Selasa, 22 Oktober 2013

Analisis Kasus Pembunuhan Marsinah

Gambaran Kasus
Marsinah adalah seorang aktivis buruh yang lahir di Nglundo, 10 April 1969. Ia bekerja sebagai buruh di PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Bersama teman-temannya sesama buruh, pada awal bulan Mei 1993, ia mengadakan mogok kerja dan unjuk rasa menuntut kesejahteraan buruh kepada pihak perusahaan. Salah satunya adalah menuntut kenaikan upah dari Rp. 1.700,- menjadi Rp. 2.250,-. Tuntutan ini dinilai wajar dan sudah seharusnya, sebab pada awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur telah mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan agar para pengusaha menaikkan gaji karyawannya sebesar 20% dari gaji pokok.[1]
Setelah melakukan kajian atas Surat Edaran tersebut, para buruh PT. CPS kemudian berupaya menegosiasikan tuntutan dengan pihak perusahaan. Tapi tuntutan mereka ditolak. Maka pada tanggal 3 Mei 1993, Marsinah dan kawan-kawannya pun melakukan aksi mogok kerja. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang turut. Namun aksi mereka tak efektif karena Koordinator Aksi, Yudi Prakoso, akhirnya ditangkap dan diinterogasi di Kantor Koramil 0816/04 Porong karena aksi mereka dianggap mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI).[2]
Keesokan harinya, 4 Mei 1993, para buruh kembali menggelar aksi mogok. Dan akhirnya manajemen PT CPS pun bernegosiasi kembali dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam pertemuan itu, juga hadir  petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil. Dan semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali pembubaran SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) di tingkat pabrik, karena merupakan kewenangan internal organisasi tersebut.[3]
Namun di hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan, mendapat surat panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/1011V/1993 itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Surat itu ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo Kapten Sugeng. Di Kodim Sidoarjo, Prakoso diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.[4]
Esoknya, 12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat panggilan itu berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak. Tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Berada dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri. PHK itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo.[5]
Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi Marsinah memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS, sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh telah diterima, termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja [6]
Tanggal 6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak. Esoknya buruh kembali bekerja, tapi tak ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. Pada 8 Mei 1993, tepat hari ini 25 tahun lalu, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Ia meninggal terbunuh dengan lula-luka yang sangat mengenaskan.[7]
Kematian Marsinah berbuntut panjang. Diam-diam, aparat membentuk Tim Terpadu kemudian menciduk 8 orang petinggi PT CPS, salah satunya Yudi Susanto, pemilik pabrik PT.CPS. Mereka diduga disiksa untuk mengaku telah membuat skenario membunuh Marsinah. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.[8]
Seturut dengan itu, maka menurut kesimpulan penyidikan polisi, Marsinah dijemput oleh pegawai PT CPS bernama Suprapto, lalu dihabisi Suwono, Satpam PT CPS setelah disekap tiga hari. Sampai akhirnya, di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi, dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.[9]
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak. Muncul dugaan bahwa penyelidikan kasus tersebut direkayasa. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.[10]
Analisis Hukum
Pembunuhan Marsinah merupakan nuansa kelam dalam sejarah perjuangan buruh. Satu kisah yang menunjukkan bahwa tuntutan atas hak yang adil oleh para buruh di negara ini, acapkali berhadapan dengan kekuatan pengusaha dan penguasa yang represif. Para buruh yang menuntut penghidupan yang layak sebagai hak asasi manusia, harus mempertaruhkan hidup dan kehidupannya.
Sampai saat ini, Marsinah menjadi contoh nyata betapa buruh berada dalam posisi yang lemah. Marsinah gugur dan menjadi monumen perjuangan para buruh. Tapi nahasnya, pengungkapan kasus pembunuhan atas dirinya, belum menemui titik terang hingga kini. Rezim pemerintahan terus berganti, tapi janji-janji penyelesaian kasus pembunuhan Marsinah, hanya sampai pada wacana dan retorika politis semata.
Pengungkapan misteri pembunuhan Marsinah, jelas membutuhkan political will dari pemerintah. Mekanisme hukum untuk menyelesaikan kasus yang menggugah kemanusiaan itu, butuh keputusan hukum yang tepat dari para penguasa negara, khususnya presiden dan DPR. Kasus tersebut merupakan satu peristiwa hukum yang tentu saja membutuhkan penyelesaian secara hukum, sehingga mekanisme penyelesaiannya pun, membutuhkan landasan hukum yang tepat dari pemerintah.
Mekanisme hukum penyelesaian kasus pembunuhan Marsinah, memang masih menyisakan kesimpangsiuran. Ada yang menganggapnya sebagai pidana biasa yang cukup diselesaikan melalui mekanisme pemidanaan umum, tapi ada juga yang menganggapnya kasus luar biasa yang butuh penanganan khusus. Pada titik ini, jawaban soal apakah pembunuhan Marsinah masuk kategori pidana biasa ataukah termasuk pelanggaran HAM berat, sangat dibutuhkan untuk menentukan mekanisme penyelesaian hukum  secara tepat.
Dalam pergulatan wacana soal pembunuhan Marsinah, memang sebagian orang sudah kadung mengategorkan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat. Kesimpulan itu didasari anggapan adanya upaya sistematis dari penguasa negara untuk mengenyahkan Marsinah, yaitu dengan terendusnya keterlibatan aparat militer. Selain itu, pembunuhan Marsinah bersangkutpaut dengan tuntutan buruh atas pemenuhan penghidupan yang layak, yang jelas diakui sebagai hak asasi manusia. Pun, Marsinah adalah aktivis buruh yang mati dibunuh secara sadis kala ia sedang mewakili kepentingan umum yang bukan kepentingan dirinya secara pribadi.
Tapi hukum positif di negara ini, pada dasarnya memiliki kriteria khusus untuk menyatakan sebuah tindak kriminal sebagai pelangaran HAM berat. Dalam Pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kategori pelanggaran HAM berat hanyalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida didefinisikan sebagai perbuatan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. 

Penduduk sipil yang dimaksud dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di atas adalah kelompok penduduk sipil, bukan individu penduduk sipil. Hal itu merujuk pada penjelasan pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang menyatakan, "Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan" dalam ketentuan ini sesuai dengan "Rome Statute of The International Criminal Court" (Pasal 6 dan Pasal 7). Pasal 7 Statuta Roma itu menyatakan, “For the purpose of this Statute, "crime against humanity" means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population (Terjemahan bebas: Untuk tujuan Statuta ini, "kejahatan terhadap kemanusiaan" berarti setiap tindakan berikut yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap populasi penduduk sipil).
Dari definisi di atas, maka sulit untuk mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Marsinah termasuk dalam kategori kejahatan HAM berat. Alasannya, Marsinah hanyalah korban individual, dan bukan bagian dari populasi sasaran aksi kejahatan genosida, juga bukan bagian dari penduduk sipil sebagai sasaran kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, instrumen Pengadilan HAM Ad Hoc yang bisa dihadirkan secara khusus untuk mengadili pelanggaran HAM berat di masa lalu menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tidak dapat diberlakukan pada kasus pembunuhan Marsinah.
Kalau kasus pembunuhan terhadap Marsinah bukanlah kompetensi Pengadilan HAM Ad Hoc, maka secara otomatis, ia termasuk dalam kompetensi peradilan umum, sebagaimana tindak pidana pembunuhan yang biasa. Dan nahas, sebab berbeda dengan tindak pelanggaran HAM berat yang tidak memiliki masa kadaluarsa, tindak pidana dalam Pasal 78 KUHP memiliki masa kedaluwarsa. Untuk pengajuan penututan kasus pembunuhan, misalnya, kedaluwarsa jika lewat dari 18 tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut, pintu penyelesaian kasus pembunuhan terhadap Marsinah, pada dasarnya telah tertutup.
Jika demikian adanya, jalur nonlitigasi menjadi pilihan yang patut ditempuh. Paling tidak, upaya itu diharapkan bisa menguak tabir pembunuhan Marsinah untuk mewujudkan rekonsiliasi. Tapi kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tentu tak bisa diharapkan lagi, sebab MK telah membatalkan dasar pembentukannya, yaitu UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Terlebih, KKR yang pernah ada memang khusus menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, sehingga kalaupun diadakan kembali dengan format yang sama, jelas KKR tak berwenang menangani kasus Marsinah.
Akhirnya, yang menjadi tumpuan satu-satunya adalah Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Satu lembaga yang memiliki fungsi dan kewenangan khusus dalam soal penegakan HAM, meski sifatnya terbatas. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar pembentukannya, Komnas HAM memiliki fungsi dan kewenangan untuk turut menangani kasus pelanggaran HAM secara umum, tidak hanya pelanggaran HAM berat. Paling tidak, menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tantang HAM, dengan kewenangan yang rinci atas setiap fungsi-fungsinya tersebut.
Namun sayangnya, hasil penyelidikan Komnas HAM senantiasa tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung, yaitu dengan melakukan penyidikan dan penuntutan, yang kemudian dilakukan pemeriksaan di Pengadilan HAM Ad Hoc. Sedangkan alternatif kebijakan lainnya hingga kini belum tersedia.[11] Tapi dalam deretan kemandegan tersebut, apresiasi patut diberikan kepada Komnas HAM. Pada 2012 Komnas HAM telah menyelesaikan dan melimpahkan penyelidikan beberapa kasus pelanggaran HAM kepada Jaksa Agung, meski tak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Kasus tersebut adalah Peristiwa Trisakti (Semanggi I-1998 dan Semanggi II-1999), Peristiwa Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Talangsari 1989, peristiwa 1965-1966, dan peristiwa pembunuhan misterius (Petrus) tahun 1982-1985.[12]
Hasil temuan dari Komnas HAM, pada dasarnya, memang tak bisa lebih dari sekadar memperjelas permasalahan atas sebuah pelanggaran HAM. Upaya penyelesaian kasus secara nonlitigasi oleh Komnas HAM, paling banter hanyalah upaya mediasi yang jelas tak punya daya mengikat dan memaksa sebagaimana keputusan pengadilan. Temuan Komnas HAM paling hanya berwujud saran atau rekomendasi kepada pihak-pihak tertentu untuk dirindaklanjuti. Kedudukan Komnas HAM sebagai penyelidik pelanggaran HAM dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, untuk kemudian disidik dan dituntut oleh kejaksaan agung, lalu disidangkan di pengadilan HAM, juga tak dapat menghasilkan temuan yang berarti apa-apa bagi kasus Marsinah, sebab kewenangan penyelidikan Komnas HAM tersebut harus terkait dengan tindak pelanggaran HAM berat.
Sekali lagi, sesuai dengan kewenangannya, Komnas HAM memang dapat menghasilkan temuan yang membuat terang kasus pembunuhan Marsinah, namun tak ada jaminan bahwa temuan itu akan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait. Saran dan rekomendasi Komnas HAM atas temuannya kepada lembaga-lembaga negara, yaitu kepada DPR dan Presiden, sebagaimana kewenangan Komnas HAM dalam Pasal 89 ayat (4) huruf d dan f UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jelas sangat membutuhkan political will dari para penguasa negara untuk menghasilkan jalan keluar.
Secara konkret, dampak yang diharapkan dari saran dan rekomendasi Komnas HAM adalah adanya political will dari pihak pembentuk undang-undang untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh pada norma-norma hukum terkait pelangggaran HAM. Secara normatif, pembenahan utama yang perlu dilakukan adalah memperluas ruang lingkup pelanggaran HAM berat, bukan hanya pada kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi juga kejahatan lain yang bersifat umum atau kejahatan yang bukan perkara pidana antarperson, semisal tindak kejahatan yang melibatkan aparatur negara sebagai pelaku, sedang korbannya mewakili kepentingan umum.
Perluasan terhadap definisi pelanggaran HAM berat, sudah seharusnya dilakukan. Apalagi, dalam UU No. 39 Tahun 1993 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat memang memiliki definisi yang lebih luas daripada sekadar kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu dapat dilihat dalam bagian Penjelasan Pasal 104 UU tersebut yang menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan ‘pelanggaran hak asasi manusia yang berat’ adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).”
Secara sepintas, pembunuhan terhadap Marsinah menemukan ruangnya dalam pengertian pelanggaran HAM berat menurut UU No. 39 Tahun 1999 di atas, meski perlu tahap penelaahan yang lebih mendalam. Tapi setidaknya, dari gambaran itu, tampak bahwa adanya political will dari pemerintah untuk mengakomodasi jenis-jenis kejahatan HAM sebagai pelanggaran HAM berat, kemudian memasukkannya sebagai kewenangan Pengadilan HAM, akan membuka celah bagi upaya pengungkapan misteri pembunuhan Marsinah melalui jalur litigasi, yang tentu akan lebih efektif dalam memberikan keadilan kepada Marsinah dan keluarganya.
Pilihan politik hukum pemerintahan di atas, patut pula ditindaklanjuti dengan upaya lain berupa pengadaan kembali KKR melalui pengadaan UU yang baru. Perluasan definisi pelanggaran HAM berat, yang kemudian menjadi ruang lingkup kewenagan KKR, akan menghadirkan jalur alternatif yang sifatnya nonlitigasi dalam upaya penyelesaian kasus Marsinah. Hal ini penting untuk mengantisipasi buntunya jalur litigasi yang rentan diintervensi oleh person-person dan antek-antek kekuasaan masa lalu yang tak ingin nama baiknya hancur, juga ogah dihukum. Terlebih, KKR, sebagaimana yang pernah ada, memang menitipberatkan rekonsiliasi, yaitu pemberian restitusi dan rehabilitasi kepada korban dan ahli warisnya, juga amnesti kepada pelaku

*Unggahan ini telah diperbarui pada tanggal 1 Juni 2018.


[1] Tirto.id, 8 Mei 2018, Pembunuhan Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Orde Baru, https://tirto.id/pembunuhan-buruh-marsinah-dan-riwayat-kekejian-aparat-orde-baru-cJSB, diakses pada 30 Mei 2018, pukul 19.45 Wita.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Merdeka.com, 2 Mei 2016, Ini Kronologi Hilangnya Marsinah Hingga Ditemukan Tewas, https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-hilangnya-marsinah-hingga-ditemukan-tewas.html, diakses pada 30 Mei 2018, pukul 20.05 Wita.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Wahyudi Djafar (Ed.), Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu: Mendorong Inisiatif Masyarakat Sipil, Memastikan Negara Bertanggung Jawab, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta Selatan, hlm. 3.
[12] Ibid., hlm. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar