Minggu, 27 April 2014

Tercipta Tentangmu


Aku menjalani rutinitas yang biasa sebagai siswa semester II kelas XI. Duduk di kelas ketika jam pelajaran, jajan di katin ketika jam istirahat, atau nongkrong di perpustakaan ketika dapat tugas mendadak. Sungguh membosankan tentunya. Hingga aku tak henti-hentinya berharap jam pelajaran segera berakhir, dan aku bisa melakoni hobiku bermain musik.

Tiga bulan sebelumnya, aku memang telah tergabung dalam sebuah grup band bersama dua orang temanku yang lain. Aku sebagai vokalis yang merangkap pemain gitar, Rio sebagai bassis, dan Ryu sebagai penggebuk drum. Kami bertiga berkomitmen untuk menjadi membesarkan nama band kami, Jibaku. Karena itu, selepas jam sekolah yang membosankan, kami senantiasa menghabiskan waktu di studio musik milik Ryu.

Obsesi kami sangat tinggi untuk menjadi orang yang terkenal. Tapi itu tidaklah mengada-ada. Talenta kami membuat mimpi besar itu terasa mungkin terwujud. Tak ada yang meragukan kelihaian kami di posisi masing-masing. Tak ada yang berani menyepelekan kreativitas kami. Bahkan siswa di sekolah kamu pun mulai menobatkan diri sebagai fans, termasuk juga para perempuan.

Dan sebagai seorang lelaki yang mulai tenar, paling tidak, di lingkungan sekolah, sanjungan dari kaum hawa adalah godaan yang harus kusikapi secara bijak. Aku harus menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam buaian semu, hingga tega mempermainkan hati para wanita pengagumku. Tapi beruntunglah, aku bisa mengabaikan laku-laku wanita yang liar, yang coba mencuri perhatianku.

Tapi keteguhanku dalam mengabaikan soal perempuan untuk fokus meniti karir sebagai musisi, akhirnya goyah juga. Diam-diam, aku jatuh hati pada sesosok perempuan berkacamata yang begitu pendiam dan misterius. Namanya Rina. Seseorang yang tak mengacuhkan aku sebagai seorang selebriti di lingkungan sekolah, kala wanita lain malah mengeluh-elukanku.

Sosok Rina memang unik. Ia lebih suka bersepi-sepi dengan buku bacaan atau buku catatannya, ketimbang larut dalam ingar-bingar anak sekolahan. Mungkin karena itu pula, selama sekelas dengannya, aku tak pernah melihat seorang lelaki pun berusaha mendekatinya. Padahal, bagiku, ia memiliki paras yang sangat menawan, juga senyuman yang begitu manis.

Untuk perasaanku padanya, aku merasa semakin hidup. Ia menjadi motivasi, inspirasi, sekaligus obsesiku. Membuatku terus membayangkan dirinya di dalam ruang imajinasi, kemudian menerjemahkannya dalam kata-kata dan nada. Hingga terciptalah serangkaian lagu tentang seorang lelaki pemalu yang hanya bisa memendam perasaannya untuk seorang wanita pujaan hatinya.

***

Kompetisi cinta lagu antarband, akan segera digelar. Satu kompetisi yang sangat bergengsi pagi anak muda pelakon musik. Dan untungnya, sebuah lagu ciptaanku, termasuk di antara tiga lagu yang akan memperebutkan gelar juara. Satu lagu yang diam-diam kuciptakan untuk Rina, yang tak lama lagi, akan kunyanyikan di panggung megah untuknya, secara langsung.

Sehabis jam pelajaran, aku pun bergegas pulang ke rumah. Aku hendak mempersiapkan diri sebelum berangkat ke studio milik Ryu untuk mamantapkan diri menghadapi kompetisi. Aku menumpang sebuah angkutan kota langgaran Rina. Aku menunggu sambil berharap-harap cemas semoga alam berkehendak untuk menjebak kami dalam ruang yang sama. Aku ingin terperjara bersamanya, agar aku terjebak dan terpaksa untuk memulai pendekatan awal.

Dan perhitunganku, tepat. Ia datang juga dengan raut wajah yang datar, lalu duduk tepat di bangku depanku. Tapi rencana untuk memulai obrolan dengannya, buyar seketika. Aku jadi sangat gugup dan kehilangan konsentrasi. Hingga detik demi detik berganti, aku tak juga memulai percapakan, sedang ia tampak begitu cuek.

Kukuat-kuatkan batin untuk terus melawan kepengecutan diriku sendiri. Kupikir-pikir, kesempatan emas untuk memulai obrolan dengannya, tak akan datang dua kali. Karena itu, saat angkutan kota tinggal menyisakan dua orang penumpang saja, aku dan dia, kupaksakanlah lidahku untuk berucap:

“Rina,” sapaku.

Ia tak menoleh. Mungkin tak mendengar, atau tak pernah yakin aku akan menyapanya.

Jatungku pun semakin berdegup.  “Rin,” seruku lagi, lebih tegas.

Seketika, ia menoleh padaku dengan tatapan yang aneh, seolah-olah aku tak patut menyebut-nyebut namanya. “Kenapa?” tanyanya, kemudian memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit melorot.

Tiba-tiba, aku jadi bingung harus memulai percakapan dari mana. Kupikir, terlalu lugu jika aku langsung mengundangnya untuk datang menyaksikan kompetisi band yang akan kuikuti. Maka kubukalah percakapan dengan membahas soal tugas-tugas dan kejadian-kejadian di sekolah, dengan selingan jeda yang panjang dan tidak teratur.

Berselang kemudian, suasana di antara kami kembali mendingain. Aku kehabisan bahan basa-basi, sedangkan ia begitu pasif dalam obrolan. Akhirnya, aku pun mulai menjajaki pokok pembahasan yang telah kurencanakan. “Apa hari Sabtu nanti kau punya kesibukan?”

Ia menoleh padaku, lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Tak ada. Memangnya kenapa?”

Aku sedikit senang mendengar kalau ia punya peluang untuk hadir. “Aku tahu kau tidak terlalu tertarik dengan musik,” selaku. “Tapi…, aku sangat mengharapkan kehadiranmu pada kompetisi musik yang akan kuikuti hari Sabtu nanti,” terangku, sambil menyodorkan sebuah tiket kepadanya.

Dengan mimik yang terkejut dan berseri-seri, ia pun menjemput tiket yang aku berikan. “Terima kasih, ya,” balasnya, sembari tersenyum.

Tak cukup lima detik kemudian, angkutan kota yang kami tumpangi, berbelok kanan menuju lorong rumahnya. Dan dari arah bersilangan, sebuah mobil truk menghantam sisi kiri angkutan kota.

Aku tak tahu jelas bagaimana setelahnya. Yang pasti, aku mendapati diriku hanya mengalami luka ringan di bagian siku dan pelipis, sedang Rina dalam keadaan koma dengan luka yang parah dan pendarahan yang hebat di bagian kepala. Aku pun mendonorkan darahku untuknya, tentu setelah meyakinkan orang-orang kalau aku akan baik-baik saja.

***

Tiga hari berlalu, aku pun mendapati kabar kalau Rina telah siuman. Dan atas keadaannya yang belum pulih betul, kupupuskanlah harapan atas kehadirannya di depan panggung untuk menyaksikan penampilanku pada kompetisi antarband. Memastikan kalau keadaannya semakin membaik saja, sudah cukup menyenangkan hatiku.

Sudah tapat jam 7 malam. Itu berarti sisa satu jam lagi kompetisi band akan dimulai. Aku dengan dua orang teman sebandku pun menelusuri jalan menuju lokasi acara. Tapi, diluar kendali, petaka kembali menimpa. Mobil yang dikemudikan Ryu, hilang kendali dan menabrak pembatas lajur setelah berusaha menghindari penyeberang jalan yang melintas bukan pada tempatnya. Mobil pun terhempas, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Sampai akhirnya, aku tersadar berada di sebuah rumah sakit. Tersadar berada di dalam dunia yang jadi begitu senyap. Tak ada suara terdengar. Yang kusaksikan hanya gerakan bibir ayah-ibuku, juga dokter dan perawat, yang tampak bahagia atas kesadaranku. Tapi aku tak mendengar sedikitpun kata-kata dari mereka. Aku mengalami gangguan pendengaran. Tuli.

Sungguh, sulit bagiku menerima kenyataan kalau aku jadi menuli. Sebagai seorang musisi, pendengaran adalah karunia paling berarti. Hanya dengan indra itu, aku bisa merangkai nada-nada yang indah. Hanya dengan indra itu, aku bisa menggubah lagu-lagu terbaik.

Tapi kenyataan sudah terjadi. Tuli telah menjadi takdirku, dan aku harus sabar menerimanya.

***

Setelah keluar dari rumah sakit, aku pun kembali ke rumah dengan kondisi pendengaran yang masih buruk. Lama waktu yang aku lalui hanya dengan menyendiri, tanpa hendak ke mana-mana. Aku jadi tak berselera menjalani rutinitas yang dahulu kulakoni setiap waktu. Aku tak berselera berkumpul bersama teman-temanku, atau siapa pun yang mengenalku. Aku tak sanggup menjalani komunikasi yang rumit dengan suara yang senyap-senyap.

Tapi hari ini, aku hendak beradaptasi dengan keadaan baru. Bersama kekalutan yang tak terkira, aku berangkat ke sekolah setelah sekian lama tak berbagi kabar dengan teman-teman dan guru-guruku. Satu kedatangan yang mungkin berarti menuai sedih di hati mereka-mereka. Satu kedatangan yang kubalut harus dengan rasa tak peduli atas rasa segan dan malu di dalam diriku sendiri.

Sesampainya di sekolah, kulihatlah dari segala arah kalau orang-orang memusatkan perhatian padaku. Dan aku yang menafsir kalau mereka hendak bertanya kabar, membalas saja dengan senyuman seadanya. Sampai akhirnya, pandanganku tertuju pada Rina yang tengah melambaikan tangan di sisi depanku, seakan berusaha mengesankan sambutan yang hangat.

Tapi tiba-tiba, kekalutan menyerang batinku menyaksikan kehadirannya. Meka setelah melayangkan satu senyuman, aku pun bergegas berpaling darinya. Meredam rasa-rasaku yang masih menggebu-gebu, sebab aku tak ingin mengurai keadaanku padanya, sampai ia malah menjadi kasihan dan bersedih hati atas diriku. Aku tak menginginkan itu.

Dan akhirnya, sampailah aku di depan kelas. Aku disambut oleh senyuman teman-temanku beserta bentangan spanduk dengan tulisan: Ray, Kami adalah temanmu. Tetaplah di sini bersama kami.

Sungguh, aku merasa sangat terharu. Dan perlahan-lahan, kecanggungan antara kamu pun, terurai sedikit demi sedikit.

***

Hari demi hari berlalu. Aku merasa sangat beruntung memiliki teman-teman yang bisa memahami keadaanku, terutama Rio dan Ryu. Mereka tak pernah memperlakukan aku secara berbeda. Sama saja seperti dahulu. Tak ada kekhawatiran dan perhatian yang berlebihan. Dan keadaan itulah yang membuatku merasa mudah untuk beradaptasi.

Setiap kali jam pelajaran berakhir, aku pun bergegas pulang ke rumah. Aku punya rutinitas baru yang kusesuaikan dengan keadaanku sendiri. Aku mulai membiasakan diri berteman dengan buku-buku yang tertumpuk di kamar pribadiku. Aku mulai gemar berbagi kisah dengan menulis. Dan perlahan, aku belajar meninggalkan kegemaranku pada musik.

Seperti juga hari ini, aku hendak pulang ke rumah demi seisi kamarku yang telah menunggu. Seperti biasanya, aku menumpang pada sebuah angkutan kota.

Hingga, datanglah Rina. Ia menumpang bersamaku. Membuatku jadi bingung tentang bagaimana harus bersikap dan berkomunikasi secara wajar dengannya.

Seketika, ia menyodorkan buku cacatannya kepadaku. “Apa kabarmu?” tanyanya dengan bahasa tertulis, tanpa memilih untuk berteriak-teriak agar aku bisa mendengar suaranya.

Kuucapkanlah balasan untuknya. “Baik. Terima kasih sudah mengerti keadaanku. Kau sendiri?”

Ia tampak senang. Lekas, ia menulis lagi, “Aku pun baik-baik saja. Oh iya, aku punya sesuatu untukmu. Aku harap kau dapat menerimananya. Tapi aku minta, jangan buka sekarang, ya!” Ia lalu menyodorkan sebuah bingkisan.

Aku menerimanya dengan perasaan senang. “Terima kasih banyak,” kataku, sambil tersenyum..

***

Sesampainya di rumah, kusibaklah bingkisan pemberian Rina. Segera kusobek kertas kado yang membungkusnya dengan rapi. Dan betapa senangnya, ia ternyata memberiku sebuah novel karangannya sendiri. Satu gubahan yang akan menjadi bacaan pengisi waktuku beberapa hari ke depan.

Bersama novel karyanya, terselip juga selembar kertas berisi permintaan agar aku menyempatkan diri untuk menyaksikan wawancara khususnya di sebuah stasiun TV, yang akan tayang beberapa jam lagi. Dan sembari menunggu penampilannya di layar kaca, mulailah aku mengeja kata-kata gubahannya.

Sepintas, aku mengagumi tata bahasa tulisnya yang sederhana dan begitu mengalir. Ceritanya pun menarik, yaitu tentang keteguhan hati untuk menerima cinta apa adanya, sebagaimana keterangan sinopsisnya di bagian sampul.   

Kuakui, ia memang lihai meramu kata, sampai-sampai menghanyutkan aku dalam cerita. Aku larut dan mengidentifikasi diriku sendiri sebagai tokoh cerita. Ia mampu menggambarkan perasaan tokoh utama, si perempuan, kepada seorang lelaki yang gemar bermain musik, yang telah menyelamatkan nyawanya, dan yang kehilangan indra pendengaran.

Apakah itu aku?

Di kala rasa penasaran tengah membuncahiku soal latar belakang cerita novelnya, dimulailah wawancara khususnya di televisi. Maka dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya, aku pun menyimak dengan seksama, meski tak kutahu jelas apa yang sedang ia ucapkan. Aku menonton saja, sambil membaca narasi tertulis tentang kehidupnnya yang kadang muncul di layar kaca, atau sekadar memandang raut wajahnya saja.

Sampai akhirnya, ia pun tampak berdiri, sembari menggenggam sebuah gulungan kertas berukuran besar. Aku tak punya dugaan tentang apa yang hendak ia lakukan. Hingga kertas di tangannya pun tersibak. Terbacalah olehku:

“Untuk yang darahnya mengalir di dalam ragaku, terima kasih telah menjadi inspirasiku. Kau adalah samudera yang aku salami untuk setiap kata yang telah kutulis. Terima kasih.

Kini, entah bagaimana aku bisa keluar dari tafsir keakuanku sendiri. Aku mencoba meyakinkan diri kalau aku bukanlah tokoh yang tertulis dalam ceritanya, juga dalam pesan-pesannya. Tapi sekeras apa pun aku mengelak, aku tak bisa membohongi tafsir akal dan perasaanku sendiri, bahwa tokoh ceritanya, memang adalah aku.