Minggu, 06 Desember 2015

Aksara Kebenaran dan Bunga

Sebuah koran harian sampai lagi di rumah sederhana. Di sekretariat para aktivis pencinta lingkungan. Terbitan kali ini menjadikan isu reklamasi pantai sebagai headline. Tampak foto ukuran besar aksi demonstrasi sehari sebelumnya, memenuhi sekitar sepertiga halaman depan. Aksi menuntut penghentian reklamasi pantai yang ditengarai merusak ekosistem pesisir itu, akhirnya dibubarkan paksa polisi. Tindak anarkitis lagi-lagi terjadi. Beberapa mahasiswa terluka. Tapi membaca berita itu seperti sebuah kado bagi para aktivis lingkungan di rumah kecilnya. Upaya mereka membela kepentingan masyarakat pesisir yang kehilangan mata pencarian akibat reklamasi, ternyata direspons baik para mahasiswa. 

Belakangan, memang pergerakan mahasiswa bak mati suri. Aksi unjuk rasa bersifat musiman. Adanya kala tanggal-tanggal peringatan. Seremonial belaka. Mahasiswa terkesan sulit menemukan masalah, serta membuat argumentasi dan tuntutan logis terkait karut-marut kehidupan rakyat. Hampir dua bulan berlalu ketika sebuah LSM, tempat Dito menyusun strategi perjuangannya, menyuarakan nasib hutan mangrove dan kehidupan masyarakat pesisir. Mahasiswa tak merespons. Sampai akhirnya media nasional menayangkan masalah itu beberapa kali. Banyak juga opini kritikan yang muncul di koran terkait dampak buruk reklamasi pantai. Ya, tulisan-tulisan tersebut akhirnya menjadi referensi para mahasiswa yang sepertinya tak punya waktu untuk membaca, berdiskusi, dan terjun langsung ke masyarakat.

“Dito, kamu sudah baca berita ini?” tanya Bunga, sambil menunjukkan berita headline di koran. Ia mencegah Dito yang baru saja sampai di teras sekretariat. Wajahnya terlihat sangat bahagia. “Ternyata perjuangan kita didukung sudah oleh para mahasiswa. Luar biasanya lagi, data dan argumentasi hukum yang dipaparkan adalah hasil kajian kita. Semoga perjuangan kita berhasil.”
“Syukurlah kalau begitu,” respons Dito seadanya.

“Eh, satu lagi. Ini. Opini hari ini juga memuat hasil kajian dan data dari lembaga kita,” lanjut Bunga. Seperti seorang agen penjualan yang antusias menjelaskan tanpa diminta. “Mmm, ada lagi. Marhaen Bumi Malaka D. Penulis opini. Sepertinya pendatang baru di dunia aksara. Dia sekampus denganmu, Dito. Kamu kenal?”

Dito hanya memandang tulisan opini setengah halaman itu sepintas, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

“Uraiannya serupa dengan hasil diskusi kita kemarin, To. Kau benar-benar tak tahu orang ini?” tanya Bunga. Butuh penegasan. Tak yakin kalau Dito tak tahu sang penulis misterius itu.

Lagi-lagi, Dito hanya menggelengkan kepala, lalu berlalu memasuki ruang sekretariat. 

***

Dua bulan lalu, selama seminggu di sekretariat LSM peduli lingkungan itu, pengurus dan relawan begitu semarak. Kecuali Dito. Maklumlah, seorang wanita dengan paras memesona baru saja diterima sebagai relawan baru. Namanya Bunga Sugandi. Lelaki celamitan pun jadi bertingkah. Seperti burung-burung genit bersiul-siulan. Berlomba mencari perhatian. Tiba-tiba jadi puitis. Tapi Bunga bukanlah perempuan yang haus gombalan. Dia tak berselera dipuji-puji. Sikap tak acuhnya membuat para lelaki itu menyerah tak bergeming. Mereka akhirnya sadar Bunga hanya ingin kawan. Tak lebih. Mereka hanya berharap.

