Selasa, 05 November 2013

Nenek, Aku Benci Ibu!

Keadaan hidupku berubah total semenjak aku meninggalkan rumah Nenek di kampung yang serupa gubuk untuk menetap di kota bersama ibuku. Aku jadi bak raja di sebuah istana. Hidupku serba berkecukupan. Tak perlu lagi aku sungkan dan berhemat soal makanan yang merupakan kebutuhan pokok. Tak perlu lagi aku menegangkan otot dan menitihkan keringat untuk mengurus ladang dan ternak. Hingga setiap malam, kasur busa yang empuk mengantarku ke dalam mimpi untuk menyambut hari esok tanpa beban.

Dahulu, kala masih hidup bersama Nenek, aku benar-benar serasa jadi buruh yang tertindas. Seluruh waktuku habis untuk merawat sayur-mayur di ladang, juga mengurus kawanan ayam yang tak seberapa. Ketika letihku belum sirna dipanggang terik matahari, aku pun harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya. Dan untuk semua itu, aku tak mendapatkan upah apa-apa. Pun, masa kanak-kanakku berlalu tanpa keceriaan dan kepolosan yang patut kukenang.

Kini, keadaan sungguh berbeda. Aku hidup bersama Ibu yang memiliki segala daya untuk menghindarkan aku dari beban pekerjaan yang menyiksa. Ia memiliki harta yang lebih dari cukup untuk memenuhi keinginanku setiap waktu. Ia mempunyai benda-benda canggih untuk mempermudah pekerjaanku sehari-hari, juga barang-barang mewah yang patut kubanggakan. Ia menguasai segenap materi yang mungkin hanya bunga tidur bagi Nenek.

Jika kuingat-ingat lagi perbedaan kondisi hidupku dalam dua ruang yang berbeda itu, kadang kala timbul rasa sesal dalam diriku pada kehidupan bersama Nenek. Tapi seketika dalam sadarku, terobatilah sesal itu dengan kesenangan hidup bersama Ibu. Namun jika kuresapi lagi cerita lalu bersama Nenek, sebenarnya aku tak sampai hati mengutuknya. Paling tidak, ia telah menjadi teman hidupku dalam waktu yang lama. Dahulu, ia mengiringiku ke sekolah dengan berjalan kaki, memberiku uang jajan alakadarnya, atau menyampaikan jawaban asal atas tugas-tugas sekolahku.

Dan kupandang-pandang lagi foto Nenek yang terpampang di dinding rumah. Perlahan, timbul juga rinduku pada ia yang kini hidup menyendiri setelah menjanda selama 30 tahun lebih. Wajah mudanya di foto memang masih tampak cantik seperti anaknya, ibuku. Tapi kuduga, di tempat yang jauh di sana, ia semakin tua dan merenta. Raganya akan semakin lapuk dirajam waktu sepanjang 60 tahun kehidupannya. Pun, ketahanan tubuhnya jadi porak-poranda diterpa beban hidup yang berat.

Tapi dugaanku kalau raga Nenek semakin tak bisa diandalkan, bukan berarti bahwa jiwanya pun akan lemah terkulai. Aku tahu ia sosok berjiwa tangguh yang tak mau memperturut kemalasannya cuma karena alasan fisik. Ia adalah orang yang rela mengabaikan hias-hias dunia dan rias-rias wajah demi mencari rezeki halal yang cukup dari kebun dan ternak. Dan mungkin kepribadiannya itulah yang membuat parasnya semakin tak menarik, sampai harus menjanda begitu lama. Tapi kini, itu pulalah membuatku kagum padanya.

Kupastikan sudah, pada ketangguhan hidup Nenek, aku belajar dan terdidik menjadi seorang lelaki yang mandiri dan tak suka bermanja-manja. Meski kehidupanku sekarang serba ada dan serba bisa, aku masih suka melakukan pekerjaan semampuku, tanpa harus memasrahkan semuanya pada uang dengan membeli jasa orang lain, semisal menyewa pembantu ruamh tangga. Aku suka mencuci piring dan pakaian, membersihkan rumah dan halaman, hingga berbelanja dan memasak. Semua itu kurasa tak seberapa dibanding beban kerjaku di ladang dahulu.

Kuingat lagi nasihat Nenek setiap kali aku kesal dan ogah-ogahan melihat tanaman di ladang mati meranggas, atau ketika ternak ayam hilang satu per satu, “Jangan menyerah untuk bekerja. Bagaimana pun hasilnya, selama itu hasil kerja keras kita sendiri, pasti akan menuai berkah. Iklaslah! Tak boleh mengeluh untuk pekerjaan yang halal dan bermartabat!”

Sampai akhirnya, kukenang lagi hari terakhir bersama Nenek. Satu hari saat aku harus meninggalkannya untuk pergi pada ibuku yang tidak begitu kukenal. Aku harus berpisah dengan Nenek yang telah menemaniku sampai tamat sekolah, lalu hidup bersama Ibu yang hanya mengunjungiku sekali-kali.

“Abi, besok kau akan berangkat ke kota. Sudah saatnya kau hidup bersama Ibumu. Di sana, kau akan hidup enak dan bahagia,” kata Nenek di hari perpisahan itu, di satu sore, saat kami tengah duduk di pelataran depan rumah, sembari menaburkan biji jagung pada kawanan ayam yang tak seberapa. “Kalau selama ini aku telah membuat hidupmu penuh beban dan kesengsaraan, maafkanlah. Ambil saja hikmahnya.”

“Tapi…,” kataku, bimbang. “Tapi, Nenek ikut kan?”

Nenek melepas batuknya yang kering, kemudian menggeleng. “Aku sebaiknya di sini saja. Siapa yang akan mengurus ladang dan ternak kalau aku pergi?” katanya, sambil mengusap-usap punggungku. “Sampaikan saja salamku pada Ibumu.”

Setelah bercengkerama dan melepas rindu dengan Nenek lewat foto, kurebahkanlah badanku di sofa yang empuk. Kupadangi langit-langit ruangan, dan berdoa agar ia  baik-baik saja di sana, di sebuah rumah panggung yang beratap jerami dan berdinding-beralas bambu, seorang diri.

Dan malam ini, seperti biasa, aku sendiri saja di rumah megah Ibu yang lengang. Tak ada siapa-siapa sebab aku tak punya saudara, dan ibu tak menikah lagi setelah Ayah meninggal ketika aku masih dalam gendongan. Ibu sendiri, selalu sibuk dan acapkali keluar rumah untuk urusan pekerjaan, bahkan di malam hari, di hari libur juga.

Aku tak tahu pasti apa pekerjaan Ibu sampai sesibuk itu. Dahulu, pernah sesekali aku tanyakan padanya, dan ia berkata tengah bekerja di sebuah perusahaan, tanpa menjelaskan jenis pekerjaannya secara detail. Katanya, aku tak akan mengerti soal kerja-kerjanya. Dan setelah itu, aku tak ingin menanyainya lagi. Yang pasti, kuterka, ia adalah seorang bos besar. Paling tidak, aku selalu melihat ia keluar dengan dandanan yang apik dan pakaian modis.

Setelah puas mengenang perubahan hidupku yang drastis di antara masa lalu dan masa kini, tiba-tiba, kebosanan datang menyerangku. Tapi rasa suntuk dalam kesendirian, tak akan menghujam perasaanku sepanjang malam ini. Aku telah mengikat janji dengan Alim, seorang temanku, anak seorang direktur perusahaan, untuk melanglang sepanjang jalan kota, menuju pementasan musik yang meriah.

Jam 8 malam. Sisa 15 menit pementasan akan dimulai. Sudah seharusnya ia datang menjemputku.

“Abi, keluar cepat! Konsernya sudah mau mulai!” teriak Alim dari luar halaman rumah Ibu yang luas dan asri.

Tanpa berlama-lama, aku yang sedari tadi siap-sedia, bergegas keluar dan menghampirinya.

Tanpa basa-basi pula, Suasa motor gede Alim menderu. Ia langsung tancap gas, melintasi lalu lintas kota yang padat.

Hingga akhirnya, sampailah kami di antara kerumunan para penikmat musik. Dua lagu, harus kami relakan berlalu. Tapi keterlambatan itu, malah semakin menggugah hasratku untuk menghempaskan rasa-rasa sepiku yang menempel di dinding hati akibat kesendirian di rumah sepanjang hari kemarin. Aku pun turut melantunkan lagu sebagaimana vokalis, bersorak dan berjingkrak, berseru-seruan dengan Alim dan entah siapa-siapa yang lain

Tapi seperti juga nelangsa yang akan berakhir, kegembiraan pun demikian. Usai juga konser musik yang telah menyemarakkan perasaanku dalam waktu yang singkat. Hingga seiring perjalanan malam, kebisingan kota pun, mulai mereda secara perlahan. Dan kembali, aku harus pulang ke rumah menemui diriku sendiri, tanpa sambutan Ibu yang mungkin akan tiba di rumah lewat tengah malam, seperti biasanya.

Di tengah perjalanan pulang, ketika kehampaan perlahan kembali, lagi-lagi, kesal bertandang saat tengah melawan angkuhnya kota. Jalanan macet, polusi udara, suara bising tak beraturan, dan semua orang yang tak saling mengerti. Amarah terpendam pun jadi ingin kuluruhkan segera sesampainya di rumah.  

Tak cukup dengan itu. Di setiap lampu merah, perjalan pulang jadi semakin menyesakkan dengan kehadiran para gelandangan yang mengklaim jalan raya sebagai rumah sekaligus lahan pencarian rezeki bagi mereka. Ada yang sekadar mengemis dengan pakaian yang memprihatinkan sambil memampang wajah murung dan suara memelas. Ada pula yang mengamen sembari mendecingkan kencrengan, kemudian menagih imbalan dengan mimik memaksa untuk suara mereka yang cempreng dan tak bernada.

Sialnya, sebagaimana sesi keberangkatan, kami harus melalui empat lampu lalu pintas. Kami harus rela terhenti di tengah kendaraan yang entah dari-mana-ke-mana, juga dikepung para pengembara jalanan yang mendamba receh. Tapi setelah bersabar, bersyukur pula kemudian. Kami akhirnya terhenti di depan lampu lalu lintas yang terakhir. Terhenti di sisi tengah gerombolan kendaraan yang berhenti dan menumpuk.

Lagi-lagi, tanpa diundang, para pengamen dan pengemis pun datang menghampiri kami, silih berganti. Mereka mengedarkan celengan sambil berharap lampu merah bersinar lama, sedang kami berharap sebaliknya. Sebisa mungkin, aku tak bersetatap dan melayangkan senyuman, sebab itu bisa mereka tafsir sebagai undangan. Jadi, kulemparkanlah pendanganku ke arah yang jauh, ke sisi depan.

Sampai akhirnya, mataku terpaku pada seseorang perempuan yang tengah melintas di atas garis penyeberangan, di depan kerumunan kendaraan yang tak sabar untuk melaju, sambil menghampiri pengendara yang tampak cuek, satu per satu. Perempuan itu tampak kumal dengan pakaian yang kisut dan bernoda. Ia menyelempang sebuah sarung batik, tempat seorang bayi mungil tertidur. Sebuah sarung yang bermotif sama dengan sarung yang pernah kulihat dilipat Ibu, yang kemudian ia masukkan ke dalam tasnya.

Dengan sungguh-sungguh, aku berusaha menyalahkan cara mataku mengindrai. Tapi berkas-berkas di memoriku, malah membenarkannya kenyataan itu. Dan sepenuh jiwaku pun jadi yakin kala perempuan itu berbalik ke arah kerumunan pengemudi yang beramai-ramai menyembunyikan klakson setelah lampu hijau menyala, tapi perempuan itu tak juga menepi; aku melihat jelas wajahnya, dan aku mengenalnya.

Seketika, pupuslah rasa banggaku pada Ibu. Dia memang pekerja, tapi tak setangguh Nenek. Dia memang tabah, tapi tak setulus Nenek. Dia memang kaya, tapi tak semulia Nenek. Ibu dan Nenek, jauh berbeda.

Kini, hatiku merintih, “Nenek, aku malu pada Ibu. Aku benci pada Ibu. Aku ingin pulang padamu, Nenek.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar