Jatuhnya
seseorang dalam ruang dosa, berarti jauhnya ia dari nilai-nilai kebenaran. Dosa
yang mengeruhkan hati, akan membuatnya sudi membenarkan ketidakbenaran.
Perangkap dosa akan semakin memperdaya jika ia hidup dalam lingkungan yang
bergelimang dosa. Secara rasio, bisa saja ia mengetahui dan memahami hakikat
kebenaran, namun keterasingan di tengah orang pendosa, akan membuat ia turut
saja sebagai pendosa, sebab anggapan mayoritas telah menganggap dosa sebagai
kebenaran.
Sikap
permisif terhadap laku pendosa merupakan fenomena yang terjadi di dalam
masyarakat, terutama pada masyarakat yang kompleks. Setiap individu akan
bertingkah sesuai dengan nilai-nilai asalnya, tanpa memedulikan padangan orang
lain yang mungkin menganut nilai yang berbeda. Akibatnya, terjadilah anomali nilai.
Batas nilai kebenaran dan kesalahan, menjadi kabur. Dalam kebingunan itu, semua
tingkah pun dibolehkan. Hingga akhirnya setiap orang saling membiarkan untuk bertingkah
sesuai dengan kehendak masing-masing.
Pada
perkembangan masyarakat kompleks selanjutnya, para penganut nilai akan saling
mendominasi. Pandangan mayoritas akan menghegemoni pandangan minoritas. Sampai
akhirnya, tanpa perlu menelaah nilai kebenaran sesungguhnya, pihak minoritas akan
turut saja pada nilai yang dianut oleh pihak mayoritas. Lama-kelamaan, kukuhlah
kerangka nilai yang dianggap benar karena didukung atau dianut oleh mayoritas
individu. Dan akhirnya, individu dalam kelompok minoritas akan dipaksa turut,
ataukah turut dengan sendirinya agar terhindar keterasingan.
Jikalau
akhirnya kesalahan dianggap lumrah karena telah menjadi pendangan dan perilaku
umum, maka setiap orang akan menganggap ketidakteraturan sebagai hal yang
teratur. Sebuah pelanggaran tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, tetapi
kelaziman yang sudah biasa atau bahkan sepatutnya terjadi. Akibatnya, orang
yang mencoba menentang keadaan, akan dicap aneh, sebab mempermasalahkan keadaan
yang biasa.
Banyak
kenyataan sebagai contoh untuk argumensi di atas. Sikap dalam mengantre,
misalnya, mempertontonkan laku kepatuhan dan ketidakpatuhan masyarakat pada
nilai sejati. Akan terlihat ada sebagian orang yang mempertuan ego pribadinya, lalu
tega menerobos antrean. Tapi di sisi lain, sebagian orang yang telanggar haknya
untuk didahulukan, malah tak berselera untuk mempermasalahkan laku culas itu, karena
manganggapkannya sudah biasa terjadi di tengah masyarakat yang berburu dengan
waktu. Jadi, yang lain semena-mena, sedang yang lainnya diam saja.
Pada
kasus di atas, tidak usah berharap pada tegaknya nilai kesopanan dan
kesusilaan, termasuk mendahulukan orang tua dan orang berkebutuhan khusus dalam
antrean. Biarpun dalam kasus antrean, ketiadaan pengawas dan nomor urut antrean
senantiasa menjadi alasan, tapi dalam kehidupan yang beradab, itu tetap saja
tak bisa dibenarkan. Ketaatan pada nilai luhur untuk mengaktualisasikan nilai
kebenaran, sudah secukupnya didasarkan pada pikiran dan hati nurani yang
melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, yang dibutuhkan adalah keteguhan pada
kebenaran, karena sebaik apapun aturan, tak akan berarti apa-apa bagi pendosa
yang gemar meyalahi nuraninya.
Kenyataan
bahwa dasar dari segala masalah penyelewengan terhadap nilai, terletak pada
individu, perlu menjadi acuan. Perilaku beberapa individu pendosa yang
terakumulasi sebagai standar perilaku mayoritaslah yang kemudian menjadi dasar
untuk menghukumi perilaku setiap orang. Hingga di sisi lain, orang-orang yang sebenarnya
menyadari adanya penyimpangan, pasrah saja pada keadaan, bahkan turut dalam
perilaku para pendosa. Dan jelas, kedua golongan tersebut, sama-sama memiliki
andil dalam mengukuhkan standar kehidupan para pendosa, sebab mendiamkan
kesalahan, kadang kala berarti setuju. Bedanya cuma pada bentuk sikap; sebagian
aktif, sebagian lain pasif.
Jika
demikian, menghentikan ketidakbenaran perilaku para pendosa, harus berangkat
dari pembenahan individu. Sasaran pembenahan yang pertama dan utama adalah
mereka-mereka yang secara struktural maupun fungsional memiliki tanggung jawab
sebagai penegak atau penjaga kebenaran. Dalam soal antrean misalnya, maka para pelayanlah
yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu, sebab mereka punya kuasa lebih untuk
mengontrol agar barisan antrean terurai secara baik. Jikalau pelayan saja diam,
sedang ia memang memiliki kewajiban untuk melayani secara adil, maka percuma
menumpukan harapan pada yang lain.
Setelah
orang-orang yang punya kuasa mampu meneriakkan tentang kebenaran, maka kehendak
hati setiap orang untuk menentang ketidakbenaran, akan semakin menggelora,
hingga mewujud dalam tindakan. Keadaan itu mungkin terjadi sebab setiap orang yang
lemah hati, kadang kala butuh pengayom atau pelindung dalam upaya menuntut
haknya. Dan pengayom yang paling tepat adalah mereka-mereka yang punya kuasa
pada semua orang yang mempertarungkan nilai kebenaran dan kesalahan. Pengayom
demikianlah yang hadir untuk menyatakan yang benar adalah benar, sehingga
setiap orang yang lemah hati merasa aman untuk menuntut haknya atas kebenaran.
Kahadiran
orang-orang yang memiliki kuasa dan sadar akan tanggung jawabnya dalam
menegakkan kebenaran, sangatlah dibutuhkan sesegera mungkin. Lambannya mereka
dalam bertindak, jelas akan membuat keadaan semakin runyam, yaitu terciptanya
kondisi saat orang-orang mulai menerima nilai kesalahan sebagai bagian dari
kehidupannya. Implikasinya, ketidakbenaran yang dibiarkan terjadi dalam waktu
yang lama, akan membutuhkan waktu yang lama pula untuk kembali dianggap sebagai
kebenaran.
Lalu,
apa yang membuat para pemegang kuasa dan tanggung jawab menegakkan kebenaran
malah turut permisif atas tindak penyelewengan? Jawaban yang paling mungkin
adalah jebakan dosa masa lalu. Tentu, sebelum mengatakan kebenaran pada orang
lain, setiap orang acapkali menerawang kembali perilakunya di masa lalu. Dan
ketika disadarinya bahwa dahulu ia pun melakukan kesalahan demikian, maka
engganlah ia untuk bertindak tegas. Semisal, orang tua yang diam saja mengetahui
anak mudanya gemar berkelahi dan mabuk-mabukan, sebab dahulu, ia pun demikian. Ia
jelas tak ingin nasihatnya malah jadi bumerang, kalau-kalau anaknya membalas bahwa
ia hanyalah preman yang sudah insaf saja. Akhirnya, ia pun pasrah pada keadaan,
sambil berharap suatu saat anaknya bertobat sendiri, sebagaimana dirinya.
Tak
berhenti pada sikap diam dan mengutuk diri sendiri, para pemegang tanggung
jawab pun malah seringkali melakukan sikap yang salah atas masa lalunya. Mereka
gemar menceritakan dosa-dosanya yang lampau, bahkan terkesan membangga-banggakannya.
Mereka tak memilih untuk mendiamkan saja kenangan kelamnya di dalam memori, dan
cukup menjadikan itu sebagai renungan sendiri. Semisal mantan preman yang berkisah
kepada sang anak soal dosa-dosa masa lalunya, malah rentan menimbulkan akibat
tak terkira. Kisah kelam sang ayah mungkin bukan dijadikan pelajaran oleh sang
anak, tetapi malah dijadikan contoh bahwa setiap anak muda sudah sewajarnya
bertindak salah dan mendosa, sebab ada masa tua untuk bertobat.
Lalu,
dalam contoh kasus di atas, haruskah sang ayah diam saja dan berharap anaknya
menemukan titik kesadarannya sendiri? Tentu saja tidak. Anggapan bahwa kelak setiap
orang pasti menginsafi dan bertobat atas kesalahannya, jelas patut dihindari. Bisa
saja seseorang menghabiskan seluruh waktunya sebagai pendosa. Kerena itu,
sebisa mungkin sang ayah mendidik sang anak agar tak seperti dirinya dahulu. Bahkan
jika perlu, tindakan tegas tak ada salahnya untuk dipertimbangkan. Jikalaupun
sang anak tetap membandel, paling tidak, sang ayah telah menancapkan
nilai-nilai kebenaran dalam hati sang anak, yang suatu saat, akan ia
refeleksikan sendiri.
Mendidik
seseorang sejak diri untuk keluar dari jalur dosa, adalah langkah bijak dan
tepat. Sikap demikian akan menyelematkan seseorang dari perbuatan dosa yang tak
henti-hentinya menuntut keberlanjutan dan menjerat seseorang dalam lingkaran
setan. Simaklah cerita pendahulu kita, bahwa dahulu kala, ada seseorang
ditawari untuk memilih salah satu jenis perbuatan dosa, apakah mabuk,
memerkosa, atau membunuh. Merasa bahwa mabuk lebih mudah dan ringan, ia pun
memilih meminum arak. Akibatnya, dalam ketidakwarasannya, ia menggauli seorang
wanita. Lalu, karena tak ingin aibnya diketahui orang lain, ia pun membunuh
wanita tersebut. Ketiga-tiganya ia tunaikan.
Akhirnya,
upaya untuk keluar dari jeratan dosa, harus menjadi usaha setiap individu. Dan
setelah seseorang individu berada dalam kemuliaan pikiran dan nurani, maka
menjadi tanggung jawabnya pula untuk berbagi makna kebenaran kepada orang lain.
Ia harus sadar atas kewajibannya untuk mengajak orang kepada jalur kebenaran,
sebagaimana yang ia tempuh, bukan malah bermasa bodoh pada kesesatan orang
lain. Ia harus sadar bahwa manusia memang tempatnya salah dan lupa, sehingga
penting untuk bersabar dalam upaya saling menasihati dan saling mengajak kepada
fitrah manusia, yaitu kesucian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar