Sabtu, 25 April 2015

Topeng Cerita

Kau hadir tanpa perasaan. Datang membawa beban, lalu pergi tanpa rasa bersalah. Kau robot! Sulit bagimu memahami tanda tanya dariku yang beraninya membisu. Seharusnya cukup kau sadari kejanggalan sikapku. Andai kau peka, hitung saja betapa seringnya kupaksakan duduk di depan kursi favoritmu saat di perpustakaan, tempatmu biasanya tertunduk menyorot buku. Atau kenapa seringnya kelas mata kuliah pilihanmu sama denganku. Tidakkah keganjilan itu aneh bagimu, seaneh perasaan tak terartikan darinya berasal? Cobalah masuk dalam ketidakwarasanku, sadarlah, rekahkan senyummu padaku. Setelah itu, cukup iyakan saja pintaku, lalu masuklah ke dalam bangunan surga anganku.

Lagi-lagi akhirnya, risaunya penantian panjang memaksaku terbangun sendiri. Nyatanya, kita hanya saling mendiamkan. Selama tanda tanya masih tersangkut di balik kerongkonganku, kepastian tentang perasaan itu pun masih mustahil.

Hidup memang penuh kemunafikan. Terkadang terpaksa jujur, seringnya berdusta. Seperti aku saat sebisa mungkin terlihat cuek, padahal menyorot keluguan wajah manismu. Sejujurnya kupuji manisnya lengkungan pipimu yang timbul tenggelam, tapi pasti kutampakkan sikap tak acuh. Ya, kau sering tersenyum sejenak dan sekadarnya kala serius membaca komik di perpustakaan. Bodohku, ketika tingkahmu memberiku alasan memulai percakapan, lidahku selalu kelu. Ujung-ujungnya kulontarkan pertanyaan klasik, “Besok kita sekelas kan?” Itulah pertanyaan pelarian dan favoritku tiap kali di penghujung pertemuan. Sejujurnya tak kubutuhkan jawabanmu. Maksudku hanya memastikan besok kau datang kuliah dan kita dipertemukan di ruang itu lagi. Rugilah kubodohi diriku, pura-pura memandangi kosong buku, sembari menantimu. Tapi sampai pintu digembok, kau tak juga muncul. Kusengaja juga tak meminta semua jadwal kuliahmu. Takutku jika mati kutu berhadapan denganmu, sedangkan pertanyaan itu tak berlaku lagi.  

Gilaku mungkin tak menemukan titik waras. Sebabnya hanya satu, rasa unik yang kupendam terhadapmu. Tak ingin kunamakan itu cinta, sebab maknanya telah bergeser, terkesan murahan. Mungkin tepatnya kukagumi dirimu, tapi sangat. Coba kutes, kuacak-acak wajahmu di hanyalku. Gigimu yang berbaris rapi kurontokkan, matamu yang jernih kujangkitkan katarak, dan kutaburi rambut di sekeliling bibirmu. Hingga sia-sia semua kala senyum tak berperasaanmu itu menghancurkan imajinasi kocakku. Kucari akar masalahnya. Mungkin sugesti itu dari keanggunanmu. Kugambarkanlah perilaku dirimu di benakku seperti Nenek Lampir. Tapi nyatanya kau lebih suka diam dan berucap seadanya. Sial! Entah bisakah rasa itu didefinisikan dengan satu kata saja. Akhirnya kubenci kau seperti dirimu adanya. Aku menyerah. Padamu hanya ada alasan kukagumi. Tapi masih, kewarasan adalah kemunafikkan bagiku. Lebih baik kurasa dihukum mati daripada jujur untuk satu horor itu. Sepertinya selama aku masih bisa berkhayal, aku tetap gila.

Kau pendiam atau pemendam, aku tak mengerti. Sepertinya kau gemar menulis sepertiku. Kucoba menempatkanmu seperti diriku, penulis rapuh yang hanya bisa jujur lewat tulisan. Kutelusurilah keberadaanmu di internet. Kudapati blog tempatmu seharusnya me-ngoceh secara subjektif dan lebih terbuka. Tapi hanya kujumpai tulisan ilmiah. Sisanya beberapa penggalan tulisan dengan bahasa khayalan yang lebih memusingkan daripada rumus kimia. Kutanya di sisimu, pernahkah terbersit rasa penasaran tentang diriku, mengulikku di internet, lalu menemukan jika belakangan ini dirimu selalu kujadikan tokoh utama cerita pendek di blogku? Yang ada, kau masih saja tanpa rasa seperti dulu. Lebih suka mengangguk daripada mengatakan “iya”. Kaulah lawan terberat bagiku selama jadi petopeng. Mungkin selamanya. Jangan-jangan kau petopeng juga? Tapi masalahnya, tak sekali pun kulihat kau tertawa kegirangan pada orang lain, lalu pura-pura buang muka di hadapanku. tampaknya kau adil bersikap terhadap semua orang, seperti kau adil pada dirimu sendiri.

Tiga hari sudah aku tak melihatmu. Entah bagaimana kabarmu. Tak ada alasan masuk akal dan bermartabat menanyaimu tentang kabar. Kita tak punya relasi selain kebiasaan yang sama, melahap kata-kata buku di perpustakaan. Tak kutahu juga di mana harus menemukanmu. Di luar kelas, hanya di ruang baca nan senyap itu kau sering kujumpai. Waktu beranjak hingga dua minggu setelahnya. Masih tak kulihat juga wajahmu. Banyak pasang mata berkeliaran, semuanya liar. Tak kudapati mata tajam dan pemalu sepertimu. Aku menyerah. Kuniatkan untuk hari-hari selanjutnya, berhenti memata-mataimu. 

Awalnya kurasa berat. Tapi terbiasa juga. Kini kuingat-ingat lagi, semasih berharap-harap cemas menemuimu tiap esok dengan setengah mati. Kini malah kupikir lucu, ternyata pernah aku bertekad mengakhiri hidup jika khayal tentang kita kau hancurkan. Tapi sudahlah, aku harus bisa sepertimu yang tak peduli. Tentang cerita pendek bersambung di blogku dengan kau sebagai tokoh utamanya, akan kuakhiri ceritanya secara menyedihkan. Kutuliskan, si lelaki penulis yang pemendam, ditinggal mati wanita inspirasinya, hingga membakar novel gubahannya yang hampir rampung.

Sepertinya kepergianmu membuatku semakin waras. Ternyata salahku dulu menenggelamkan diri dalam kubangan lumpur khayalku. Seiring bayanganmu yang semakin usang, sedikit demi sedikit juga konsentrasiku semakin jernih, termasuk fokusku menyelami makna bacaan. Itulah saat paling mengasyikkan. Hari Senin datang, bak menyambangi wanita pujaan. Aku rela menunggu hari Minggu terlewatkan, sekadar terpaku menikmati rubrik cerpen pada koran di perpustakaan. Maklum, berlangganan koran terkendala pertimbangan uang makan. 

Selama aku jadi penikmat tulisan cerita pendek, penulis di koran kali ini kurasa pendatang baru. Namanya sama dengan sosok yang sedang kuhapuskan dari kebiasaanku. Pasti cuma kebetulan saja. Namanya memang pasaran. Tapi sekilas, cerita pendeknya menarik dibaca. Judulnya menggelitikku, “Rahasia Batin Si Petopeng”. Mulai kueja rangkaian kata demi kata. Aku suka cara bertuturnya. Kunikmati cara penggambarannya yang sangat detail. Ceritanya juga menarik. Mungkin karena kebetulan menyentuh tentang keakuanku. Kurasa tulisan ini dikhususkan untukku. Berhasil dia menghanyutkanku dalam alurnya. Aku dibuat seakan menjadi tokoh utama. Bahasanya sederhana dengan plot yang tak membingungkan membuat ceritanya mudah dipahami. Aku semakin larut. Sangat mengasyikkan. Boleh juga jadi referensi. Beda dan unik. 

“Aku meninggalkan gudang buku itu semasih menyimpan rasa tak karuan pada sesosok pengunjung setianya. Dialah alasanku sering berkunjung ke sana, hingga tertarik membaca dan menulis. Sikapnya begitu dingin dan mengesankan. Makanya dengan segen-segan aku suka dekat dengannya dalam kesenyapan di ruang baca itu. Sebab dengan maluku, beralasan jika tak banyak bicara panjang lebar dengannya. Maklumlah, penjaganya akan menegur jika terlalu ribut dan mengganggu pembaca lain. Kami berdua bisanya sama-sama terdiam, hingga penjaga meminta kami keluar menjelang tutup, kala sore. Kami lalu keluar tanpa perasaan. Tak ada yang tersisa, kecuali khayalan bersamanya yang semakin meninggi. 

Entah bagaimana dan kapan rahasia batin ini akan terungkap. Tidak juga dia berusaha menanyaiku terus terang. Aku juga tak mungkin menjawab tanpa pertanyaan. Jalan seperti masih panjang. Tapi kepercayaan diriku meyakinkan, kemungkinan rasaku menyambut sepertinya ada. Kutelusuri tulisan pada blog pribadinya. Terlalu jelas tuturnya jika harus mengingkari belakangan ini aku selalu jadi tokoh utama cerpennya. Bisa kuterka diriku di setiap gubahannya. 

Tapi kecewanya, kisah itu telah berakhir, tak lama setelah kuputuskan rihat sejenak berkunjung ke perpustakaan. Kuredam kegirangan bahwa semuanya karenaku. Aku sendiri sudah tak tahan saja. Bertemu dengannya seperti pembunuhan diri secara berencana, dan diulang-ulang. Lelah kurasa menumpuk beban ilusi jika bertemu dengannya lagi. Hanya lewat tulisan, kejujuran tentang rasa ini kuberanikan. Sama seperti caranya, kalau pun aku benar menerka bahwa dia menyimpan rasa sepertiku. Terus terang, aku tak ingin cerita dalam keakuanku itu berakhir. Tapi sepertinya benar, aku hanya merasa-rasa.” 

Aku tersentak di tiga paragraf itu. Ternyata diamnya selama ini menyimpan sejuta harapan. Aku harus kembali berpikir keras, bagaimana melanjutkan cerita yang kuanggap telah berakhir.

“Permisi, bisa pinjam korannya?” Suara wanita dari arah depan membuatku tesentak. Seperti sangat berkesan. Kumenengadah, hingga tampak wajah dia, tokoh utama ceritaku, yang membuatku sering berkhayal.