mengkhayalkannya saja. Aku rindu pada raut wajahnya yang ceria. Aku rindu kala ia bertingkah aneh hanya untuk memancing senyuman dan tawaku. Dan karena itu, aku terus mencarinya, meski ia mungkin tak melakukan hal yang sama untukku.
Kejadian sebulan lalu memang mengubah segalanya, termasuk sikapnya padaku. Kecelakaan telah merenggut ketampananku, yang sedari dulu kuandalkan dan kubangga-banggakan pada khalayak. Ada bekas luka yang melebar di pelipis kananku, sampai menyasar sisi kelopak mata dan alisku, hingga membuatku jadi tampak menyeramkan.
Dan hari demi aku, aku pun kehilangan pujian dan penghargaan dari orang-orang, termasuk dari seseorang yang telah bersepakat untuk menjadi kekasihku. Hingga kusaksikanlah dengan mata kepalaku sendiri, kala ia bergandengan tangan dengan lelaki lain saat aku masih harus berjibaku untuk menerima keadaan diriku sendiri.
Segalanya telah berubah. Kini, sepanjang waktu hanya menghadirkan siksaan batin bagiku. Aku malu atas diriku sendiri. Aku tak kuasa lagi beradu tatap dengan orang lain dan lebih keseringan menunduk. Aku ingin sembunyi dari mata orang-orang yang senantiasa menilai fisik. Maka selepas kuliah, aku pun bergegas pulang, kemudian menepi di dalam kamar, seorang diri, bersama luka-luka pada segenap diriku.
Dalam kondisi yang memilukan, sungguh, aku membutuhkan kehadiran seorang teman. Aku ingin membagikan keluh-kesah hati yang akan membuatku merasa tak sendiri menanggung beban hidup. Dan kupikir, aku akan merasa berarti jikalau ada seorang saja yang sudi menjadi temanku. Tapi entah pada siapa pula aku harus berharap. Selama ini, aku memang tak pernah berteman baik dengan siapa pun, sebab aku terlalu percaya diri untuk mejalani hidup tanpa mengandalkan siapa-siapa.
Aku pun menyerah pada keadaan. Jika tak ada lagi orang yang peduli pada kehidupanku, maka tak ada pula yang akan peduli pada kematianku. Aku punya hak atas diriku sendiri, sebab tak ada lagi orang yang merasa berhak memiliki diriku. Maka, aku pun memutuskan untuk menyambut kematian dan mengakhiri penderitaanku. Aku berhasrat pergi untuk selamanya, tanpa memberi kesempatan kepada dia, Rani, untuk meminta maaf atas perlakuannya padaku.
“Reza, Apa yang kamu lakukan?” seru seseorang dari arah belakangku. Dari suaranya, seketika, aku mengenalnya: Rima.
Perlahan aku menoleh padanya, “Untuk apa kau datang?" tanyaku, lalu mengalihkan pandangan ke arah bawah, pada deretan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya.
Ia terdengar melepas menangis. "Aku mohon, jangan lakukan tindakan bodoh, Za!"
Aku bergeming. "Kau tak akan bisa membayangkan rasanya dihina dan dicampakkan seperti aku. Tak akan," kataku, sambil tetap berdiri di tepi sebuah bangunan bertingkat.  "Pulanglah! Nasihatmu tak akan membuat takadku surut!”
Isakannya terdengar semakin menjadi-jadi. “Pernahkah sejenak kau membayangkan perasaanku yang kau campakkan?" suaranya yang lirih, tertahan sejenak, kamudian melanjutkan, "Kau telah menghancurkan perasaanku secara hina, tapi aku bisa menerima keadaan diriku sendiri, bahwa kau memang tak bisa mencintaiku. Lalu, Jika aku bisa bertahan, kenapa kau tidak?”
Seketika, aku teringat pada perlakuanku kepadanya dahulu. Dan perlahan, aku sadar telah melukai perasaannya, sebagaimana Rani melukai perasaanku. Lalu dengan hati yang meriut kecil, aku pun tertunduk malu pada diriku sendiri. "Sudahlah..." Aku mencoba mengelak lagi.
Detak langkahnya terdengar menghampiriku. “Za, hidup memang tak selalu seperti yang kita mau. Begitu pula cinta, yang bukan berarti memiliki," katanya, yang tampak berdiri di serong sisi kananku. "Aku mencintaimu, tapi pasrah untuk tidak memilikimu. Itu karena aku memahami bahwa cinta tak melekat pada perkara fisik. Cinta itu abadi, meski yang dicinta telah mati atau lenyap dimakan waktu."
Aku jadi tersetuh mendengar perkataannya. Sepintas, kulirik wajahnya penuh keseganan.
"Kau tak benar-benar sendiri, Za. Masih ada aku, seseorang yang masih mencintaimu seperti dulu," katanya lagi, lalu mendekat ke sisiku. "Maafkan aku yang tak bisa berubah.”
Perlahan kemudian, kujejakkan kakiku beberapa langkah ke belakang. Lalu, kuarahkanlah sisi badanku kepadanya. Kudekati ia, sebagaimana ia mendekatku. Dan, seketika, kami berhadapan di jarak terdekat. “Maafkanlah aku!" kataku, menyesal sedalam-dalamnya. "Ajarilah aku bagaimana cara mencintaimu!”

Minggu, 10 November 2013

Hakim Keadilan

Beragam sudut pandang dalam melihat keadilan memunculkan persepsi berbeda tentang keadilan. Akarnya persoalannya tentu karena kita harus melihat objek perumusan nilai keadilan sekaligus aspek subjek pencari keadilan. Maksud objek di sini adalah kebendaan berwujud konkret yang erat kaitannya dengan pertimbangan kebutuhan, seperti telepon genggam dan uang. Sedangkan subjeknya menyangkut kualifikasi pihak dalam sengketa nilai keadilan, misalnya perbedaan subjek pencari keadilan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan kebutuhan.
Penghayatan tentang nilai keadilan tidak sama pada setiap orang. Akibatnya, rentan terjadi sengketa di antara para pencari keadilan. Apalagi jika setiap orang ego terhadap nilai yang dianutnya dan tidak mempertimbangkan nilai keadilan pada orang lain. Kepentingan pribadi lagi-lagi menjadi halangan bagi seseorang untuk mengakui keadilan sesungguhnya.
Contohnya: A dan B adalah dua orang bersaudara. A masih duduk di kelas 3 SMP, sedangkan B telah mahasiswa semester VII. Suatu ketika A ingin memiliki HP, dengan alasan  membutuhkan alat komunikasi saat  ingin bertemu untuk belajar bersama teman-temannya menjelang ujian nasional. Ternyata, B tidak setuju jika orang tuanya membelikan HP kepada A karena ketika ia kelas 3 SMP, ia juga tidak memiliki HP, namun ia tetap lulus ujian nasional.
Jelas bahwa penolakan B dapat dikaji dari sudut pandang objek dan subjek keadilan. Perihal objek, B merasa bahwa A belum membutuhkan HP. Sedangkan pada segi subjek, B melihat bahwa A belum cukup umur untuk memiliki HP. Bagaimana menemukan kesepakatan yang adil bagi A dan B?
Kita harus memiliki persamaan konsep yang sama dalam merumuskan keadilan untuk menyelesaikan sengketa di atas. Namun, ujung-ujungnya, ketika orang ditanya tentang persoalan di atas, kemungkinan besar timbul pro-kontra. Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan di atas hanyalah melalui temu rasa dan temu pikir. Istilahnya adalah mediasi. Esensi dari jalur itu adalah adanya keinginan untuk menerima keputusan yang tidak menguntungkan dan tidak juga merugikan. Tentu harus melalui perpaduan daya rasa dan pikir pada jiwa masing-masing pihak.
Tujuannya mediasi adalah kesepakatan sikap tengah antara A dan B, tepat saat masing-masing  merelakan separuh nilai keadilan menurutnya, dikalahkan oleh yang lain. B misalnya, dapat saja memunculkan anggapan positif berdasarkan rasa dan pikirnya bahwa A boleh memiliki HP, terutama karena rumahnya dengan sekolah dan tempat tinggal teman-temannya saling berjauhan. Ataukan merelakan saja, karena melihat perkembangan masa menunjukkan, semua teman A telah memiliki HP.
Melihat kenyataan itu, ternyata dapat disimpulkan bahwa setiap orang menganut nilai keadilan yang berbeda-beda. Jika kita mengalami sengketa keadilan, lalu memandatkan penentuan mana yang adil pada orang lain, kita harus merelakan bahwa keadilan akan diputuskan berdasarkan persepsi mandator.
Hakim layaknya seperti mediator dalam setiap penyelesaian sengketa. Jika kita kerucutkan pada masalah pidana, maka hakim dalam menetapkan keadilan berdasarkan hukum harus mempertimbangkan keadilan dalam berbagi perspektif. Terlebih, hakim dalam perkara pidana bertindak aktif dalam melakukan penemuan hukum demi keadilan. Ketentuan itu ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hadirnya ketantuan ini memberikan fleksibilitas kepada hakim untuk menegakkan keadilan, bukan sekadar menegaskan hukum formil.
Apakah ketentuan formal prosedural bahwa hakimlah yang menetapkan kadar keadilan harus ditolak, karena tidak menjamin bahwa putusannya benar-benar adil? Sulit menolak, karena mencari sistem yang lebih baik daripada itu sangatlah sulit. Lagi-lagi, nilai keadilan pada setiap orang adalah persepsi pribadi. Sengketa tak berujung akan terjadi jika tidak ada mediator/hakim. Dengan adanya hakim, maka tidak hanya keadilan yang akan terwujud, tapi juga kemanfaatan dan kepastian hukum. Jaminannya kualitas putusan tentu menuntut sosok hakim yang berintegritas dan profesional.
“Keadilan sesungguhnya adalah ketika kita menerimanya dengan ikhlas”

Kamis, 07 November 2013

Makna Hidup di Balik Perputaran Nasib

Manusia dalam menjalani kehidupan, cenderung menjadikan dirinya sebagai dasar menentukan sikapnya. Sikap yang mendatangkan keuntungan dan bermanfaat bagi dirinya akan dipilih. Memang, tidak ada permasalahan sikap utilitaris itu, selama masih mempertimbangkan dampak terhadap orang lain, terutama untuk meminimalisir kerugian bagi orang lain. Tapi nyatanya, kehidupan hanyalah pertentangan, berujung pada kalah atau menang.
Konsep ini juga dianut kaum komunis dengan paham dialektika kehidupan, yang menganggap hidup selamanya dalam sebuah pertentangan-pertentangan. Sebuah tesa akan berbenturan dengan antitesa, sehingga lahirlah sintesa. Singkatnya, konflik antara dua kepentingan selalu berujung pada tatanan baru. Tapi tatanan itu masih membagi kelompok pemenang di satu pihak, dan kelompok kalah di pihak lain. Kedua pihak itu pada keadaan tertentu akan berkonflik lagi.
Dialektika kehidupan meniscayakan perubahan nasib seseorang secara terus-menerus. Disadari atau tidak, situasi itu mewarnai kehidupan manusia. Tidak hanya dalam aspek material semata, tetapi juga mencakup aspek metafisik. Keniscayaan itu akan menempatkan seseorang dalam salah satu di antara dua tempat; antara kalah dan menang, senang dan sedih, cinta dan benci, kaya dan miskin, dan seterusnya.
Atas dasar kepentingan pribadi, setiap orang akan berusaha memenangkan sebuah kompetisi, kalau tidak, ia akan merelakan kepentingannya dikesampingkan. Contohnya: dalam persaingan kerja. Karena lapangan kerja terbatas, sedangkan pencari kerja melebihi kuota, maka akan ada pemenang dan pecundang. Proses kompetisi itu akan bergulir kembali ketika telah ada pekerja yang pensiun dan meninggal, sehingga butuh angkatan kerja baru. Akhirnya, tercipta lagi pemenang dan pecundang.
Apakah keadaan tersebut bisa dihindari? Sebelum menjawab, kita perlu mengetahui bahwa esensi hidup adalah pergerakan. Tidak ada bantahan bahwa perbedaan makhluk hidup dengan benda mati salah satunya terletak pada pergerakan dari satu posisi ke posisi lain. Benda mati tak punya kehendak untuk menentukan kemana ia harus bergerak. Sebaliknya, manusia dengan indra dan akalnya dapat menentukan sikap apa yang baik dan harus diambil. Kenapa manusia harus bergerak? Jawabannya, karena manusia punya potensi dan dorongan untuk harus bergerak. Selain itu, manusia memiliki kebutuhan matafisik dan material yang menuntutnya selalu bergerak.
Alur ringkas tentang bagaimana kehidupan manusia yaitu dimulai dari keadaan hidup, pergerakan, pertentangan, hingga tercipta sebuah perubahan. Keadaan baru dari perubahan itu akan terus dihiasi lagi dengan pergerakan, hingga tercipta lagi keadaan baru. Begitulah hidup. Jadi, menerima atau tidak, sebagai makhluk hidup, kita berada dalam pergerakan tak henti.
Memilih sikap untuk keluar dari alur pergerakan sebagai manusia hanya berujung pada keburukan dan kerugian besar. Sikap menghindari masalah misalnya, biasanya diwujudkan dengan berdiam diri dan tidak menghiraukan perubahan. Tapi akhirnya, kesadaran memaksa batin kita untuk kembali dalam pergerakan. Namun ketika tersadar, perubahan ternyata tak bisa lagi diimbangi, sedangkan kita tak bisa kembali pada saat kita mulai berdiam. Ujung-ujungnya, penyesalan akan menggerogoti jiwa yang tak mau menerima keadaan buruk, terlebih jika tak ada pergerakan menghadapinya. Tapi sebaliknya, nuansa kehidupan seutuhnya akan menghiasi batin yang selalu menerima dan menjalani kenyataan hidup, meskipun itu buruk.
Argumentasi di atas menimbulkan paradigma bahwa kita hidup dalam “hutan rimba”. Butuh kekuatan dan keganasan untuk menjadi pemenang. Tapi, anggapan tersebut hanya menyinggapi pola pikir empiris, karena menganggap hidup sebatas dialektika material. Namun jika menggunakan analisis metafisik untuk menemukan makna semua keadaan-menembus batas pengindraan-akan ditemukan arti kehidupan sejati.
Sikap bijak terhadap baik-buruknya keadaan yang dialami akan menghindarkan dari kehampaan nilai. Kepekaan memaknai setiap nasib tidak akan membuat batin terperangkap dalam ketidakpastian hidup, melainkan konsisten dalam satu tujuan mulia, menemukan makna hidup sesungguhnya. Jiwa sebagai poros pemaknaan hidup harus selalu dibina agar selalu sadar akan arti kehidupan, sekeras apa pun perubahan fisik/material coba melencengkannya. Kesadaran itu mencakup kesadaran akan ketidakabadian aspek material, kesadaran bahwa jiwalah penentu timbulnya perasaan bahagia, hingga keinsafan bahwa segalanya akan kembali pada Sang Maha Kuasa. Kemampuan jiwa menaklukkan tipuan fisik kelak membentuk seseorang menjadi pribadi yang bijaksana.
Jika dirangkum, maka kemampuan memaknai perubahan nasib secara bijak akan membawa dampak:
1.      Timbulnya kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang abadi, sehingga tak ada alasan mencintai aspek duniawi secara berlebihan;
2.      Kebahagiaan hidup tidak digantungkan pada kepemilikan aspek material, hingga merasa syukur dengan apa yang dimiliki, dan akhirnya bahagia;
3.      Berusaha memaksimalkan lahirnya kebaikan dari bagaimana pun dan seberapa pun  materi yang dimiliki;
4.      Kesabaran akan timbul karena keyakinan bahwa keadaan silih berganti, antara kekurang dan kecukupan, kesakitan dan kesehatan, kesempitan dan kelapangan, dll;
5.      Memiliki sikap optimis karena sadar bahwa hidup adalah pergerakan menuju perubahan, kadang menang, kadang kalah;
6.      Cerdas dalam menelaah fenomena material kehidupan dengan selalu mencari makna tersirat, sehingga mendatangkan kebahagiaan yang tak goyah pada perubahan keadaan;
7.      Merasa ikhlas terhadap hasil ikhtiar, karena tidak menjadikan tujuan akhir sebagai satu-satunya cita, tetapi menghargai proses sebagai pelajaran bermakna.
Melugaskan pentingnya makna hidup, sebuah saduran cerita dalam buku Haidar Bagir berjudul Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan dapat menjadi bahan refleksi:
Suatu ketika, seorang raja pergi berburu dengan pembantunya. Tidak disangka, kaki sang raja tersandung batu dan membuatnya terjatuh. Kejadian itu membuat sebuah jarinya patah. Langsung saja pengawal menolongnya dan memberi nasihat kepada sang raja.
“Sabar Raja. Yakinlah, ada makna di balik kejadian yang menimpa anda,” nasihat sang pembantu.
Bukannya menenangkan batinnya, sang raja egois malah memarahi pembantunya itu. “Beraninya kau berkata begitu kepada aku yang kesakitan”. Bahkan saking kesalnya, ia memenjarakan si pembantu.
Suatu ketika sang raja pergi berburu sendiri, tanpa pembantu. Sialnya, di tengah hutan belantara, suku primitif penghuni hutan menangkapnya untuk dijadikan persembahan kepada dewa mereka. Beruntung saja, tujuan suku primitif kandas setelah mengetahui bahwa sang raja cacat karena jarinya patah. Menurut keyakinan mereka, persembahan kepada dewa tidak boleh orang cacat.
Setelah peristiwa itu, sang raja sangat bersyukur atas jarinya yang  patah, hingga menyesali tindakannya kepada sang pembantu. Langsung saja ia pergi menemui sang pembantu untuk minta maaf, lalu melepaskannya.
“Maafkan aku, karena tidak mendengarkan nasihatmu dulu. Kalau bukan jari patahku, aku pasti sudah mati dijadikan persembahan oleh suku primitif. Jika kau ahli makna, apa makna dari tindakanku memenjarakanmu?” tanya raja.
Sambil tersenyum ia membalas. “Terima kasih raja. Jika saja aku tidak dipenjara dan ikut berburumu, mungkin akulah yang dijadikan persembahan,” balasnya.

“Tak ada kuasa memilih untuk menang atau kalah, lalu kenapa mengutuk nasib? Pahami saja kalau semua memberi arti.

Selasa, 05 November 2013

Nenek, Aku Benci Ibu!

Keadaan hidupku berubah total semenjak aku meninggalkan rumah Nenek di kampung yang serupa gubuk untuk menetap di kota bersama ibuku. Aku jadi bak raja di sebuah istana. Hidupku serba berkecukupan. Tak perlu lagi aku sungkan dan berhemat soal makanan yang merupakan kebutuhan pokok. Tak perlu lagi aku menegangkan otot dan menitihkan keringat untuk mengurus ladang dan ternak. Hingga setiap malam, kasur busa yang empuk mengantarku ke dalam mimpi untuk menyambut hari esok tanpa beban.

Dahulu, kala masih hidup bersama Nenek, aku benar-benar serasa jadi buruh yang tertindas. Seluruh waktuku habis untuk merawat sayur-mayur di ladang, juga mengurus kawanan ayam yang tak seberapa. Ketika letihku belum sirna dipanggang terik matahari, aku pun harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya. Dan untuk semua itu, aku tak mendapatkan upah apa-apa. Pun, masa kanak-kanakku berlalu tanpa keceriaan dan kepolosan yang patut kukenang.

Kini, keadaan sungguh berbeda. Aku hidup bersama Ibu yang memiliki segala daya untuk menghindarkan aku dari beban pekerjaan yang menyiksa. Ia memiliki harta yang lebih dari cukup untuk memenuhi keinginanku setiap waktu. Ia mempunyai benda-benda canggih untuk mempermudah pekerjaanku sehari-hari, juga barang-barang mewah yang patut kubanggakan. Ia menguasai segenap materi yang mungkin hanya bunga tidur bagi Nenek.

Jika kuingat-ingat lagi perbedaan kondisi hidupku dalam dua ruang yang berbeda itu, kadang kala timbul rasa sesal dalam diriku pada kehidupan bersama Nenek. Tapi seketika dalam sadarku, terobatilah sesal itu dengan kesenangan hidup bersama Ibu. Namun jika kuresapi lagi cerita lalu bersama Nenek, sebenarnya aku tak sampai hati mengutuknya. Paling tidak, ia telah menjadi teman hidupku dalam waktu yang lama. Dahulu, ia mengiringiku ke sekolah dengan berjalan kaki, memberiku uang jajan alakadarnya, atau menyampaikan jawaban asal atas tugas-tugas sekolahku.

Dan kupandang-pandang lagi foto Nenek yang terpampang di dinding rumah. Perlahan, timbul juga rinduku pada ia yang kini hidup menyendiri setelah menjanda selama 30 tahun lebih. Wajah mudanya di foto memang masih tampak cantik seperti anaknya, ibuku. Tapi kuduga, di tempat yang jauh di sana, ia semakin tua dan merenta. Raganya akan semakin lapuk dirajam waktu sepanjang 60 tahun kehidupannya. Pun, ketahanan tubuhnya jadi porak-poranda diterpa beban hidup yang berat.

Tapi dugaanku kalau raga Nenek semakin tak bisa diandalkan, bukan berarti bahwa jiwanya pun akan lemah terkulai. Aku tahu ia sosok berjiwa tangguh yang tak mau memperturut kemalasannya cuma karena alasan fisik. Ia adalah orang yang rela mengabaikan hias-hias dunia dan rias-rias wajah demi mencari rezeki halal yang cukup dari kebun dan ternak. Dan mungkin kepribadiannya itulah yang membuat parasnya semakin tak menarik, sampai harus menjanda begitu lama. Tapi kini, itu pulalah membuatku kagum padanya.

Kupastikan sudah, pada ketangguhan hidup Nenek, aku belajar dan terdidik menjadi seorang lelaki yang mandiri dan tak suka bermanja-manja. Meski kehidupanku sekarang serba ada dan serba bisa, aku masih suka melakukan pekerjaan semampuku, tanpa harus memasrahkan semuanya pada uang dengan membeli jasa orang lain, semisal menyewa pembantu ruamh tangga. Aku suka mencuci piring dan pakaian, membersihkan rumah dan halaman, hingga berbelanja dan memasak. Semua itu kurasa tak seberapa dibanding beban kerjaku di ladang dahulu.

Kuingat lagi nasihat Nenek setiap kali aku kesal dan ogah-ogahan melihat tanaman di ladang mati meranggas, atau ketika ternak ayam hilang satu per satu, “Jangan menyerah untuk bekerja. Bagaimana pun hasilnya, selama itu hasil kerja keras kita sendiri, pasti akan menuai berkah. Iklaslah! Tak boleh mengeluh untuk pekerjaan yang halal dan bermartabat!”

Sampai akhirnya, kukenang lagi hari terakhir bersama Nenek. Satu hari saat aku harus meninggalkannya untuk pergi pada ibuku yang tidak begitu kukenal. Aku harus berpisah dengan Nenek yang telah menemaniku sampai tamat sekolah, lalu hidup bersama Ibu yang hanya mengunjungiku sekali-kali.

“Abi, besok kau akan berangkat ke kota. Sudah saatnya kau hidup bersama Ibumu. Di sana, kau akan hidup enak dan bahagia,” kata Nenek di hari perpisahan itu, di satu sore, saat kami tengah duduk di pelataran depan rumah, sembari menaburkan biji jagung pada kawanan ayam yang tak seberapa. “Kalau selama ini aku telah membuat hidupmu penuh beban dan kesengsaraan, maafkanlah. Ambil saja hikmahnya.”

“Tapi…,” kataku, bimbang. “Tapi, Nenek ikut kan?”

Nenek melepas batuknya yang kering, kemudian menggeleng. “Aku sebaiknya di sini saja. Siapa yang akan mengurus ladang dan ternak kalau aku pergi?” katanya, sambil mengusap-usap punggungku. “Sampaikan saja salamku pada Ibumu.”

Setelah bercengkerama dan melepas rindu dengan Nenek lewat foto, kurebahkanlah badanku di sofa yang empuk. Kupadangi langit-langit ruangan, dan berdoa agar ia  baik-baik saja di sana, di sebuah rumah panggung yang beratap jerami dan berdinding-beralas bambu, seorang diri.

Dan malam ini, seperti biasa, aku sendiri saja di rumah megah Ibu yang lengang. Tak ada siapa-siapa sebab aku tak punya saudara, dan ibu tak menikah lagi setelah Ayah meninggal ketika aku masih dalam gendongan. Ibu sendiri, selalu sibuk dan acapkali keluar rumah untuk urusan pekerjaan, bahkan di malam hari, di hari libur juga.

Aku tak tahu pasti apa pekerjaan Ibu sampai sesibuk itu. Dahulu, pernah sesekali aku tanyakan padanya, dan ia berkata tengah bekerja di sebuah perusahaan, tanpa menjelaskan jenis pekerjaannya secara detail. Katanya, aku tak akan mengerti soal kerja-kerjanya. Dan setelah itu, aku tak ingin menanyainya lagi. Yang pasti, kuterka, ia adalah seorang bos besar. Paling tidak, aku selalu melihat ia keluar dengan dandanan yang apik dan pakaian modis.

Setelah puas mengenang perubahan hidupku yang drastis di antara masa lalu dan masa kini, tiba-tiba, kebosanan datang menyerangku. Tapi rasa suntuk dalam kesendirian, tak akan menghujam perasaanku sepanjang malam ini. Aku telah mengikat janji dengan Alim, seorang temanku, anak seorang direktur perusahaan, untuk melanglang sepanjang jalan kota, menuju pementasan musik yang meriah.

Jam 8 malam. Sisa 15 menit pementasan akan dimulai. Sudah seharusnya ia datang menjemputku.

“Abi, keluar cepat! Konsernya sudah mau mulai!” teriak Alim dari luar halaman rumah Ibu yang luas dan asri.

Tanpa berlama-lama, aku yang sedari tadi siap-sedia, bergegas keluar dan menghampirinya.

Tanpa basa-basi pula, Suasa motor gede Alim menderu. Ia langsung tancap gas, melintasi lalu lintas kota yang padat.

Hingga akhirnya, sampailah kami di antara kerumunan para penikmat musik. Dua lagu, harus kami relakan berlalu. Tapi keterlambatan itu, malah semakin menggugah hasratku untuk menghempaskan rasa-rasa sepiku yang menempel di dinding hati akibat kesendirian di rumah sepanjang hari kemarin. Aku pun turut melantunkan lagu sebagaimana vokalis, bersorak dan berjingkrak, berseru-seruan dengan Alim dan entah siapa-siapa yang lain

Tapi seperti juga nelangsa yang akan berakhir, kegembiraan pun demikian. Usai juga konser musik yang telah menyemarakkan perasaanku dalam waktu yang singkat. Hingga seiring perjalanan malam, kebisingan kota pun, mulai mereda secara perlahan. Dan kembali, aku harus pulang ke rumah menemui diriku sendiri, tanpa sambutan Ibu yang mungkin akan tiba di rumah lewat tengah malam, seperti biasanya.

Di tengah perjalanan pulang, ketika kehampaan perlahan kembali, lagi-lagi, kesal bertandang saat tengah melawan angkuhnya kota. Jalanan macet, polusi udara, suara bising tak beraturan, dan semua orang yang tak saling mengerti. Amarah terpendam pun jadi ingin kuluruhkan segera sesampainya di rumah.  

Tak cukup dengan itu. Di setiap lampu merah, perjalan pulang jadi semakin menyesakkan dengan kehadiran para gelandangan yang mengklaim jalan raya sebagai rumah sekaligus lahan pencarian rezeki bagi mereka. Ada yang sekadar mengemis dengan pakaian yang memprihatinkan sambil memampang wajah murung dan suara memelas. Ada pula yang mengamen sembari mendecingkan kencrengan, kemudian menagih imbalan dengan mimik memaksa untuk suara mereka yang cempreng dan tak bernada.

Sialnya, sebagaimana sesi keberangkatan, kami harus melalui empat lampu lalu pintas. Kami harus rela terhenti di tengah kendaraan yang entah dari-mana-ke-mana, juga dikepung para pengembara jalanan yang mendamba receh. Tapi setelah bersabar, bersyukur pula kemudian. Kami akhirnya terhenti di depan lampu lalu lintas yang terakhir. Terhenti di sisi tengah gerombolan kendaraan yang berhenti dan menumpuk.

Lagi-lagi, tanpa diundang, para pengamen dan pengemis pun datang menghampiri kami, silih berganti. Mereka mengedarkan celengan sambil berharap lampu merah bersinar lama, sedang kami berharap sebaliknya. Sebisa mungkin, aku tak bersetatap dan melayangkan senyuman, sebab itu bisa mereka tafsir sebagai undangan. Jadi, kulemparkanlah pendanganku ke arah yang jauh, ke sisi depan.

Sampai akhirnya, mataku terpaku pada seseorang perempuan yang tengah melintas di atas garis penyeberangan, di depan kerumunan kendaraan yang tak sabar untuk melaju, sambil menghampiri pengendara yang tampak cuek, satu per satu. Perempuan itu tampak kumal dengan pakaian yang kisut dan bernoda. Ia menyelempang sebuah sarung batik, tempat seorang bayi mungil tertidur. Sebuah sarung yang bermotif sama dengan sarung yang pernah kulihat dilipat Ibu, yang kemudian ia masukkan ke dalam tasnya.

Dengan sungguh-sungguh, aku berusaha menyalahkan cara mataku mengindrai. Tapi berkas-berkas di memoriku, malah membenarkannya kenyataan itu. Dan sepenuh jiwaku pun jadi yakin kala perempuan itu berbalik ke arah kerumunan pengemudi yang beramai-ramai menyembunyikan klakson setelah lampu hijau menyala, tapi perempuan itu tak juga menepi; aku melihat jelas wajahnya, dan aku mengenalnya.

Seketika, pupuslah rasa banggaku pada Ibu. Dia memang pekerja, tapi tak setangguh Nenek. Dia memang tabah, tapi tak setulus Nenek. Dia memang kaya, tapi tak semulia Nenek. Ibu dan Nenek, jauh berbeda.

Kini, hatiku merintih, “Nenek, aku malu pada Ibu. Aku benci pada Ibu. Aku ingin pulang padamu, Nenek.”