Jumat, 01 November 2013

Terperangkap Dosa

Jatuhnya seseorang dalam ruang dosa, berarti jauhnya ia dari nilai-nilai kebenaran. Dosa yang mengeruhkan hati, akan membuatnya sudi membenarkan ketidakbenaran. Perangkap dosa akan semakin memperdaya jika ia hidup dalam lingkungan yang bergelimang dosa. Secara rasio, bisa saja ia mengetahui dan memahami hakikat kebenaran, namun keterasingan di tengah orang pendosa, akan membuat ia turut saja sebagai pendosa, sebab anggapan mayoritas telah menganggap dosa sebagai kebenaran.

Sikap permisif terhadap laku pendosa merupakan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, terutama pada masyarakat yang kompleks. Setiap individu akan bertingkah sesuai dengan nilai-nilai asalnya, tanpa memedulikan padangan orang lain yang mungkin menganut nilai yang berbeda. Akibatnya, terjadilah anomali nilai. Batas nilai kebenaran dan kesalahan, menjadi kabur. Dalam kebingunan itu, semua tingkah pun dibolehkan. Hingga akhirnya setiap orang saling membiarkan untuk bertingkah sesuai dengan kehendak masing-masing. 

Pada perkembangan masyarakat kompleks selanjutnya, para penganut nilai akan saling mendominasi. Pandangan mayoritas akan menghegemoni pandangan minoritas. Sampai akhirnya, tanpa perlu menelaah nilai kebenaran sesungguhnya, pihak minoritas akan turut saja pada nilai yang dianut oleh pihak mayoritas. Lama-kelamaan, kukuhlah kerangka nilai yang dianggap benar karena didukung atau dianut oleh mayoritas individu. Dan akhirnya, individu dalam kelompok minoritas akan dipaksa turut, ataukah turut dengan sendirinya agar terhindar keterasingan.

Jikalau akhirnya kesalahan dianggap lumrah karena telah menjadi pendangan dan perilaku umum, maka setiap orang akan menganggap ketidakteraturan sebagai hal yang teratur. Sebuah pelanggaran tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, tetapi kelaziman yang sudah biasa atau bahkan sepatutnya terjadi. Akibatnya, orang yang mencoba menentang keadaan, akan dicap aneh, sebab mempermasalahkan keadaan yang biasa.

Banyak kenyataan sebagai contoh untuk argumensi di atas. Sikap dalam mengantre, misalnya, mempertontonkan laku kepatuhan dan ketidakpatuhan masyarakat pada nilai sejati. Akan terlihat ada sebagian orang yang mempertuan ego pribadinya, lalu tega menerobos antrean. Tapi di sisi lain, sebagian orang yang telanggar haknya untuk didahulukan, malah tak berselera untuk mempermasalahkan laku culas itu, karena manganggapkannya sudah biasa terjadi di tengah masyarakat yang berburu dengan waktu. Jadi, yang lain semena-mena, sedang yang lainnya diam saja.

Pada kasus di atas, tidak usah berharap pada tegaknya nilai kesopanan dan kesusilaan, termasuk mendahulukan orang tua dan orang berkebutuhan khusus dalam antrean. Biarpun dalam kasus antrean, ketiadaan pengawas dan nomor urut antrean senantiasa menjadi alasan, tapi dalam kehidupan yang beradab, itu tetap saja tak bisa dibenarkan. Ketaatan pada nilai luhur untuk mengaktualisasikan nilai kebenaran, sudah secukupnya didasarkan pada pikiran dan hati nurani yang melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, yang dibutuhkan adalah keteguhan pada kebenaran, karena sebaik apapun aturan, tak akan berarti apa-apa bagi pendosa yang gemar meyalahi nuraninya.

Kenyataan bahwa dasar dari segala masalah penyelewengan terhadap nilai, terletak pada individu, perlu menjadi acuan. Perilaku beberapa individu pendosa yang terakumulasi sebagai standar perilaku mayoritaslah yang kemudian menjadi dasar untuk menghukumi perilaku setiap orang. Hingga di sisi lain, orang-orang yang sebenarnya menyadari adanya penyimpangan, pasrah saja pada keadaan, bahkan turut dalam perilaku para pendosa. Dan jelas, kedua golongan tersebut, sama-sama memiliki andil dalam mengukuhkan standar kehidupan para pendosa, sebab mendiamkan kesalahan, kadang kala berarti setuju. Bedanya cuma pada bentuk sikap; sebagian aktif, sebagian lain pasif.

Jika demikian, menghentikan ketidakbenaran perilaku para pendosa, harus berangkat dari pembenahan individu. Sasaran pembenahan yang pertama dan utama adalah mereka-mereka yang secara struktural maupun fungsional memiliki tanggung jawab sebagai penegak atau penjaga kebenaran. Dalam soal antrean misalnya, maka para pelayanlah yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu, sebab mereka punya kuasa lebih untuk mengontrol agar barisan antrean terurai secara baik. Jikalau pelayan saja diam, sedang ia memang memiliki kewajiban untuk melayani secara adil, maka percuma menumpukan harapan pada yang lain. 

Setelah orang-orang yang punya kuasa mampu meneriakkan tentang kebenaran, maka kehendak hati setiap orang untuk menentang ketidakbenaran, akan semakin menggelora, hingga mewujud dalam tindakan. Keadaan itu mungkin terjadi sebab setiap orang yang lemah hati, kadang kala butuh pengayom atau pelindung dalam upaya menuntut haknya. Dan pengayom yang paling tepat adalah mereka-mereka yang punya kuasa pada semua orang yang mempertarungkan nilai kebenaran dan kesalahan. Pengayom demikianlah yang hadir untuk menyatakan yang benar adalah benar, sehingga setiap orang yang lemah hati merasa aman untuk menuntut haknya atas kebenaran. 

Kahadiran orang-orang yang memiliki kuasa dan sadar akan tanggung jawabnya dalam menegakkan kebenaran, sangatlah dibutuhkan sesegera mungkin. Lambannya mereka dalam bertindak, jelas akan membuat keadaan semakin runyam, yaitu terciptanya kondisi saat orang-orang mulai menerima nilai kesalahan sebagai bagian dari kehidupannya. Implikasinya, ketidakbenaran yang dibiarkan terjadi dalam waktu yang lama, akan membutuhkan waktu yang lama pula untuk kembali dianggap sebagai kebenaran. 

Lalu, apa yang membuat para pemegang kuasa dan tanggung jawab menegakkan kebenaran malah turut permisif atas tindak penyelewengan? Jawaban yang paling mungkin adalah jebakan dosa masa lalu. Tentu, sebelum mengatakan kebenaran pada orang lain, setiap orang acapkali menerawang kembali perilakunya di masa lalu. Dan ketika disadarinya bahwa dahulu ia pun melakukan kesalahan demikian, maka engganlah ia untuk bertindak tegas. Semisal, orang tua yang diam saja mengetahui anak mudanya gemar berkelahi dan mabuk-mabukan, sebab dahulu, ia pun demikian. Ia jelas tak ingin nasihatnya malah jadi bumerang, kalau-kalau anaknya membalas bahwa ia hanyalah preman yang sudah insaf saja. Akhirnya, ia pun pasrah pada keadaan, sambil berharap suatu saat anaknya bertobat sendiri, sebagaimana dirinya.

Tak berhenti pada sikap diam dan mengutuk diri sendiri, para pemegang tanggung jawab pun malah seringkali melakukan sikap yang salah atas masa lalunya. Mereka gemar menceritakan dosa-dosanya yang lampau, bahkan terkesan membangga-banggakannya. Mereka tak memilih untuk mendiamkan saja kenangan kelamnya di dalam memori, dan cukup menjadikan itu sebagai renungan sendiri. Semisal mantan preman yang berkisah kepada sang anak soal dosa-dosa masa lalunya, malah rentan menimbulkan akibat tak terkira. Kisah kelam sang ayah mungkin bukan dijadikan pelajaran oleh sang anak, tetapi malah dijadikan contoh bahwa setiap anak muda sudah sewajarnya bertindak salah dan mendosa, sebab ada masa tua untuk bertobat.

Lalu, dalam contoh kasus di atas, haruskah sang ayah diam saja dan berharap anaknya menemukan titik kesadarannya sendiri? Tentu saja tidak. Anggapan bahwa kelak setiap orang pasti menginsafi dan bertobat atas kesalahannya, jelas patut dihindari. Bisa saja seseorang menghabiskan seluruh waktunya sebagai pendosa. Kerena itu, sebisa mungkin sang ayah mendidik sang anak agar tak seperti dirinya dahulu. Bahkan jika perlu, tindakan tegas tak ada salahnya untuk dipertimbangkan. Jikalaupun sang anak tetap membandel, paling tidak, sang ayah telah menancapkan nilai-nilai kebenaran dalam hati sang anak, yang suatu saat, akan ia refeleksikan sendiri. 

Mendidik seseorang sejak diri untuk keluar dari jalur dosa, adalah langkah bijak dan tepat. Sikap demikian akan menyelematkan seseorang dari perbuatan dosa yang tak henti-hentinya menuntut keberlanjutan dan menjerat seseorang dalam lingkaran setan. Simaklah cerita pendahulu kita, bahwa dahulu kala, ada seseorang ditawari untuk memilih salah satu jenis perbuatan dosa, apakah mabuk, memerkosa, atau membunuh. Merasa bahwa mabuk lebih mudah dan ringan, ia pun memilih meminum arak. Akibatnya, dalam ketidakwarasannya, ia menggauli seorang wanita. Lalu, karena tak ingin aibnya diketahui orang lain, ia pun membunuh wanita tersebut. Ketiga-tiganya ia tunaikan. 

Akhirnya, upaya untuk keluar dari jeratan dosa, harus menjadi usaha setiap individu. Dan setelah seseorang individu berada dalam kemuliaan pikiran dan nurani, maka menjadi tanggung jawabnya pula untuk berbagi makna kebenaran kepada orang lain. Ia harus sadar atas kewajibannya untuk mengajak orang kepada jalur kebenaran, sebagaimana yang ia tempuh, bukan malah bermasa bodoh pada kesesatan orang lain. Ia harus sadar bahwa manusia memang tempatnya salah dan lupa, sehingga penting untuk bersabar dalam upaya saling menasihati dan saling mengajak kepada fitrah manusia, yaitu kesucian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar