Jumat, 30 Oktober 2015

Sepuluh Tahun Menanti Bintang Jatuh


Kesan pertama memang sulit dilupakan. Yang kedua atau seterusnya, hanya akan mengingatkan kembali terhadap kesan pertama yang tak terkalahkan. Sekadar pembanding tak sebanding. Begitu juga tentang awal kisah kita. Kaulah yang pertama kali menimbulkan kesan ambigu di jiwaku. Sebuah perasaan yang inginnya kuabaikan, tetapi selalu saja terindukan. Layaknya bermain di dunia fantasi, menegangkan tetapi enggan untuk mengakhiri. Kuharap kesan itu abadi.

Dari sepuluh tahun lalu mulanya. Tepatnya ketika kita masih di kelas dua SMA. Saat itu, seusia kita lazimnya bersikap polos dan tak enggan mengumbar perasaannya. Tapi tidak bagimu, Lika, siswi pindahan, wanita pendiam yang selalu membuatku penasaran. Cantikmu tak cukup digambarkan dengan kata-kata. Kau pun hemat berkata-kata. Seakan takut jatah durasi bicaramu habis dan kau jadi bisu. Namun kau perlu tahu, aku lelaki “bermodal” yang tak ada ruginya jual mahal. Tak akanlah aku kalah jutek.

Semua serba menerka-nerka. Entah bagaimana suasana hatimu ketika seisi kelas iseng menjodoh-jodohkan kita. Itu sering terjadi. Tapi palingan kau mendecakkan bibir, menopang kembali dagu, lalu menyorot bacaanmu. Kau tak pernah mengelak dan membela diri secara berlebihan. Sikap biasa seperti itu membuatmu sangat sulit dibaca. Aku pasrah. Biarlah kita diam-diam begini saja. Tak perlu tahu tentang perasaan masing-masing. Selamanya!

Yang paling menjengkelkan, kau tak sedikitpun memberikan penghargaan padaku, lelaki paling tenar di sekolah waktu itu. Seorang vokalis band terkenal yang dengan mudah saja meluluhkan hati wanita jika mau. Hingga puncaknya terjadi ketika sekolah kita menyelenggarakan porseni dan bandku akhirnya menjadi pemenangnya. Kutahu, saat penampilanku di babak final, kau hanya berdiam di kelas dan membaca komikmu yang tak penting.

Akhirnya waktu membawa kita di awal sebuah bencana. Satu momen berkesan yang membuat rasa penasaranku seperti kuis teka-teki silang, terjadi. Waktu itu masih jam pelajaran. Namun lagi-lagi, guru pelajaran tak datang. Alasannya ada rapat. Kuhabiskanlah waktuku di kantin sekolah. Apalagi aku tak sempat mengisi perut saat waktu istirahat. Sehabis makan semangkuk bakso, kuteguk sedikit demi sedikit air minumku sambil memandangi para tukang batu yang mulai membangun gedung-gedung bertingkat di sekeliling gedung sekolah kita. Jadinya, pohon-pohon rindang pun dibabat habis. Tak akan bisa lagi kuperhatikan kau duduk pada bangku di bawah pohon rindang, menyendiri dengan buku-bukumu, tanpa kau sadari.

“Boleh duduk di sini?” sapa suara sendu. Seperti tak asing. Ya, itu suara kau, Lika, si wanita misterius. Aku mendadak kikuk. Seperti tiba-tiba kejatuhan bintang-bintang. Perasaanku seperti gado-gado, campur aduk. Kusilangkan kakiku yang berselonjoran agar tak terlihat gemetaran. Kubalas tanyamu dengan anggukan semasih air di mulutku membusungkan pipi. Aku takut salah berucap dan membuat wibawaku keok.

Kau hanya meluruskan pandanganmu saat kucoba menatap bola matamu. Mungkin kau mencari bangkumu yang telah sirna di depan sana. Aku pun sigap buang muka saat kau berbalik padaku. Kita hanya berbagi pipi. Suasana memang seperti tak mendukung. Pastinya salah besar jika memperbincangkan pembangunan gedung ruko yang melenyapkan perpustakaan privatmu. Kau akan tahu betapa gugupnya aku jika membahas itu, sebab itu perihal yang istimewa tentangmu. Gengsi pun membuat suasana bertahan senyap. Enggan kupertanyakan masalah personal. Akhirnya, berlalu tiga menit tanpa kata. Bunyi krek lemparan kaleng minumanmu ke tempat sampah menjadi penanda perpisahan kita di ruang hampa saat itu. Tak ada perbincangan. Peristiwa itu membuatku menyesal menjadi laki-laki yang dituntut harus memulai lebih dulu.

Kau benar-benar berlalu. Meski sejujurnya aku suka lebih lama dalam suasana tegang seperti itu. Tapi ternyata, kejutan hari itu belum selesai. Kau lupa membawa buku cacatanmu di sampingku. Aku terpaksa berpikir keras lagi, bagaimana menyikapi dampak tulalitmu itu. Tak mungkin aku sekonyong-konyong masuk ke dalam kelas, menghampirimu jauh di sudut belakang ruang, lalu menyerahkan buku itu sambil tersenyum dan banyak cakap. Entah bagaimana riuhnya kelas jika itu kulakukan. Dan yang paling utama: gengsi! Akhirnya kuselipkan bukumu itu dalam bajuku, kumasuki kelas, lalu kususupkan dalam tasku. Aku berniat membawanya untuk sehari saja. Pasti akan kukembali juga kepadamu. Tentu dengan cara yang tidak merendahkan harga diriku, ataupun kau.

Di masa penyanderaan buku risalahmu itu, rasa penasaran membuatku begitu bernafsu mengorek isinya secara teliti. Apakah yang selama ini kau tulis kala semua teman sekelas kita bertebaran saat jam istirahat, sedang kau hanya mencoret-coret bukumu? Langsung saja kusorot lembar demi lembar tulisanmu di kamar sunyiku saat malam telah larut. Berharap ada rahasia pribadimu yang kutahu sebelum terlelap, sehingga wajar kuyakini bahwa sia-sia saja kau bersikap sok jaim padaku. Ya, tentang bagaimana perasaanmu. Betapa bersyukurnya aku. Terkejut juga, ternyata itu adalah buku diary-mu. Suasananya semakin menegangkan. Rahasiamu mulai terkuak. Tapi yang terpenting adalah goresanmu di lembaran terakhir.

“Sejak aku pindah ke sekolah baruku ini, aku merasa akan biasa saja seperti sekolah lamaku dulu. Membosankan. Tapi ternyata suasananya berbeda kali ini. Lebih menyenangkan tentunya. Apalagi sekitar tiga bulan yang lalu, kutemukan sosok yang selama ini memaksa untuk kumimpikan. Ya, lelaki yang humoris dan akrab dengan semua teman sekelasku. Tapi kecuali terhadapku. Entah kenapa.

Dia terlihat rendah hati dan tak sok. Kuakui, dia orang yang menarik dan cerdas. Ia juga piawai bermusik dan melukis. Bermodal besar untuk meluluhkan hati wanita labil yang ia inginkan. Tapi selama ini, aku tak pernah melihatnya dekat lebih dari teman dengan seorang wanita pun. Di akun media sosialnya, aku juga tak pernah melihat ia bergenit-genitan dengan lawan jenisnya. Mudah-mudahan saja ia tak kelainan.

Terus terang aku segan padanya. Apalagi karena teman sekelasku sering menyoraki nama kami berdua, sedang ia tak ada respons berarti. Mustahil aku memulai. Tapi melenyapakan kekaguman ini juga sepertinya tak akan. Mungkin karena harapan berlebih-lebihan yang kupendam dan menumpuk-numpuk. Kendala terbesarnya adalah aku tak percaya diri. Kusadari, dari banyak wanita yang menginginkannya, mungkin aku menjadi yang paling tak berharga jika dilakukan penjurian. Dia layak disebut artis top. Sedangkan aku hanyalah penggemar rahasia. Tapi biarlah. Akan tetap kujaga harapan ini, sampai benar-benar diruntuhkan olehnya dan aku diharamkan berharap. Ya, ketika ia mengikrarkan pilihannya pada hati yang lain.”

Kau tak menulis kata Abam, namaku. Tapi berdasarkan ciri-ciri yang kau tuliskan, sepertinya tak menyesatkan jika aku merasa pantas memimpikanmu. Kesimpulannya: kita saling mengidamkan secara diam-diam.

Keesokan harinya, kuserahkan buku itu pada teman sebangkumu, Lia. Kumohon padanya untuk menyerahkan buku itu padamu tanpa mengatakan akulah yang menemukannya. Kuminta padanya untuk mengatakan pegawai pembersih sekolahlah yang menemukannya.

***

Kita tetap saling menyimpan rasa yang sama hingga empat tahun kemudian berjalan. Tak terasa. Kini kita telah menjadi mahasiswa dan duduk di semester IV. Lagi-lagi, kita satu fakultas di sebuah kampus. Entah minat kita memang sama atau kau sengaja membututiku. Jika aku punya keberanian berbicara padamu, akan kutegaskan bahwa sudah seharusnya engkau menganggap tentang perasaan kita di bangku sekolah hanyalah wujud jiwa labil anak muda. Kita telah dewasa dan tak seharusnya menggingat-ingat cerita cengeng itu lagi. Masa depan kita lebih penting. Tapi sudahlah, aku saja tak bisa melupakan kesan pertama itu. Bagaimana denganmu yang kutahu pasti perasaanmu dahulu?

Sepertinya pertempuran batin kita tak akan berkesudahan. Masih sama-sama pura-pura lupa pernah sekelas di sekolah dulu. Tak bisa mencair. Bisanya kita saling melirik, atau paling banternya saling lemparan senyuman saat terpaksa berpapasan. Bernostalgia tentang masa lalu di kelas sepertinya tak mungkin. Kenangan apa yang akan diulas kembali? Tapi syukurlah, waktu-waktu tak memenjarakan kita dalam satu ruang yang sama, seperti di sekolah dahulu. Pergaulan kita berbeda. Aku dengan sesama pecandu seni, sedangkan kau masih gemar berkutat dengan huruf-huruf.

Kurasa hitungan empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengabaikan kemungkinan ketertarikan terhadap lawan jenis. Kurasa kau setuju denganku. Terus terang, karena kodratku sebagai lelaki, sering juga wajah manis lukisan Tuhan membuatku tertarik. Tapi tak pernah sekalipun terucap. Juga lekas hilang dan berganti-ganti untuk waktu yang singkat. Mungkin itu tepatnya disebut suka.

Aku masih yakin cintaku telah terikat olehmu bertahun-tahun yang lalu. Perhatianku terperangkap di kesan pertama itu. Tentang rangkaian huruf yang membuatku merasa beralasan merindukan masa depan bersamamu. Seperti yang pernah kutuliskan di tepi lukisanku pada selembar kertas yang hilang: “Bertahanlah hingga waktunya ia  menyatakan cinta sejati itu.” Entah bagaimana denganmu. Yang kutahu, kau juga tak pernah akrab dengan lelaki secara mencurigakan. Kecuali dengan teman-temanmu yang agak keibu-ibuan.

Waktu seperti merangkak, hingga datanglah hari di mana bayang-bayang masa lalu kita seperti hidup kembali. Seusai organisasiku mengadakan pameran lukisan, coba kubaca satu per satu lembaran berisi komentar dari para mengunjung. Kurasa, bertahun-tahun berimajinasi dengan tinta dan kanvas, lukisanku pasti mendapatkan banyak sanjungan. Setelah menyela-nyela sejumlah komentar pendek, aku menjadi tertarik pada sebuah komentar yang lumayan panjang. Kuingat lagi bentuk tulisan di diary empat tahun lalu. Ya, milikmu! Semoga aku tak salah menduga.

“Aku tahu kau berbakat melukis sejak empat tahun yang lalu. Teruslah berkarya. Semoga beberapa tahun ke depan semua menjadi nyata, bukan lagi sekadar imajinasi.”

Sudah bukan salahku lagi jika menduga-duga sang penulis adalah kau. Tapi aku masih tak mengerti makna kalimat terakhir yang kau tuliskan.

Dua tahun selanjutnya, tepat menjelang hari wisuda kita yang bertepatan lagi, kau membuatku berpikir untuk membakar lembar-lembar kenangan. Tepat di depanku, kau berlagak sangat romantis dengan seorang lelaki saat berjalan di trotoar gedung rektorat kampus. Begitu dekat. Seketika itu, tampakanmu yang cuek kuanggap sebagai muslihat belaka. Dasar munafik!

Tepat di hari wisuda setelahnya, aku tak ingin mencarimu lagi. Walaupun kutahu mungkin itu adalah perjumpaan kita terakhir kalinya. Malam ramah tamah juga kulewatkan. Padahal sebelumnya telah kurancang untuk membuat kesan terakhir di malam itu bersamamu.

Hari-hari selanjutnya adalah waktu untuk menghapus jejakmu. Tapi sial! Melupakanmu dengan keterpaksaan, sama saja dengan mengingat, namun dengan rasa benci. Begitu meresahkan. Mungkin sebaiknya kusahabati saja kenangan yang mustahil terlupakan. Tak ada gunanya terus-terusan membenci. Sepertinya, hanya dengan mendapatkan sosok pengganti yang akan mengukir lembaran baru di memoriku, tulisan tentangmu akan memudar. Walau kutahu, lembaran yang terukir sejak enam tahun mengenalmu, tidaklah sedikit.

Setahun berselang setelah kucoba melupakanmu, aku tak juga mampu melupakan tentang kesan pertama. Hingga kudapat keterangan yang membuatku harus mengingat-ingat kembali lembaran-lembaran yang mulai buram dengan kesibukanku sebagai pekerja di sebuah perusahaan pers. Ya, aku kini menjadi kartunis untuk sebuah koran harian. Aku baru pindah kerja. Di perusahaan itu pula, aku bertemu dan akrab dengan redakturku yang menangani rubrik opini. Aku belum lupa wajah lelaki yang kudoakan mati itu.

“Hai Abam, namaku Agi, redakturmu di sini,” sapanya sok akrab sambil menjulurkan tangannya.
Terpaksa, sebagai pekerja baru, aku harus berlaku seperti anak manis. Kulemparkan senyuman terpaksa padanya, lalu menjabat tangannya yang mencengkeram kuat.

“Kamu lulusan dari mana?” serangnya lagi.

“Aku lulusan Fakultas Sastra Universitas Bandar, angkatan 2011,” balasku tanpa bertanya ulang. Aku ingin percakapan tak penting untuk waktu kali ini cepat berakhir.

“Oh, berarti kamu kenal dengan adikku, Ralika Sezaria  Munaf?” balasnya sambil menepuk punggungku.

Ternyata? Otot-otot wajahku meregang seketika. Aku mulai bisa bertingkah biasa dengan emosi yang perlahan normal. “Iya, aku kenal. Dia tak pernah menceritakan kalau dia punya kakak yang tampan. Mungkin karena kami memang tak terlalu akrab,” candaku. “Ngomong-ngomong, Lika sekarang di mana?”

“Dia sekarang di Australia. Sedang menempuh studi lanjutan. Mungkin tak lebih dari dua tahun lagi dia akan kembali ke Indonesia,” jawabnya.

Ternyata selama ini aku salah sangka. Aku masih pantas berharap sehidup denganmu.

***

Sekitar dua tahun setelah kudapat penjelasan bahwa lelaki itu hanyalah kakakmu, tepatnya hari ini, adalah tiga hari setelah kunyatakan cintaku. Setelah 10 tahun yang lalu kesan pertama itu tercipta, kini kita telah disatukan dengan cinta yang sebenarnya, dalam ikatan pernikahan. Saat ini kita sedang berayun, di beranda lantai dua rumah baru kita yang sederhana. Kau tepat di sampingku. Kita saling menarik dan menggoyangkan ayunan untuk menabrak-nabrak angin. Berbaring menatap bulan dan ribuan bintang di langit cerah. Sesekali bangkit dan memandang bebukitan di seberang. Di bawah langit, kita saling bergenggaman. Indahnya waktu. Datang rasaku ingin bernostalgia, tentang bagaimana rasa suka kita bisa bertahan lama hingga berujung pada cinta sejati.

“Kau ingat masa lalu kita? Sebelum kau menghampiriku di kantin sekolah, lama sebelumnya kau pasti sudah mengidamkan aku kan? Kau hebat juga, bisa memendam perasaanmu hingga sepuluh tahun lamanya. Kenapa kau tak mengaku saja sejak kita masih sekelas? Sok jual mahal!” pancingku, sembari tertawa meledek.

Kau sontak meninju lenganku. Mengempiskan pipimu yang dari tadi dikembung-kembungkan. “Enak saja. Kaulah yang seharusnya mengaku duluan. Lagian, kau juga yang lebih dulu suka padaku,” sangkalmu, lalu mengalihkan pandangan ke arah bulan.

“Tuduhan tak berdasar. Jelas saja kau suka padaku lebih dulu. Apa kau mau mengatakan kalau bahasa polos yang kau tulis di diary-mu bukan kejujuran. Kau kira aku tak tahu? Akui saja!” balasku seperti mengejek, sambil tertawa panjang.

Kau sontak menarik tanganmu yang kugenggam. Mengangkatnya ke atas sambil terkepal. Menggoyang-goyangkannya, seperti tanda kemenangan. “Ternyata kau mudah tertipu. Saat itu, aku sengaja meninggalkan diary-ku di sampingmu. Aku yakin rasa penasaran akan membuatmu membawanya, mengutak-atiknya, lalu mencari ungkapanku seperti yang kau damba-dambakan. Kau kira aku tak tahu kalau kau yang membawanya. Lia, teman akrabku itu yang mengatakannya padaku. Dasar!”

Aku merasa terperangkap, tapi aku tak mau mengalah. Kau menjebak dirimu sendiri. Berarti kamu yang suka duluan sama aku. Buktinya, kau menuliskan perasaanmu di diary tanpa pernah kau tahu aku suka padamu atau tidak?” sanggahku. Aku tak akan kehabisan argumentasi!

Aneh, kau hanya berdecak-decak sambil menggeleng-gelengkan kepalamu. Seperti tembakanku meleset saja. Padahal kurasa kau bak tertangkap basah. Sambil menyun-manyun, kau berceloteh lagi, “Lagi-lagi kau mengakui kelemahanmu. Mengaku kalah saja! Kau kira aku tak tahu kau pernah melukis wajahku di selembar kertas disertai tulisan lebay-mu: ‘Untuk wajah sejuta bintang di balik mendung, jangan merasa sendiri di pojok ruangan. Ada seseorang yang berharap kau jatuh di pelukannya. Tunggulah 10 tahun ke depan, ketika roketnya telah siap menembus awan, biarkan ia menghampiri dan memasangkan cincin di jari manismu. Bertahanlah hingga waktunya ia  menyatakan cinta sejati itu.’ Dio, teman sebangkumu yang mencurinya di laci mejamu dan memberikannya kepadaku melalui Lia. Karena itu juga, teman sekelas menjodoh-jodohkan kita. Ayolah, minta ampun saja. Aku tak akan menganggap itu aibmu,” balasmu dengan mimik yang sangat meremehkan.

Aku seperti kehabisan peluru. Memang sulit untuk mengakui kekalahan. “Baiklah, aku mengaku kalah untuk sementara waktu. Walaupun sulit saja untuk membuktikan bahwa kau yang lebih dulu memendam perasaan padaku. Apa aku harus bersujud?”

Kau nampak kegirangan. Jika begitu, aku tak rugi mengaku kalah. Baru kali ini kulihat senyummu yang paling manis. Sangat tulus. “Tapi kenapa juga kau tak pernah mencari sosok penghibur selama 10 tahun berjalan. Atau memang tak ada yang sudi mendampingimu?” tanyamu.

“Entahlah, aku yakin saja bahwa kaulah jodohku. Kau seperti tercipta untuk kurindukan menjadi pasangan hidupku. Aku juga tak ingin mengotori memoriku. Jika bukan tentang kau, kubiarkan saja kekosongan melandaku di antara waktu-waktu penantian selama sepuluh tahun itu. Aku tak ingin dalam kenanganku, kau punya pembanding yang akan membuatku lebih cinta kepada kenangan daripada kau, walaupun kita akhirnya tetap menikah. Ada bagian memoriku yang merekam tentang lawan jenis, dan kupikir sebaiknya terisi satu wajah saja. Itu kamu, nona manis!” jujurku, lalu memetik dagumu.

“Dasar gombal! Terus, apa kamu tak terluka saat kugandeng tangan kakakku di pelataran rektorat kampus, sehari sebelum wisuda? Padahal aku tahu kau di belakangku waktu itu,” tanyamu lagi. Seperti masih berhasrat menyerang.

“Apa? Kamu memang keterlaluan. Hampir saja gara-gara itu aku tak jadi menikahimu. Kurang ajar!” balasku polos. Sudah terlanjur juga aku kalah. “Kau sendiri kenapa bisa bertahan selama itu?”

Kau terdiam untuk beberapa detik. Sepertinya kau sudah kelelahan melampiaskan tawamu. Aku berbalik ke samping menatapmu. Wajahmu terlihat tenang, terbasuh sinar rembulan. “Aku sama sepertimu. Kau telah mengikat hatiku waktu itu. Kurasa kaulah cintaku sesungguhnya. Selalu kudambakan kita terlahir untuk dipasangkan bersama. Aku pegang waktu 10 tahun yang kau janjikan. Selama kau tak memulai untuk berpaling ke lain hati, aku tak akan melakukannya juga. Terus terang, sebelum aku ke Australia, aku telah relakan kalau kau ingin menambatkan hatimu ke yang lain. Kurasa dua tahun tanpa saling berbagi kabar adalah waktu yang sangat membunuh. Tapi nyatanya, kau masih juga mejaga perasaanmu seperti pertama kali aku tahu. Terima kasih telah menjaga hatimu untuku,” balasmu, seperti berat kau untuk mengungkapkannya. Terdengar terbata-bata. Seperti mendung di pelupuk matamu.

Jiwaku bergetar. Kuharap kau merasakannya. Tiba-tiba aku seperti jatuh cinta kembali. Lebih dari saat kesan pertama itu bermula. Kugenggan tanganmu yang dingin. Kutarik. Tanda pintaku agar kau bangun dari baringmu. Dan semuanya terjadi lagi. Kita saat ini tengah berhadapan di atas dua ayunan tali yang terpisah jarak semeter. Jika hanya pipimu yang kutatap 10 tahun lalu di kantin, kini aku bisa menatap jelas wajah manismu seluruhnya.

“Lika, maukah kau jadi pacarku?” kataku.

Kau hanya tertunduk. Mengusapkan kedua telapak tanganmu di mata. Kau terisak sambil tersenyum, lalu terjatuh di bahuku. Kini benar, kaulah bintang yang dulu kuharap jatuh di pelukanku. Ada kata yang terbenam harumu. Kupastikan itu adalah jawaban yang membuatku menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Teruslah menangis nona manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar