Jumat, 27 September 2013

Aktivis: Pesandiwara Menuju Hegemoni


Pemaknaan Aktivis

Pemaknaan aktivis dalam ruang-ruang gerakan perubahan sosial, senantiasa dilekatkan pada sosok-sosok yang giat melakukan aksi bagi kepentingan umum. Aktivis dipandang sebagai penggerak yang mampu membuat keadaan menjadi lebih baik. Sedang, pemaknaan aktivis dalam KBBI adalah orang, terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita, yang bekerja aktif dalam mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.

Jika dilakukan perbandingan pada pemaknaan aktivis dalam dua sudut pandang di atas, maka secara ringkas, pengertian aktivis sesuai pemaknaan kebahasaan merujuk pada adanya aktivitas, sedangkan pemaknaan aktivis dalam ruang gerakan sosial menuntut adanya perubahan nyata. Meski memiliki perbedaan pada soal titik tolak realitas keaktivisan, kedua pengertian tersebut pada dasarnya sama-sama memandang aktivis sebagai orang yang aktif melakukan gerakan untuk kepentingan umum.

Jikalau esensi aktivis adalah gerakan, maka pemaknaan aktivis yang senantiasa merujuk kepada adanya perubahan fisik-materi semata, harus dienyahkan. Alasannya karena suatu gerakan sebagai usaha menuju perubahan, tidak pasti akan menulai keberhasilan secara kasat mata. Tapi sebagai suatu usaha, ia telah terwujud dan terlaksana. Pun, bisa jadi agenda perubahan memang tampak gagal secara fisik, tapi secara metafisik, gerakan tersebut telah menghasilkan perubahan.

Berangkat dari pemaknaan aktivis secara umum, maka selayaknya gerakan untuk memperbarui atau meningkatkan derajat diri khalayak umum, baik dari segi kualitas dan kuantitas, harus dipandang sebagai tindakan seorang aktivis. Oleh karena itu, aktivis harus mengandung makna adanya laku dinamis, yaitu sebagai lawan dari laku statis. Dan seharusnya disepakati bahwa predikat aktivis patut pula disematkan pada setiap orang yang telah atau terus berupaya melakukan perubahan, baik terbukti secara fisik-materi, maupun terbukti secara mental, rasio, ataupun spiritual.

Semua Adalah Aktivis

Setiap perubahan sosial, akan selalu menobatkan penghargaan kepada seorang atau beberapa orang sebagai aktivis, yaitu mereka yang tampil sebaga  pionir. Semua orang yang merasakan perubahan atau peralihan zaman, akan memuji dan memuja sosok tersebut. Padahal, sejatinya, pengkultusan itu tak lain dari perlambangan keberhasilan yang dicapai secara bersama-sama. Namun pribadi yang diistimewakan, kadung dianggap sebagai satu-satunya penentu, sedang yang lain hanya pelengkap atau pengekor. Akibatnya, posisi sebagai “aktor” perubahan menjadi incaran setiap orang yang menggila-gilakan gelar, terutama bagi mereka yang egois-pragmatis.

Jelas bahwa dalam setiap gerakan perubahan sosial, selalu dituntut adanya kekompakan antarpribadi. Setiap orang sebagai bagian dari massa gerakan, mempunyai peran sendiri-sendiri. Karena itu, posisi dan fungsi dalam gerakan, tidak seharusnya menjadi dasar untuk klaim-mengklaim keberhasilan sebagai milik pribadi atau kelompok. Kedudukan dalam aktivitas pergerakan menuju perubahan, cukuplah dipandang sebagai pembagian peran secara struktural untuk menjamin bahwa roda gerakan berjalan dengan baik.

Pentingnya mendudukkan keberhasilan pergerakan sebagai keberhasilan bersama adalah untuk menjaga situasi dan kondisi yang telah dicapai. Jikalau keberhasilan dilekatkan pada seseorang atau kelompok, atau diklaim secara pribadi, maka “kue” keberhasilan rentan dibagi atau dicaplok secara tidak adil. Sebagian orang akan menjadikan dirinya babu di hadapan mereka yang dianggap dalang keberhasilan, tanpa sadar untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari dalang. Atau bahkan sebagian orang itu, malah dihegemoni dan ditindas oleh aktivis pengklaim yang tak tahu diri.

Menilik Aktivis Mahasiswa

Aktivis mahasiswa dituntut untuk menjadi tangguh agar dapat merampungkan sekelumit aktivitas setiap waktu. Apalagi aktivitas yang harus mereka tunaikan tidak hanya mencakup pembelajaran teoretis di ranah akademik, tapi juga implementasi pengetahuan akademik di dalam kehidupan sosial. Karena itu, seorang aktivis mahasiswa harus mampu menyinergikan aktivitas kuliah dan tanggung jawab sosialnya secara baik, sebab kedua hal tersebut, pada dasarnya, memang tak bisa dipisahkan.

Fenomena bahwa ada sebagian mahasiswa yang mencap dirinya aktivis namun tumpul secara intelektual, sungguhlah memilukan dan memalukan. Mereka mengandalkan otot untuk mewujudkan perubahan keadaan secara paksa, tanpa mengupayakan pendekatan rasional. Mereka memaksa orang lain untuk menuruti alur perubahan yang mereka gariskan, tanpa berupaya melakukan penyatuan persepsi melalui pendekatan dialogis.

Terciptanya aktivis mahasiswa yang cemerlang secara intelektual, tentu patut diharapkan di dalam kehidupan yang beringas dan tanpa arah ini. Mahasiswa demikian akan cerdas dalam menganalisis masalah, menemukan solusi, kemudian melakukan demontrasi gagasan atau unjuk rasa secara fisik. Mahasiswa demikian, juga pastilah memiliki keteguhan dalam memperjuangkan perubahan, sebab gerakannya didasarkan pada rasionalitas yang tidak mudah goyah. Pun, mahasiswa demikian, bukanlah mahasiswa yang beringas dalam gerakan massa, sebab sentuhan rasio adalah cara utama bagi mereka, bukan sentuhan fisik.

Harapan atas lahirnya sosok-sosok mahasiswa yang cerdas secara intelektual sekaligus cadas dalam aktualisasi gerakan, sangat penting untuk menjamin efektifnya gerakan sosial mahasiswa. Keefektifan tersebut terjadi karena fokus gerakan tidak hanya pada perubahan fisik semata, tetapi satu gerakan yang berusaha menciptakan perubahan yang utuh di dalam masyarakat, yaitu menyasar perubahan mental dan pola pikir.

Akhirnya, mahasiswa yang melakukan gerakan sosial dengan pendekatan fisik-materi semata demi meneguhkan dirinya sebagai aktivis, sungguh telah keluar dari hakikat dirinya sebagai kaum intelektual. Jika patut dikatakan, mahasiswa demikian telah keluar dari esensi kemanusiaan sebagai makhluk yang berpikir, yang tidak sekadar mempertuankan aspek materi sebagaimana binatang.

Apa yang terjadi jika mahasiswa kukuh pada gerakan perubahan fisik semata? Jelas, mahasiswa yang mandamba-dambahan predikat aktivis dan hendak dinobatkan sebagai pionir perubahan, akan fokus pada gerakan fisik, tanpa disertai pendidikan sosial kepada masyarakat. Gelar sebagai aktivis mahasiswa menjadi tujuan akhir, sebagaimana gerakan semu yang mereka lakukan, yang tidak melampaui perubahan fisik. Gelar aktivis mahasiswa menjadi incaran untuk dijadikan modal dalam mengklaim perubahan, kemudian menagih atau merampok “kue-kue” keberhasilan di masa mendatang, yang sejatinya gagal sedari awal.

Senin, 02 September 2013

Membuat Berita Akurat dan Efisien




Sikap seorang jurnalis dalam mengamati  dan memberitakan sebuah peristiwa harus berdasar pada kaidah-kaidah jurnalistik. Keharusan tersebut mengingat seorang jurnalis adalah pewarta, sedangkan kebutuhan pembaca adalah fakta. Profesionalisme seorang jurnalis harus dimulai dari proses penentuan objek pemberitaan, pengumpulan bahan berita, hingga penulisan berita.


Diantara banyak sifat berita, penulis mencoba mengetengahkan sifat akurat dan efisien sebuah berita. Akurat berarti ketepatan data dan fakta dari sebuah peristiwa. Sedangkan  efisien berarti mampu menyederhanakan berita dengan hanya mencantumkan aspek-aspek substansial, sehingga dalam waktu yang singkat, pembaca dapat mengetahui informasi yang disampaikan.


Tahapan kerja-kerja jurnalistik harus dilalui secara benar dan teratur jika ingin menghasilkan berita yang akurat dan efisien, yaitu:

1. Mencermati peristiwa, lalu menentukan sudut pandang pemberitaan berdasarkan kepentingan pembaca. Penentuan sudut pandang diperlukan agar isi berita tidak melebar, bertele-tele, dan bias dalam penulisan aspek yang diberitakan nantinya. Dalam proses ini, kemampuan mengetahui nilai-nilai berita suatu peristiwa sangat dibutuhkan.

2. Mengumpulkan data-data dari sumber yang terpercaya, tidak hanya puas dengan desas-desus, tetapi berusaha melakukan konfirmasi secara langsung kepada pihak yang terkait. Kedudukan seorang jurnalis tidak hanya sebagai penyimak, tetapi terus mempertanyakan validitas data dan fakta. Misalnya, dalam sebuah forum seminar, seorang wartawan seharusnya tidak hanya menuliskan pernyataan umum pemateri  sebagai bahan berita, tetapi berusaha menggali lebih spesifik arti dari pernyataan tersebut melalui wawancara khusus. Dasar untuk menentukan pertanyaan-pertanyaan yang penting adalah sudut pandang pemberitaan yang telah dikonsepkan sebelumnya.

3. Menulis berita dalam  jenis-jenis tulisan jurnalistik untuk setiap data yang terkumpul. Jika terkumpul banyak data, maka bisa saja kesemuanya dimuat dalam berita, namun harus ditulis dalam sudut pandang yang berbeda. Pada tahap ini, beberapa kemungkinan dapat terjadi:

a.  Jika kebutuhan redaksi menuntut agar berita diselesaikan dengan cepat, sedangkan bahan yang terkumpul masih sedikit, maka dapat dibentuk dalam tulisan straight news. Jenis penulisan ini menggunakan kaidah piramida terbalik,  yaitu menentukan judul berdasarkan nilai berita yang paling penting, kemudian menyampaikan informasi penjelasan  judul  pada paragraf pertama. Selanjutnya, paragraf kedua menjelaskan paragraf pertama, dan seterusnya. Mengenai nilai peristiwa yang paling penting, maka kita harus berdasarkan pada sasaran berita/pembaca. Misalnya, sepeda motor rektor dicuri, atau mobil pegawai  fakultas hukum dicuri. Jika sasaran berita adalah mahasiswa fakultas kedokteran, maka pada peristiwa pertama, aspek dosennya akan lebih penting bagi pembaca. Sedangkan pada peristiwa kedua, aspek mobil BMW-nya akan lebih penting.

b. Jika masih tersisa banyak waktu untuk melakukan pengumpulan bahan berita, ataukah telah banyak yang terkumpul, maka dapat dibentuk dalam tulisan feature news. Jenis penulisan ini tidak tunduk pada kaidah piramida terbalik, tetapi  sesuai gaya bertutur yang menarik menurut penulis. Meskipun demikian, konsep 5W+1H harus terpenuhi.


Meskipun telah dilalui tahapan secara terartur seperti di atas, kendala sering kali muncul pada saat menulis berita. Permasalah tersebut misalnya mencampuradukkan opini dengan fakta. Meskipun data telah memadai, kadang seorang jurnalis terjebak dengan menambahkan kata sifat yang berlebihah (emosional) sebagai penggambaran, sehingga terkesan beropini. Menuliskan kutipan dari seorang narasumber dapat menjadi cara mengatasi hal tersebut. Misalnya pernyataan seorang narasumber bahwa ruang kuliah sangat tidak nyaman, tanpa jurnalis yang harus menyimpulkan dan menuliskan keadaan tersebut.


Secara umum, jika telah melalui ketiga tahap di atas, maka kesulitan dalam menulis sebuah berita akan dapat teratasi. Mengingat ketiga unsur tersebut saling bergantung, maka harus dilalui secara baik dan benar. Dengan demikian, penyederhanaan pemberitaan pada tahap penentuan sudut pandang,  keakuratan berita dalam tahap pengumpulan bahan, lalu keefisienan berita pada tahap penulisan dapat dikombinasikan.