Sabtu, 11 Juli 2015

Diam-Diam Sejoli


Entah bagaimana bisa. Ini tak bisa dikatakan sengaja. Jika keinginan harus terkabul, kita tak akan berjumpa. Aku sebelumnya sangat ngotot masuk di fakultas teknik. Hitung-hitung bisa tahu sedikit tentang teknik pembangkit listrik tenaga air, agar bisa kuberdayakan air terjun yang deras di kampungku  yang gelap gulita. Sedangkan kutahu, kau juga tak mengidamkan menjadi seorang calon “tuhan” di dunia. Tapi ya, nyatanya, kita tetap bertemu pada disiplin ilmu yang sama, fakultas hukum. Ini adalah takdir.

Akhirnya harus kuabaikan kegemaranku mengutak-atik kabel radio tua seperti yang kulakukan sewaktu sekolah. Terpaksa aku harus jadi cerewet. Kulatih mulut semaut mungkin agar aku dianggap hebat di antara teman-temanku yang lain. Nampak kau pun begitu. Kita sering bertemu dan berdebat ketimbang becanda. Kau suka memancingku atas dasar penguasaan teorimu, meski sejujurnya aku sangat malas meladeni. Aku ingin sekali-kali bercanda denganmu. 

Mungkin karena kebersamaan kita keseringan, sewaktu-waktu ketika batang hidungmu tak kulihat, aku selalu rindu memanaskan otakmu. Menertawakan moncongmu yang tak pernah kecapean, lalu membuatmu merasa menyesal telah memicu perdebatan denganku. Sering terjadi, kau harus mengakui bahwa pria, sepertiku, tetap lebih hebat dari wanita. Ya, kadang kusuka menggunakan kata “wanita”, meski sebagian kaummu yang terlalu retoris akan tersinggung. 

Topik tentang kesetaraan gender yang paling sering kita pertempurkan. Maklumlah, itu memang sensitif karena aku lelaki dan kau perempuan. Apalagi sebagian dari kaummu tetap merasa tak diberikan kedudukan yang adil dalam konstruksi sosial. Kau akan menggerutu ketika kukatakan bahwa kita punya kodrat yang berbeda, sehingga fungsi kita pun berbeda dalam urusan remeh-temeh kehidupan. Simpelnya menurutku, jika diandaikan sebuah rumah, maka lelaki adalah pembangun, sedangkan perempuan di urusan penataannya. Tapi selalunya kau akan mengatakan perempuan dan lelaki tak sepantasnya dibedakan dalam mengurusi pekerjaan rumah. Wanita juga punya hak untuk kerja di kantor katamu. Kita akhirnya tetap berbeda.

Sampai suatu saat aku ingin mengetesmu. Aku penasaran saja, apakah perempuan tomboi sepertimu masih punya perasaan normal layaknya perempuan lain. Ketika kau lengah di ruang kelas tempo hari, kuselipkan sebuah surat bualan dalam tasmu. Kupikir kau akan menilai itu romantis. Tentu saja tak kutuliskan identitasku di situ. Mudah saja bagiku sebab kau sering memaksa duduk di sampingku. Parahnya lagi, kau sering memintaku menggendong tasmu kalau kau merasa keberatan dan manjamu kambuh lagi. Bahkan bukumu dan bukumu seringkali dalam satu tas. Kau pasti tak akan mencurigai aku sebagai penulis surat itu. Apalagi kurasa selama ini kau memandangku sebagai sosok feminin. Sama denganku yang menganggap aspek maskulinmu lebih dominan. 

Malamnya, lagu cadas mengalun dari handphone-ku. Aku yakin itu pasti darimu. Sudah kusetel nada dering khusus untuk panggilan dari wanita kelaki-lakian sepertimu, sebuah lagu tergarang yang pernah kudengar. Seperti biasa, setelah kuangkat, kita akan lalui beberapa menit berbasa-basi tentang ekstrakurikuler yang kita geluti bersama. Biasa juga merembet ke persoalan gender lagi.

“Dul, aku merasa aneh belakangan ini. Sepertinya ada yang tertarik padaku dan mencoba mendekatiku diam-diam,” tuturmu di ujung telepon, saat telingaku mulai memanas beradu argumen.
“Laki-laki atau perempuan?” candaku. 

“Ah, kamu. Mudah-mudahan sih laki-laki. Masalahnya dia tak menuliskan identitasnya,” jawabmu dengan alunan nada yang asing. Kau terdengar mulai manja-manjaan lagi. “Aku jadi bimbang. Sudah sering pesan-pesan gombalan masuk ke handphone-ku. Kurasa surat yang kudapati di tasku hari ini juga dari dia,” jelasmu.

“Haha. Curhat. Sok-sok laku lagi. Memang situ oke?” sentilku.

“Aduh, tak asyik mengobrol denganmu. Serius dong. Kalau menurutmu, aku harus bagaimana menyikapinya?” Kau terdengar sangat mengharapkan saran dariku.

“Itu sih terserah kamu saja. Itu bukan urusanku. Tak penting juga mengurusi hal begituan. Fokus dulu sama kuliah. Atau jika kau ingin pencerahan, jangan tanya aku. Aku kan laki-laki. Mana kutahu perasaan seorang perempuan bagaimana,” jawabku.

“Kamu masih laki-laki?” balasmu, mencoba bercanda.

“Iyalah. Jika kau memang perempuan, hati-hati saja. Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku,” balasku.

“Ah, kau tak pantas menggombal. Sudah kalau begitu. Pulsaku menipis,” pungkasmu

Kurasa misiku berhasil. Sudah kutebak. Ternyata semunafik apa pun kau menyembunyikan fitrahmu, kau tetaplah perempuan yang lemah gemulai. Jika kau terus memikirkannya, beberapa hari ke depan, aku yakin kau akan dirusuhkan perasaanmu sendiri. 

Keesokan harinya kita bertemu lagi seperti biasa. Tapi hari itu kau tak terlihat biasa-biasa saja. Kau nampak mencoba tampil lebih feminin dan melankolis. Tapi masih terlihat amatiran. Kupikir aku lebih hebat berdandan daripada kau. Bedak di wajahmu tak tersebar merata. Alismu yang tebal terlalu memuakkan akibat tumpukan tinta. Ukiran gincung di bibirmu juga miring-miring. Aku pun jadi malu beriringan denganmu sekarang. Apalagi jika harus menyusuri koridor kampus berduaan. Sebenarnya salahmu saja, sebab jika diamati dalam-dalam, kau cantik juga seandainya tahu cara menata diri dan bersikap.

“Hai nyonya Rita. Kau nampak tua saja. Atau memang sudah tua?” 

Kau malah cuek dan melebarkan senyummu. “Dandananku bagus kan? Kau pasti suka. Ayolah, akui saja,” jawabmu, terlihat sinting bagiku.

“Haha. Jadi kau sudah berubah sekarang. Bagaimana dengan teori-teori emansipasi gendermu? Ternyata hanya omong kosong. Baru digombal sedikit, kau langsung tak berdaya. Yang perlu kau camkan, wanita itu mengandalkan perasaannya, tapi diperdaya pula perasaannya. Sedangkan laki-laki, mengandalkan pikirannya dan sering juga berfikir tak masuk akal. Nah, hati-hati saja. Bisa jadi ada orang yang sengaja mempermainkan perasaanmu,” nasihatku panjang lebar, sebab kuyakini, perubahannya pasti gara-gara surat selundupanku kemarin.

“Kau seperti pengalaman saja. Memang kau paham persoalan seperti ini?” balasmu seakan meremehkan, lalu menyambar kopi hitam pesananmu.

Sore sehabis kuliah saat itu, kita habiskan waktu berjam-jam di kantin kampus dengan omong kosong tentang perasaan. Sampai kita saling menyadarkan bahwa hampir gelap dan kita harus pulang. Suasananya beda kala itu. Kita tak lagi mempertentangkan lelaki dan perempuan. Jika kusimpulkan pokok bahasannya, kita sepakat bahwa kodrat lelaki dan perempuan berbeda, sehingga memiliki fungsi yang berbeda juga. Jadi ada ruang untuk saling melengkapi. Karena itu juga, kita saling membutuhkan. 

Hari-hari selanjutnya, kulihat kau semakin berubah. Meski kita masih pulang sesadel di motor bututku, kau sepertinya duduk terlalu ke belakang. Kau juga tak pernah lagi menepuk punggungku dari belakang kala di perpustakaan, hingga mengagetkanku. Belakangan, kau sering muncul dari depanku dan membawa senyummu yang terpaksa kuakui manis. Kau juga lebih suka memesan teh atau jus buah daripada kopi. Hingga drastisnya, kau mengenakan rok. Tak seperti sebelumnya yang gemar mengenakan celana pendaki gungung. Kurasa kau belajar tampil sebagai perempuan seperti lainnya. Dan kau jadikan aku penilai bagi perubahan tampilanmu sehari-hari.

“Halo pak tuan, aku pasti mengganggukan?” tanyamu di ujung telepon.

Aneh, tak pernah kau meneleponku sebelumnya selarut ini. Sudah hampir jam satu malam. Itu membuatku penasaran. Utung saja, aku masih terjaga menonton film horor favoritku. “Tidak nyonya besar. Ada apa menelepon terlalu cepat begini? Besok saja kalau tidak terlalu penting,” jawabku sembari pura-pura menguap.

“Maaf deh. Tapi menurutmu penting tidak kalau akhirnya aku tahu siapa penggemar rahasiaku belakangan ini, yang memasukkan surat di tasku tempo hari dan sering mengirimkan pesan tanpa nama?” 

Jawabmu membuatku tersentak. Aku sangat cemas jika kau tahu akulah yang menulis surat itu. Sangat memalukan pastinya. Yang lebih kutakutkan jika kita tak bisa berperilaku seperti biasa saat bertemu. “Oh cuma itu. Tidak penting. Tapi siapa kalau boleh tahu?” jawabku dengan nada yang santai.

“Haha, katanya tak penting. Tapi lebih dari lima detik kau terdiam untuk membalas pertanyaanku,” jawabmu sambil tertawa.

Sikapmu membuatku menyesal atas keisenganku menulis surat itu. Kurasa kiamat semakin dekat saja. “Sudahlah. Siapa?” tanyaku balik dengan nada agak menekan.

“Okelah kalau kau memaksa. Dia namanya Rian. Satu tahun lebih senior daripada kita. Teman sekalas kita di mata kuliah Hukum dan HAM. Tapi dia jarang masuk kuliah. Kabarnya dia punya kesibukan di luar. Kau pasti tak mengenalnya. Dia cerdas dan tampan loh. Kau tak iri kan? ” balasmu.

Ah, syukurlah kau tak tahu akulah si penulis surat itu. “Haha, amit-amit. Siapa Rian itu? Iri pada lelaki yang memperebutkan wanita semacam dirimu? Tidak salah?” balasku dengan maksud mengolok-olokmu.

Telepon kita akhirnya putus. Mungkin karena kau tak mengantisipasi dan pulsamu habis secara tak terduga. 

Hari selanjutnya kujalani dengan berkutat mengamati tentang keanehan pada dirimu. Kau sepertinya semakin menjauh dariku. Kuduga kau semakin dekat dengan Rian sampai lupa dengan kebiasaan kita menghabiskan waktu hingga senja di pelataran kantin. Akhirnya, semakin kumerindukanmu seiring jarangnya kumenatap wajahmu. Dalam seminggu, kita palingan nongkrong bersama sebanyak dua kali. Tapi sebulan belakangan, kau semakin sulit saja kujumpai. Kukira, kau tak lama lagi akan menikah dengan si Rian. Terus terang aku rindu. Aku takut jika rinduku semakin memuncak, sebab itu tak ada bedanya dengan cinta. 

“Hai Abdul. Apa kabarmu?” pesan singkatmu masuk di handphone-ku. 

Aneh, kau biasanya meneleponku. Sepertinya kau  juga segan berbicara langsung denganku setelah sekian lama tak bertatap muka. Aku merasa sangat bahagia hari itu. Seperti merasakan dahaga di gurun pasir, lalu hujan deras turun. Memang seakan tak masuk akal, tapi itu nyata. “Aku baik-baik saja. Kau bagaimana? Aku belakangan tak melihatmu lagi. Aku rindu padamu,” jujurku.

“Hmm, aku juga merindukanmu. Aku hanya keseringan berdiam di rumah belakangan ini. Cuma ingin membuat si misterius itu rindu dan mencari-cariku kalau memang ia serius. Seperti yang pernah kau katakan, rindu adalah cinta. Tapi ternyata harapanku meleset. Eh, jika kau tahu, belakangan aku tak pernah benar-benar bertemu dengan Rian. Aku cuma mengarang tentang sosok itu,” jawabmu. 

Aku jadi tak paham padamu sekarang. “Maksudmu?” tanyaku penasaran.

“Kadang kuperhatikan tulisanmu sama dengan tulisan di surat itu. Tapi kurasa kau tak punya bakat menyusun kata sebaik itu. Benar kan?” tanyamu.

“Kita seperti tak saling mengenal saja. Jika kau yakin itu aku, maka itu adalah aku. Sejujurnya aku cuma takut pada Rian. Kau tak keberatankan kalau aku rindu padamu?” balasku mencoba lebih polos lagi.

Kunanti jawabmu sepanjang waktu, tapi kau tak membalas. Akhirnya, kuharap dalam diam-diam, kita menyimpan hasrat yang sama dan saling merindukan. Seperti takdir atas kebersamaan dan jarak antara kita, maka kuharap takdir pula yang mengulang kebersamaan itu. 

Jumat, 03 Juli 2015

Huruf-Huruf Batin

Aku bukanlah penikmat tulisan fiksi. Kehidupan adalah kenyataan bagiku. Masalah tak akan selesai hanya karena mimpi atau harapan yang tak masuk akal. Kurasa, baiknya memberi sebungkus nasi kepada seseorang yang kelaparan daripada sekadar bermimpi menjadi Robin Hood. Lebih baik memberi seteguk air daripada menjanjikan satu bintang. Namun sikapku berubah kala membaca gubahan tulisan fiksi di sebuah blog yang menyentuh keakuanku. Awalnya kuduga mungkin kebetulan saja, tapi selanjutnya tidak. Ya, aku yakin cerita fiksi dapat membawa orang larut dalam makna yang sama. Misalnya, cerita tentang pertempuran di medan perang dan perjibakuan menyelesaikan tugas akhir sama saja. Sama-sama membuktikan bahwa hidup butuh perjuangan.

Aku kenal si penulis itu, tapi tak terlalu akrab. Masih terlalu canggung bercakap-cakap dengannya. setahuku dia bukanlah penulis hebat. Buktinya, tak sekalipun kulihat tulisannya terpampang di rubrik fiksi pada koran di hari minggu. Ataukah setidaknya termuat di karya terbitan mahasiswa. Dia hanya seorang blogger yang terlalu narsis pada tulisan pribadinya. Aku sendiri tak tahu, apakah ada juga yang tertarik membaca tulisannnya selain aku. Itu pun, aku terpaksa membaca tulisannya karena terlanjur melakukan kesalahan fatal: membuka tautan tulisannya di media sosial karena judulnya menyinggung perasaanku. Berawal dari tulisannya itu, aku meresa dekat dengannya. Tapi kupikir lagi, tulisan fiksi memang kadang menjebak. Selalu bebas untuk ditafsirkan, hingga setiap pembaca dapat menjadi si tokoh utama. 

Tulisan fiksinya yang pertama kali kubaca berkisah tentang dia yang mengagumi seorang wanita secara diam-diam. Dituliskannya, tak ada kepastian waktu kapan untuk menyatakan perasaannya pada si pujaan, seorang wanita pendiam dan pemalu. Dia berhasil dibuatku penasaran. Apalagi aku merasa termasuk kategori wanita yang dimaksudnya. Aku terbawa suasana hingga akhirnya intens mengikuti cerita bersambungnya di blog. Dia memang terbilang aktif menulis, tapi tak melulu tentang cerita fiksi itu. Setelah kutelisik, baru dua tulisan cerita tentang si pujaannya. 

Belakangan aku terbawa-bawa ingin menjadi sosok idamannya. Aku pun jadi senang mengenakan baju warna hijau ke kampus. Terbayang saja sosok pujaannya yang maniak warna hijau sepertiku. Hitung-hitung, kemungkinankan tak tertutup bagiku untuk menjadi kenyataan sosok wanita di ceritanya. Terus terang, aku sulit untuk tak mempersepsikan diri sebagai sosok berkacamata itu, meski terlalu bodoh jika menegaskannya. Alasannya, kami berbeda lingkungan pergaulan sekarang. Terlebih lagi dia orang yang susah ditebak. Jika melihat dia yang urakan dan humoris saja, sulit membayangkan ia mampu membuat cerita fiksi yang melankolis. 

Sampai akhirnya dia memuat sesi ketiga dari tulisan fiksi bersambungnya. Dia semakin terbuka tentang sosok inspirasi ceritanya. Sosok itu digambarkannya tidak terlalu tinggi dan memiliki lesung pipi. Meski begitu, masih terlalu mengecoh untuk ditafsirkan pasti. Di sesi keempat, tanda-tanda ia munculkan lagi. Belakangan si dia sulit ia temui. Intinya, cerita panjang di sesi ini tentang kerinduan. Jalan ceritanya semakin mengerikan saja bagiku. Apalagi masih beralasan jika kupersepsikan itu adalah aku. Belakangan memang aku jarang bertemu lagi dengannya. Kalau pun aku melihatnya, ia bisa jadi tak melihatku. 

Pada bagian keempat itu, ia juga menuliskan kebiasaannya melepas rindu di perpustakaan kampus. Semakin sering ia bertandang ke perpustakaan belakangan ini demi bertemu wanita pujaannya. Namun di sana, ia tak lagi melihat dia, padahal sebelumnya sering. Ya, sekali lagi, aku akhir-akhir ini juga jarang ke perpustakaan. Aku fokus menyelesaikan tugas akhirku di kamar. Kalaupun berkunjung ke sana, palingan untuk meminjam, memperpanjang waktu peminjaman, ataupun mengembalikan buku. Sejauh ini, aku merasa tak salah jika menganggap ia sengaja menggambarkan tentang aku, dan dia.

Pada suatu hari, aku ke perputakaan untuk mengembalikan buku. Sekalian aku ingin memastikan, apakah kata lelaki misterius itu bahwa ia keseringan di perputaakaan adalah benar. Juga untuk menegaskan bahwa tulisannya selama ini bukanlah fiksi, tapi sebuah cerita nyata yang tak lebih dari sebuah diary. Aku bergegas saja ke sana. Setahuku, pukul 13.00 adalah waktu favoritnya nongkrong di perpustakaan. Sampai akhirnya benar, dia berada tepat di ujung ruangan, sudut sebelah kiri. Aku pun merasa deg-degan berada di ruangan  itu. Walaupun aku tahu, dia pasti biasa saja. Selalu saja aku membawa suasana ceritanya di blog. Sial juga waktu itu, aku terpaksa duduk semeja dengannya. Mau tak mau harus berhadapan langsung sebab hanya itu kursi kosong.

“Hai, kenapa baru muncul lagi? Sudah lama aku tak melihatmu,” katanya sambil memandangku.

“Mmm, aku sibuk menyelesaikan tugas akhirku,” pungkasku, lalu memalingkan wajah darinya segera. Aku tak tahu harus bertanya apa padanya. Aku benar-benar mati kutu. Dia juga tak ada pertanyaan lagi. Mungkin dia keki mengobrol dengan orang sepertiku. Tapi mungkin juga dia paham kalau perpustakaan adalah tempat untuk membaca, bukan mengoceh. Akhirnya, tiga puluh menit kami lalui dengan serius pada bacaan masing-masing.

Hari berganti, pagi di satu hari pun kujelang. Jika telah bosan melanjutkan ketikan tugas akhir, aku akan memilih berbaring dan mengintip blognya lagi. Sudah lima hari berlalu. Aku tahu, selama itu dia pasti punya tulisan baru. Aku harap dia memperbarui cerita bersambungnya. Syukurlah, dugaanku benar, dia melanjutkan kisah fiksinya. Aku terkejut saat mencermati isi ceritanya. Masih terbaca nyata bagiku untuk dikatakan fiksi. Katanya, ia kembali punya harapan kala menemui wanita idamannya di perpustakaan kemarin. Ah, lima hari telah berlalu, kuyakin itu bukan aku. Tapi belum tentu, tulisan itu dimuatnya empat hari yang lalu. Salahkah aku menduga-duga?

Yang paling meresahkan, ia menuliskan bahwa lima hari setelah pertemuan itu, ia akan menyatakan perasaannya. Ia yakin sang idaman datang ke perpustakaan hari itu setelah mengecek pada petugas perpustakaan. Batas peminjaman buku sang idaman berakhir tepat waktu itu, sama sepertiku. Tapi tak beruntung bagiku. Penyakit yang kuidap parah lagi. Apa boleh buat, tak bisa kukembalikan buku pinjaman ke perpustakaan. Tapi kupikir beruntung juga. Aku tak mesti terpenjara waktu di ruang perpustakaan demi mengetahui siapa sesungguhnya sosok yang dimaksud si misterius itu selama ini. Besok rasa penasaranku akan terjawab juga setelah mengintip blognya.

Keesokan harinya, entah berapa kali aku mengunjungi laman blognya. Setiap saat aku selalu mengeceknya demi mendamaikan diriku dengan rasa penasaran. Aku rela menunggu. Hingga hampir pertengahan malam, semua mencapai klimaksnya. Aku tak menyangka, ceritanya tetap saja menyinggung keakuanku.

Kau wanita,  seperti burung hantu saja. Kau muncul tanpa diduga dan menghilang ke persembunyianmu entah berapa lama. Tapi bagiku kau tetap unik dan sangat langka, meski sebagian orang meyakini kau jelmaan dari hantu sesungguhnya. Kau seperti melawan dunia. Sikapmu sangat dingin pada lawan jenis. Karena itu juga, aku tak tahu harus bagaimana memulai kisah nyata kita. Membuatnya bukan sekadar kisah semu yang kulampiaskan lewat huruf-huruf. 

Aku sangat berhasrat menyatakannya. Hanya ingin kupastikan. Jika kau menyatakan “tidak” atas perasaan itu, biarkan aku tak berharap lebih. Kalaupun kau jawab “Ya”, aku tak akan memperlakukanmu lebih dari biasanya. Intinya, aku hanya butuh kepastian bahwa kau punya tekad yang sama sepertiku, bukan pada sosok  yang lain. Bahwa ada jalan yang patut kulalui untuk kita hidup bersama, entah kapankah nanti. Lalu biarkan di selang waktu sebelum kita terikat secara benar, kita diam saja sambil menggenggam harapan yang sama. Sekadar harapan yang berdasar dan sunggung-sungguh itu saja inginku. 

Terus terang, enam hari yang lalu sejak pertemuan kita, aku semakin yakin bahwa menyatakan kesungguhanku padamu bukanlah hal yang mustahil. Kutuliskanlah  perasaanku pada sebuah kertas, lalu kutitipkan pada pegawai perpustakaan, tempat favoritmu beristirahat  dahulu. Padanyalah kau akan mengembalikan bukumu dan mengambil pesan dariku. Tapi waktu itu kau tak datang juga. Entah bagaimana lagi. Aku sudah tak kuasa lagi jika terus-terusan melawan diriku sendiri. Sedangkan selain begitu, aku tak tahu cara menyelimuti sisi hatimu secara beradab. Jika harus seperti yang lain, aku mengaku pengecut dan tak romantis.

Baiklah, untuk huruf-huruf yang terlanjur kurangkai tentang kita, biarlah jadi  cerita kosongku saja. Akan kucukupkan sampai di sini. Bukan karena aku mengalah pada siapa pun, tapi aku coba belajar ikhlas dengan menyerahkannya pada Pemegang harapan.  

Bagitulah ia menuliskan di blog pribadinya. Aku tetap merasa tersinggung. Salahkah bila aku yakin? Haruskah ada jawaban tanpa pertanyaan?

Sebulan berlalu, aku masih mengamati tulisan-tulisannya di blog. Tapi tak sekalipun ia menyinggung lagi tantang cerita bersambung itu. Akhirnya, ada jawaban yang terpaksa kupendam sendiri. Tentang kemungkinan cerita di balik huruf-huruf itu, akan kuanggap kebetulan saja, sampai pada kepastian nantinya. Cukuplah kutuliskan cerita batin ini dalam huruf-huruf juga. Jika nanti telah kumuat di blogku, kuharap kau membacanya, hingga meyakinkanmu untuk bertanya padaku.