Kini, profesionalitas Bunga membuat Dito terkagum-kagum. Ia jadi tertarik pada wanita cerdas, pendiam, dan tak banyak tingkah itu. Karena setipe dan nyambung, banyak waktu mereka habiskan untuk mendiskusikan persoalan yang tengah mereka advokasi, tentang reklamasi pantai. Mereka selalu menikmati berbincang-bincang bersama. Hitung-hitung, Bunga, mahasiswa jurusan biologi, dapat banyak bahan untuk penyusunan tugas akhirnya dari orang lapangan seperti Dito. Terlebih, Dito dipercaya sebagai penanggung jawab pengawalan kasus itu. Dan secara de facto, Bunga sudah seperti asisten pribadinya. Lambat-laun, mereka saling mengenal lebih dalam. Termasuk tentang latar belakang keluarga mereka masing-masing.

“Bunga, kau tahu, dirimu sangat unik. Aku tak pernah membayangkan perempuan semenarik kamu akan bergelut untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil. Apalagi kau berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Kurasa, kau pantasnya mengisi waktumu jalan-jalan di mal, berbelanja, menghadiri konser musik, atau sekadar ngerumpi dengan orang yang selevel denganmu,” tutur Dito, saat mereka sedang duduk berhadapan di samping sekretariat melepas lelah setelah beradu argumentasi. Meremehkan tapi lebih terkesan menyanjung.

Bunga lalu menunduk. Berusaha tak tampak tersipu. Tersenyum sejenak ke arah Dito, lalu berpaling cepat. Entahlah. Ia sulit menghindari. Sepertinya baru kali ini ia merasakan pujian terhormat yang tak layak disebut gombalan. “Ah. Itu pikirmu saja. Aku juga manusia kok. Sama dengan lainnya. Punya hati nurani,” balasnya.

***

Sebulan bulan kemudian, di satu pagi, Dito dikagetkan dengan sebuah pemberitaan di koran lokal langganan sekretariat LSM-nya. Sugandi Sugeng, kepala dinas tata ruang kota metropilitannya, ternyata terseret dalam kasus reklamasi pantai yang dikawal. Ia tak menduga. Bukan saja karena ia pejabat terpandang yang terkenal baik dan dermawan, tapi karena ia adalah ayah seorang wanita yang dikaguminya, Bunga Sugandi. Di antara teman seperjuangannya, hanya Dito yang tahu.

Penghentian aktivitas reklamasi pantai seperti jauh panggang dari api. Dito sebagai leader pengawalan kasus reklamasi itu, seperti patah arang. Ia tak tega dengan Bunga. Perusakan hutan mangrove kemungkinan semakin menjadi-jadi. Ditentang aktivis saja, tak digubris para pengusaha gedung bertingkat. Apalagi jika dibiarkan. 

Sering itu, seorang mahasiswa misterius yang dulu gencar mengkritisi aktivitas reklamasi pantai dengan opininya di sebuah koran lokal, tak juga muncul kembali. Ia menghilang bersama ide dan semangat perjuangannya yang terukir dengan aksara. Aksi demonstrasi mahasiswa pun kemungkinan redup kembali. Mahasiswa akan kehilangan pegangan.

Bunga belum tahu berita tentang ayahnya itu. Dito sengaja menyembunyikan koran sejak pagi tadi agar Bunga tak merasa apa-apa. Hingga sore pun menjelang. Awan gelap terlihat menyelimuti bumi, sedangkan angkutan umum tak juga muncul. Hampir sejam sudah Bunga menanti di halte. Tawaran Dito untuk mengantarnya pulang, selalu ditolak. Kabar dari teman Dito pun memastikan bahwa angkutan umum tak akan datang. Para sopir berunjuk rasa menuntut kenaikan tarif angkutan seiring dengan kenaikan harga BBM. Terpaksa, untuk tawaran kesekian kalinya, Bunga bersedia diantar Dito pulang ke rumahnya.

Mereka pulang berboncengan di bawah langit yang mendung. Menelusuri jalan sempit demi menghindari kemacetan akibat demonstrasi para sopir angkutan kota. Langit mungkin tak tega membasahi mereka berdua. Air mata bumi seperti sengaja tertahan. Nyata saja, hujan deras baru turun sesampainya mereka di teras rumah Bunga. Jadinya, mau tak mau, Dito harus singgah beberapa waktu. Menunggu hujan reda.

“Kau pulang dengan siapa?” tanya Ibu Bunga, dengan senyuman aneh tersungging di wajahnya. Seperti meledek Bunga yang sebelumnya tak pernah diantar lawan jenisnya.

“Oh, ini Ma? Teman aku. Kenalkan, namanya Dito,” balas Bunga. Menampakkan wajah kesal. Tak suka wajah Ibunya menggoda-goda padanya. 

Dito mengulurkan tangannya. Gemetaran. Entah kedinginan atau meresa deg-degan. Mereka bertiga lalu duduk di kursi beranda rumah.

Lelaki berkumis muncul di balik pintu. Ayah bunga. Meski wajahnya tampak garang, ia mendahului Dito melemparkan senyuman. Ia menghampiri dan menjabat tangan Dito. “Oh, pasti kau Nak Dito. Aku mengenalmu. Kalau aku tak salah tebak, kau salah satu aktivis antireklamasi kan?

Dito mengangguk. Memaksa pipinya yang kaku karena kedinginan untuk kembali mengembang. Ia merasa segan terhadap orang tua wanita yang dikaguminya. Sosok yang selama ini sesekali dikritisinya. “Iya om. Aku Dito yang om tahu,” balasnya.

“Haha. Aku suka komentar-komentarmu di koran belakangan ini. Aku persis sepertimu waktu masih muda. Dulu, aku juga aktivis pencinta lingkungan. Sama sepertimu,” tuturnya. Wajahnya lalu berubah lesu. “Tapi kau tahulah, masuk ke lingkungan pejabat pemerintahan sama dengan mempertaruhkan harga diri. Yang tampak seperti kawan, bisa jadi lawan sebenarnya.”

Dito tak segera membalas. Ia butuh lima detik untuk mengonsepkan kalimat yang tepat. Takut salah ucap. “Iya. Sepertinya kesimpulan Om benar. Aku pun tak tahu jalan hidupku ke depan bagaimana.” Dito mencoba bersikap hangat. Tampil bersahabat. Berharap Ayah Bunga mengungkapkan fakta-fakta terselubung tentang reklamasi pantai.

“Nak Dito pasti membaca berita di koran pagi tadi? Entahlah, apakah para mahasiswa dan aktivis lingkungan tahu kalau di balik reklamasi pantai itu, aku tak punya kuasa. Semua urusan berdasarkan di titah atasanku. Pak gubernur dan bupati. Aku hanyalah bawahan. Aku harus melaksanakan perintahnya. Jadi pelayannya. Aku adalah korban jebakan. Tak bisa berbuat apa-apa. Nama baik keluargaku pun jadi tercemar. Aku telah memperkirakannya sejak beberapa bulan lalu. Karena itu juga, aku meminta Bunga untuk bergabung di LSM Nak Dito. Bukan untuk melindungi kepentinganku, tapi membela dan membuktikan kebenaran,” jelasnya.

Dito tercengang mendengar penjelasan itu. Jalan cerita yang sulit dimengertinya. Ditahunya sudah alasan Bunga rela bergabung di dunia yang sepi hiburan dunia. Rasa penasaran mendesaknya bertanya lagi, “Apa yang membuat Om tak bisa melawan nafsu para pejabat itu?”

“Mereka orang besar. Penguasa media lokal. Mereka memimpin koloni para penguasa dan pengusaha di kabupaten ini. Mereka bisa dengan mudah mengorbankan orang yang tak sejalan dengannya. Bisa memaksakan kehendak menggunakan uang dan kekuasaan. Hukum pun jadi sulit menyentuh mereka. Aku yang tak punya backing-an, terpaksa dikorbankan. Tapi sudahlah. Satu harapanku, semoga tak terjadi apa-apa dengan kelaurgaku,” balasnya, dengan wajah yang masih tampak penuh ketegaran.
Dito lalu mengusap wajahnya yang membeku dengan fakta-fakta yang terungkap.

“Pasti kau pernah baca tulisan opini Marhaen Bumi Malaka D. kan Nak Dito? Tulisannya tak jauh meleset dari fakta reklamasi yang sebenarnya. Entah kenapa ia tak lagi menulis. Aku berharap dia kembali menuliskan hasil kajiannya, sehingga kelak, kebenaran benar-benar terungkap. Kau kenal orang itu kan? Berdasarkan identitasnya yang tertulis di koran, dia juga mahasiswa program pascasarjana di kampusmu Nak Dito,” tuturnya.

Seperti biasa, Dito lagi-lagi menggeleng. Isyarat bahwa ia tak tahu. Tapi sebenarnya bohong. Ia tahu semua. Kini, tekadnya memuncak lagi untuk kembali menulis dengan nama samaran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar