Senin, 30 November 2015

Kutukan



Di akhirmu
Kau menemukan jalan di kegelapan
Tanpa tujuan, tak berarah
Dalam gua yang berlumut
Kau terpaksa mengiyakan yang kau elakkan
Kau menepi, lalu terjatuh lagi

Dan lagi
Kau terpaksa merangkak buta-buta
Mencari cahaya yang terlanjur kau jauhi
Mengikuti ke mana air mengalir
Berharap membawamu keluar
Hanya berharap

Di dunia tanpa cahaya itu
Bak hidup tanpa nurani
Seperti jalan yang kau pilih
Maka pasrahkanlah
Genangan air hujan akan membawamu jauh
Masuk ke dalam dunia lain yang kau ingkari
Tempatmu mengiyakan segala yang kau elakkan

Ingatkah?
Dulu, diammu mengabaikan
Kata-katamu membakar jiwa yang damai
 Tindak-tandukmu memangsa saudaramu
Kau kanibal
Lalu siapa yang sudi mencarimu?
Enyalah!

Kau congkak dan takabur
Semua menuju ketiadaan katamu
Sekosong jiwamu
Mengelak telah berbuat?
Maka pikir-pikirlah
Tapi bukan sekarang
Terlambat
Tak ada gunanya doa-doa untukmu

Puisi Teruntuk Satu Wajah

Angga merasa ada yang aneh terhadap seorang perempuan di depannya, yang terpisah dua meja besar darinya di perpustakaan saat ini. Bukannnya tunduk dan serius membaca buku, perempuan bermata bulat dan beralis tebal itu malah sering menengadah dan menatap ke arahnya, seperti mencari perhatian. Sesekali jika pandangan mereka bertabrakan, perempuan itu akan tersenyum segan, dan Angga hanya akan balas menyunggingkan senyum seadanya, lalu lekas memandang lembar-lembar bacaannya kembali. Ia tak tahu bagaimana menyikapinya secara wajar. Apalagi ia tak mengenal perempuan berhidung mencung itu. Seingatnya, hanya ada sedikit gambaran wajah mirip gadis itu di dalam benaknya. Hanya mirip. Itu pun samar-samar dan meragukan. 

Jam dinding menunjukkan pukul 15.50 Wita. Sepuluh menit lagi perpustakaan akan ditutup. Sudah lebih sejam Angga bermanja-manjaan dengan buku yang dipilihnya dari rak. Ia memang punya mata yang tahan lama menyorot huruf-huruf. Jika tak diperingatkan petugas, bisa jadi ia keasyikan dan lupa meninggalkan ruang perpustakaan hingga gelap. Namun tidak untuk hari ini. Ia merasa risih dan tak menikmati alur bacaannya. Mata perempuan asing di depannya seperti memata-matai. Ia sulit untuk menghindar, sedang ia enggan untuk pindah dari tempat duduk favoritnya. Sampai akhirnya, ia memilih pulang lebih cepat sepuluh menit dari biasanya.

“Hai,” sapa perempuan berpipi tembam itu sambil mengulurkan tangannya saat Angga tengah mengemas buku bacaannya. Ia tepat berada di samping Angga, berdiri memeluk bukunya di dada. “Namaku Jihan.”

Perlahan, Angga menegapkan badan dan menyambut tangan perempuan itu. Ia masih berpikir macam-macam kalau jangan-jangan wanita pengobral senyuman yang ada di depannya kurang waras. Maka dengan senyuman terpaksa, ia lantas membalas dengan keki, “Ya. Namaku Angga,” tuturnya, sembari lekas menarik jabat tangannya dan lanjut memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

“Kakak tak menganggap aku aneh, kan?” tanyanya lalu diam menunggu balasan.

Angga sontak menatap wajah perempuan bernama Jihan itu. “Mmm...,” dengungnya, dengan kedua alis terangkat. Seperti ragu atas apa yang didengarnya.

“Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan pada kakak dari tadi, tapi aku takut mengganggu,” lanjut Jihan.  

“Apa? Katakan saja,” balas Angga dengan nada datar saat berdiri tepat menghadap Jihan yang memiliki tinggi badan sebahu darinya. Tangannya menyilang di dada, seperti ingin menegaskan bahwa ia sedia bercakap serius untuk beberapa saat saja. Sebelah tali tasnya pun disangkutkannya di bahu. Tampak bersiap-siap untuk bergegas pergi.

“Aku ingin meminjam novel klasik yang kakak baca tadi. Aku harus meresensinya sebagai tugas pengganti tes finalku. Aku telah mencarinya pada seluruh toko buku di kota ini, tapi aku tak dapat. Pas kupikir akan menemukannya di perpustakaan ini, kakak malah mengambilnya lebih dahulu. Jadi please, tolong aku kak. Tugasnya harus dikumpul tiga hari ke depan,” tuturnya dengan mimik risau dan manja.

Kini Angga mulai paham kenapa gadis yang baru ia kenal itu menungguinya sedari tadi. Ia lalu terdiam sejenak memandang wajah gadis berbehel gigi itu. “Oh, begitu. Baiklah. Tapi itu bukan buku perpustakaan. Itu bukuku,” jelasnya. Angga lalu mengurai kembali resleting tasnya, menarik lalu menyerahkan buku yang dimaksud pada Jihan. “Ini. Jaga baik-baik ya. Aku berharap kau orang yang bisa dipercaya. Kembalikan buku itu empat hari ke depan. Aku belum selesai membacanya. Temui aku di café ini jam 4 sore saat kau ingin mengembalikannya. Oke? Aku harus cepat-cepat pergi. Aku punya urusan penting,” pungkas Angga sambil meninggalkan sebuah kartu berisi alamat kafe.

Jihan hanya menganggukkan ucapan Angga dengan wajah berseri-seri. Ia tak menyangka lelaki yang dikiranya cuek akan merespons sebaik itu terhadap orang yang baru dikenalnya. 

Akhirnya, Angga pun berlalu cepat menuju pintu keluar.

***

Empat hari berlalu. Datanglah hari yang diperjanjikan Angga untuk pengembalian buku. Angga sudah sekitar 30 menit berada di sebuah kafe, tempat nongkrong favorit, untuk menanti kedatangan sebuah bukunya. Kurang lima menit jam empat sore, di waktu yang diperjanjikan, datanglah Jihan dengan keadaan setengah basah, seperti terjilat hujan di akhir-akhir perjalanannya menuju kafe.

“Hai, kak Angga,” sapa Jihan dengan senyuman yang tersimpul di bibirnya seperti biasa, sesaat setelah melewati pintu kaca kafe, seperti sangat senang. 

Tiba-tiba, ekspresi wajah Jihan yang seperti itu mengingatkan Angga pada satu wajah di malam pembacaan puisi sukarela, sebelas hari yang lalu. Miripnya sangat meyakinkan. Wajah anggun itulah yang menginspirasinya menulis sebuah puisi sehari setelahnya, yang terus coba  ia lupakan di hari-hari selanjutnya, sebab ia yakin itu hanya kekaguman sesaat.

“Ini novel kakak,” tutur Jihan saat masih berdiri mengusap-usap lengan bajunya yang tampak dirembesi hujan. “Kakak kok memerhatikanku seperti itu. Kanapa?” 

Angga yang melongok, jadi tersentak. “Oh, maaf. Ayo, duduklah,” balas Angga, tersadar dari lamunannya. “Kamu pasti kedinginan. Kenapa tak berteduh kalau hujan?”

Jihan pun tertawa kecil. "Tidak apa-apa basah sedikit kak, daripada ingkar janji. Kata orang, hujan kan cuma membahasi, bukan menghalangi,” balasnya, seperti ingin mencairkan suasana obrolan mereka.

Angga mulai mengenal karakter Jihan. Perempuan dewasa yang tingkahnya tampak kekanak-kanakan. Jihan dibacanya suka becanda. Sedikit lucu dan menggemaskan. 

Mereka pun menghabiskan waktu berbincang santai tentang kegemaran pada cerita fiksi. Bertukar pendapat dan berbagi referensi tentang gubahan karya sastra klasik dan modern. Kecanggungan antarmereka seperti sirna dalam waktu sekejap. Mereka asyik mengobrol, hingga tanpa mereka sadari, hujan telah reda saat mentari memancarkan sinar jingganya di ujung bukit. Malam telah menjelang dan mereka pun harus berpisah.

“Aku pulang ya, kak. Terima kasih sudah mau meminjamkan buku dan berbincang-bincang denganku,” tutur Jihan.

Angga mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan hujan tidak turun kembali sampai kau melewati pintu rumahmu."

Jihan tersenyum senang.

Mereka pun terpisah secara wajar.

Jihan kemudian berlalu di balik puntu, sedangkan Angga masih ingin tinggal beberapa menit untuk melanjutkan bacaannya. 

Sampai akhirnya, perhatian Angga tertuju pada secarik kertas yang baru dilihatnya di balik meja. Sebuah tiket untuk acara Malam Persembahan Seni yang akan diselenggarakan tiga hari ke depan. Ia yakin itu milik Jihan. Tapi entah bagaimana caranya ia menghubungi dan mengabari perempuan itu setelah ia keliru telah enggan berbagi nomor telepon dengannya. 

Dan akhirnya, ia memutuskan untuk membawa pulang tiket itu.

Malam tiba. Di tengah kerisauan soal pengembalian tiket, nada pesan singkat ponsel Angga pun berdering. Ia berharap Jihan telah mengetahui nomor teleponnya entah dari mana, lalu mengirimkan sebuah tanya perihal tiketnya. Namun setelah ia cek, pengirim dengan nomor baru itu bukanlah Jihan.

“Selamat malam Pak Angga Setia Azkara. Saya Amel, panitia acara Malam Persembahan Seni. Cuma ingin menyampaikan bahwa puisi anda berjudul Lukisan Sempurna Tak Bertuan terpilih sebagai salah satu dari lima puisi yang akan dipentaskan di acara nanti. Kami harapankan kehadiran anda untuk membacakan puisi di acara tersebut. Terima kasih,” tulis sang pengirim pesan.

Angga menjadi heran. Seingatnya, tak sekali pun ia mengirimkan puisinya untuk sebuah pementasan ataupun perlombaan. Bukan tak mau. Ia hanya tak percaya diri dengan gubahan kata-katanya selama ini. Sejumlah puisinya cuma berakhir di gudang arsip laptopnya. Beberapa ia unggah di blog pribadinya yang entah dibaca orang lain atau tidak. Namun untuk kejutan kali ini, ia bersyukur saja. Setidaknya ada alasan lebih untuk menghadiri acara tersebut, selain untuk menemukan Jihan di sana.

***

Tiga hari kembali berlalu. Datanglah saat dilangsungkannya Malam Persembahan Seni. Angga tentu saja hadir. Hitung-hitung momennya sebagai pembuktian awal kepada khalayak, bahwa ia punya bakat yang layak untuk diapresiasi. Selain itu, juga untuk menemukan Jihan yang mungkin saja merengek-rengek ingin masuk menyaksikan acara dengan beribu alasan. 

Waktu menunjukkan pukul 19.00 Wita. Tiga puluh menit lagi, acara akan berlangsung. Angga pun mengebut sepeda motornya agar segera sampai di lokasi. Ia berencana menunggu di luar gerbang untuk menanti kedatangan Jihan yang tentu saja was-was, ragu apakah panitia membolehkannya masuk tanpa tiket. 

Lima belas menit sebelum acara dimulai, Angga telah sampai di tempat acara. Dan akhirnya, sesaat setelah memarkir sepeda motornya, ia melihat Jihan berdiri sendiri dengan lesu di pelataran pintu masuk. 

Ia lalu bergegas menghampiri Jihan. "Oh, hai, kenapa belum masuk?” tanya Angga, seakan tak tahu alasannya.

“Aku tak diperbolehkan masuk oleh panitia. Aku tak bawa tiket. Padahal telah kukatakan kalau tiketku hilang tiga hari yang lalu. Hari di mana aku mengembalikan bukumu,” jawab Jihan dengan mimik lunglai.

Angga segera merogoh kantong celananya. Menarik keluar secarik kertas yang tertinggal di bawah meja tiga hari yang lalu. “Ini tiket yang kau maksud bukan?” tunjuk Angga.

Jihan pun terkesima dan perlahan-lahan menyambut sodoran Angga. “Benar. Iya benar. Ini tiketku. Terima kasih,” jawab Jihan, sangat senang, tanpa mempertanyakan di mana Angga menemukannya. Seperti tahu pasti Angga akan membawakan tiket itu untuknya.

Mereka berdua pun memasuki gedung. Beriringan. Mereka duduk di kursi yang bedekatan. Bersampingan. Mereka terlihat menikmati sejumlah pertunjukan seni. Dari tari, musik, hingga teater. Dan di sela-sela rihat, kala MC melantur tak jelas, mereka akan bertukar komentar tentang penampilan yang baru saja mereka saksikan.

“Selanjutnya, kita sambut pembacaan puisi oleh Angga Setia Azkara. Dia akan membacakan sebuah puisi karyanya berjudul Lukisan Sempurna Tak Bertuan. Kepada saudara Angga, dipersilahkan untuk naik ke panggung,” tutur MC.

Panggilan itu seketika membuat Angga tersentak. Ketenangannya seperti terusik. Jantungnya berdegub kencang. Ini kali pertama ia tampil membacakan puisi di forum yang ramai dan dihadiri orang-orang penting. Sebelumnya, ia hanya pernah tampil sekali di sebuah pementasan puisi sukarela yang diadakan sebuah komunitas dua minggu yang lalu. 

“Tampillah seperti dua minggu yang lalu. Aku yakin kakak bisa,” tutur Jihan, memberi semangat pada Angga. 

Angga yang deg-degan, seperti tak menyimak ucapan Jihan yang terdengar sayup-sayup di tengah sorakan para hadirin. Ia hanya melemparkan senyuman sepintas, lalu bergegas ke atas panggung. 

Seketika, saat berada di atas panggung, Angga pun merasakan suasana yang semakin menegangkan ketika ia menyaksikan deretan penonton di depannya. Tangannya yang menggenggam microphone tampak bergetar. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepadaku. Puisi ini biasa saja. Sebuah puisi untuk para pengagum.”

Lukisan Sempurna Tak Bertuan

Wajah manis berlalu meninggalkan tanya
Belum sempat aku bertanya-tanya
Apakah masih serupa kembang tanpa tuan?
Izinkanlah kutukarkan dengan nyawaku
Tak mungkinlah kubiarkan sinar mentari membuatnya meranggas
Waktu-waktu akan kuhabiskan bermanja-manja dengannya
Berharap perangkainya tersanjung dan merasa terhormat
Malam-malam, kuajak ia berbaring di taman istana kala bintang berpijar
Tak peduli kembang-kembang lain meronta karena iri
Biarkan saja aku seperti gila
Padanyalah takdir kupaksakan
Jangan tanya kenapa begini jadinya
Kata-kata tak akan bisa menjelaskannya
Sumpah! Aku memuji untuk satu lukisan terindah itu
Wahai Pelukis Agung yang kupuja, takdirkanlah aku sebagai pemetiknya


Seketika seusai puisi dilantunkan dengan penuh penghayatan, sorakan dan aplaus terlontar untuk Angga. Ia pun mengucapkan terima kasih dan membungkukkan badannya kepada para penonton. Setelah itu, ia bergegas kembali ke tempat duduknya, di dekat Jihan.

“Aku suka puisi kakak barusan. Sebelum-sebelumnya, aku selalu yakin kalau karya kakak layak dipentaskan di forum seperti ini,” puji Jihan. “Kalau boleh tahu, kakak membuatnya untuk siapa?”

Angga tersenyum senang. “Aku menciptakannya semasih terbayang-bayang dengan satu wajah dua minggu yang lalu di sebuah pementasan puisi. Gadis berjaket putih yang bergambar kelinci itu duduk manis di sudut kanan ruangan. Wajahnya manis. Nyaris membuatku tak fokus membaca puisi. Dia mirip sekali denganmu. Kau tak cemburu, kan?”

Jihan lalu mengalihkan pandangannya dari Angga. Ia kemudian menunduk dan terdiam. Ia tampak mengingat-ingat kembali dua minggu lalu, kala ia menyaksikan sebuah pementasan puisi di sebuah kafe. Waktu di saat ia mulai terkesima dengan seorang lelaki yang sangat handal membaca puisi. Seingatnya, waktu itu ia duduk di pojok sebelah kanan ruangan. Ia juga mengenakan jaket milik temannya, berwarna putih dengan gembar kepala kelinci di sisi depannya.

Jumat, 27 November 2015

Berlayar ke Selayar


Memang susah menemukan gambaran tepat tentang sesuatu jika dirangkai dari informasi lisan maupun tulisan dari orang lain. Apalagi jika deskripsinya kurang mendetail. Ataukah informan memang sengaja melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi gambaran keadaannya, demi kepentingan tertentu. 

Sebisanya, kita hanya membayangkan dan menerka-nerka bagaimana sebenarnya objek yang digambarkan informan. Dengan imajinasi liar, keadaan yang dihayalkan bisa jadi lebih buruk atau lebih indah dari kenyataannya. Kurang tepat. Tapi yang pasti, informasi simpang siur akan menumpuk rasa penasaran dan menuntut pembuktian. Kita selalu ingin mencocokkan angan-angan dengan kenyataan. 

Begitulah kira-kira perasaanku tentang berlayar dan Selayar. Kesempatan membunuh penasaran tentang kedua hal itu pun tak kusia-siakan. Setelah seorang teman mengajakku menjadi surveyor sebuah lembaga survei nasional di sana, aku pun mengiyakannya. Tugasku juga tak mudah. Harus mewawancarai sepuluh orang masyarakat secara acak, demi mengisi kuisioner tentang pemilukada Selayar. Aku ditempatkan di Kelurahan Benteng, di Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Selayar.

Pada hari Minggu, 22 November lalu, menjadi waktu pertama kalinya aku merasakan perjalanan dengan menumpang kapal. Pertama kali juga aku menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Selayar. Di hari itulah aku menemukan kepastian, jawaban atas rasa penarasanku selama ini, tentang berlayar dan Selayar. 

Perjalananku menggapai Selayar dimulai dari Makassar. Aku mengendari sepeda motor bersama seorang temanku dari Jl. Perintis kemerdekaan IV, menuju Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar 200 km. Kami berangkat sekitar pukul 05.00 Wita, dan sampai di Bira pukul 08.45 Wita. Di sanalah kami akan menaiki kapal menuju Kabupaten Kepulauan Selayar. 

Motor melaju kencang. Apalagi feri KM Bontoharu yang kami buru untuk menuju ke Selayar, kabarnya biasa berangkat pukul 08.00 Wita. Syukur, kapal itu telat berangkat sehingga kami tak ketinggalan. Setelah membayar Rp. 105.000,-, kami berdua dan sebuah sepeda motor, dapat menumpang. Jika kulihat di tiket kapal, kalau tak salah, seseorang tanpa kendaraan untuk diseberangkan, hanya perlu membayar Rp. 24.000,-. Harga itu telah disubsidi pemerintah kata temanku.

Sekitar pukul 10.30 Wita, feri KM Bontoharu pun berangkat. Banyak kesan pertama saat berada di atas kapal yang tak kuduga sebelumnya. Jika sebelumnya kukira sebuah kapal hanya bisa mengangkut beberapa sepeda motor, ternyata mobil bus dan truk pun bisa diangkut. Sebelumnya juga kukira di atas kapal orang akan duduk lesehan atau tidur dan berdiri di sembarang tempat secara tak teratur, tapi ternyata kursi duduk tersedia secara rapi. Meski begitu, sayangnya, masih ada juga orang tak berperikasih tidur di atas kursi meski telah diberikan peringatan larangan. Akibatnya beberapa orang tak dapat duduk tenang.

Sebelumnya, aku juga mendengar kata-kata dari orang-orang bahwa sulit menghindari mual dan muntah kala menumpang di kapal. Ternyata tidak juga. Kurasa pulang ke kampungku mengendarai mobil mini bus dan berhimpit-himpitan dengan penumpang lain, lebih menantang. Kemungkinan muntah juga lebih besar karena udara yang pengap, bau asap dan bau aneh-aneh lainnya, serta goncangan dahsyat akibat jalan yang berlubang. 

Di kapal, sebaliknya. Aroma laut tercium mendamaikan dari embusan angin yang bebas keluar masuk melalui jendela kapal yang terbuka. Ruang kapal yang luas juga memungkinkan kita untuk berselonjoran, bahkan berjalan-jalan untuk melihat pemandangan di tengah laut. Dan, kapal juga tak terasa berguncang seperti yang kubayangkan sebelumnya. Goyangannya bahkan terasa asyik, hanya berayun dari kiri ke kanan. Sekitar pukul 12.30 Wita, sampailah kami di Pelabuhan Penyeberangan Pamamata, Selayar. Aku sedikit pun tak merasa pusing, mual, apalagi muntah.

Namun, setelah kesan pertama itu kuceritakan kepada temanku yang asli orang Selayar, ia berujar kalau aku beruntung menaiki kapal yang baik dalam keadaan yang baik pula. Ia mengatakan kapal feri memang tak semenantang kapal kecil nan cepat (speedboat). Pada penyeberangan perintis menuju kampungnya di pulau lain, speedboat dengan ruang sempit dan goyangan dahsyat menjadi andalan. Ia menyarankanku untuk mencobanya. Keberuntungan lainnya bagiku katanya, keadaan ombak kala itu memang tenang, sehingga getaran di kapal menjadi tak terlalu. 

Setelah menginjakkan kaki di daratan utama Selayar, kami melanjutkan perjalanan dengan mengendarai sepeda motor lagi. Pemandangan unik menyambut kami mengawali perjalanan menuju Kota Benteng. Setelah melewati daerah pelabuhan, di 30% perjalanan awal yang lengang, kami disuguhi pemandangan pepohonan perdu di pinggir jalan. Di antara pepohonan itu, terlihat tumpukan batu yang tersusun rapi, membentuk petakan lahan. Kuduga, itu adalah pagar untuk membatasi lahan-lahan di antara masyarakat. Sangat tak lazim.

Di sisa perjalanan selanjutnya, pada sisi kanan jalan akan terlihat pantai yang membentang. Di kedua sisi jalan, pohon-pohon kelapa yang tumbuh subur turut mengiringi perjalanan. Hingga di pertengahan perjalanan menuju Kota Benteng tampaklah perkampungan ramai di pinggir jalan. Rumah-rumah tersusun rapi mengikuti alur jalan.

Setelah perjalanan yang menyenangkan, sekitar pukul 14.30 Wita, sampailah kami di penginapan, tempat melalui tiga hari untuk menyelesaikan tugas yang penuh tantangan. Karena kecapekan, hari kedatangan berlalu dengan istirahat penuh. 

Selama dua hari setelahnya, aku pun mencari target responden di Kelurahan Benteng. Mondar-mandir dan menelusuri setiap jalan selama itu untuk mencari target, membuatku mengenal lika-liku daerah itu. Kota itu nampak tenteram, tanpa huru-hara yang menggerahkan dan menakutkan. Tak perlu khawatir untuk berjalan-jalan di tengah malam. Dengan masyarakatnya yang ramah-ramah, kurasa tak salah jika menduga di sana tak ada preman, apalagi begal.

Di penghujung hari ketiga di kota Selayar, tugasku akhirnya dipaksakan selesai setelah melewati “pertumpahan darah”. Syukurlah.

Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 Wita (Rabu, 25 November 2014), dengan mengendarai motor bersama temanku yang sebelumnya, kami menyusuri kembali jalan untuk pulang. Hampir dua jam setelahnya, kami akhirnya sampai lagi di Pelabuhan Pamamata dan kembali menaiki kapal yang kami tumpangi sebelumnya. Pagi itu, kapal berangkat tepat waktu, pukul 08.00 Wita. 

Akhirnya, ada satu hal yang sulit dihindari di Selayar. Sebagai daerah yang jaraknya jauh dari ibu kota Provinsi, Kabupaten Kepulauan Selayar pun masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan barang yang harus dipasok dari luar daerah. Tak heran jika jenis barang tertentu menjadi langka dan harga menjadi lebih mahal, termasuk BBM. Tapi itu tentu tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan ketenteraman yang diberikan masyarakat dan alam Selayar.

Aku bersyukur pernah ke Selayar. Kabupaten kepulauan yang menurut situs Wikipedia terdiri dari sebanyak 130 buah pulau. Tak heran jika dari 1.357,03 km2 luas wilayahnya, terdiri dari 12,91% daratan dan 87,09% lautan. Dari 11 kecamatannya pun, hampir setengahnya terbentuk dari wilayah pulau-pulau, yaitu Pasimasunggu, Pasimasunggu Timur, Takabonerate, Pasimarannu, dan Pasilambena.

Begitulah sekilas kesan pertamaku tentang berlayar dan Selayar. Aku mungkin tak penasaran lagi tentang rasanya naik kapal. Tapi untuk selayar, kuharap ada waktu untuk kembali kesana. Perjalanan singkat itu hanya membuatku tahu sekilas tentang Selayar. Baru sedikit. Aku hanya di daratan utamanya saja. Suatu saat, aku ingin mengenal Selayar sebagai kepulauan. Aku ingin berkunjung ke pulau-pulau kecilnya. Mudah-mudahan.