Dua
insan terlihat semringah sepanjang hari. Maklumlah, mereka baru menikah dua
minggu lalu. Bisik-bisik tetangga yang mengiringi pernikahan mereka, sepertinya
tak berhasil mengusik. Penentangan dari keluarga pihak laki-laki, Andi, terutama
ibunya, juga tak terhiraukan. Andi tetap memaksa menikahi Lina, seorang wanita
yang tak jelas asal-usulnya. Hanya seorang kakak laki-laki Lina yang datang di
pernikahan mereka.
Pernikahan
mereka pun dianggap terburu-buru. Setahu keluarga dan tentangga Andi, mereka
baru saja berkenalan. Sekitar sebulan lalu, Lina datang di kios percetakan
Andi. Seperti tanpa harapan hidup. Ia meminta dengan sangat untuk dipekerjakan.
Mungkin untuk orang lain, Lina terlihat sinting waktu itu. Tapi bagi Andi, ia
tetaplah seseorang yang perlu dikasihani. Yang pernah diharap untuk dikasihinya.
Entahlah.
Tak
banyak yang tahu, Andi dan Lina menyimpan sebuah rahasia. Beberapa tahun yang
lalu, saat masih kuliah, mereka sudah saling mengenal. Andi menyimpan rasa yang
sangat menggebu pada Lina, gadis manis yang memiliki banyak penggemar. Tapi apa
daya, Andi hanya lelaki pemalu yang mati kutu di depan lawan jenis. Ia tak biasa
tampil jantan dan menawan. Penampilannya terlihat kuno. Apalagi dengan kacamata
minusnya. Kalah pamor dengan lelaki lainnya yang super gaul. Padahal ia berasal
dari keluarga yang kaya dan terpandang.
Andi
hanyalah pengharap Lina waktu itu. Merasa jadi pengharap terdalam di antara
yang lain. Pengharapannya mengalahkan rasa cemburu. Meski sering diolok-olok
lelaki lain di depan Lina, kekagumannya tak juga sirna. Lina tak pernah buruk
di matanya. Bahkan jika dekat dengan lelaki lain, terutama Nandu, lelaki labil
yang doyan bertingkah bak berandalan. Hubungan mereka hanya cinta monyet
menurut Andi. Ia tak peduli. Baginya, menuntut ilmu demi masa dengan adalah jalan
terbaik untuk membangun istana masa depannya dengan Lina. Ia bertekad
mempersunting Lina di tahun-tahun mendatang.
Tak
pernah disangka teman seperkuliahan mereka, kini dua sejoli yang sedang dimabuk
cinta itu menjadi suami-istri yang tampak serasi. Meski begitu, banyak juga yang menebak-nebak umur
pernikahan mereka tak akan berlangsung lama. Maklumlah, Andi berasal dari
keluarga terhormat dan kaya raya. Sedangkan gosip tentang latar belakang Lina
sebagai wanita pelintas malam semakin menyeruak. Hanya bulan yang tahu. Yang
pasti, jika itu benar-benar kenyataan, bisa-bisa mereka terpaksa dipisahkan.
Tapi sejauh ini, tak ada terpaan yang benar-benar berarti. Mereka tetap
terlihat mesra, bahkan saling menguatkan untuk menepis setiap rumor.
Enam
bulan berjalan, sepertinya Lina sudah mulai diterima baik dalam keluarga besar
Andi. Dia mulai akrab dan senantiasa menunjukkan bakti kepada kedua mertuanya. Apalagi
setelah perut Lina tampak membuncit. Para mertua jadi tak lagi sabar menimang cucu
dari anak semata wayangnya. Keadaan itu menjadi penghangat suasana keluarga. Tapi
desas-desus berbeda dari para tertangga berembus. Mereka banyak
mempertanyakan, secepat itukah Lina harus berbadan dua?
Waktu
terus berjalan. Di bulan ketujuh pernikahan mereka, lahirlah seorang bayi
perempuan yang akhirnya diberi nama Linandu Aswari. Sesuai kesepakatan, karena
perempuan, Lina yang memberikan nama.
***
“Ting tong.” Bel
rumah percetakan Andi berdenting di tengan malam. Berbunyi sebanyak tiga kali
Di
ruang itulah Andi dan sang istri sering melewati malam demi menyelesaikan
pesanan cetakan yang menumpuk tepat waktu. Hanya sesekali saja tidur di rumah. Bergegas
saja Andi menyeret badannya untuk membuka pintu. Seperti biasanya, ia yakin itu
pasti istrinya yang belakangan sesekali izin untuk pulang larut malam. Ada urusan
keluarga, alasannya.
Dengan
kelopak mata yang masih berat, Andi menyempatkan mengintip di balik jendela
pengintaian. Ia ternyata salah terka. Yang terlihat adalah beberapa lelaki
bertopeng bersandar di balik pintu. Terlihat ada tiga orang. Mereka perampok. Dengan
perasaan bimbang, Andi pun bergegas balik ke kamarnya untuk mengontak polisi.
Setelah pesannya tersampaikan, ia lalu mengambil sebilah pisau belati andalannya
dari balik kasur. Ia hendak berjaga-jaga di ruang utama yang sesak dengan mesin-mesin
percetakan, sambil menunggu bantuan polisi datang. Ia tak yakin bisa melakukan perlawanan
yang berguna jika sekonyong-konyong melawan seorang diri.
Di
tengah langkah senyapnya, denting-denting dari arah pintu yang terbuat dari
besi, terdengar. Sepertinya para perampok mencoba mempreteli kunci pintu
setelah tak sabar menunggu. Gemerencing terdengar. Seperti gesekan besi
dengan besi. Mereka mencoba menggergaji penyangga kunci. Bayangan di pikiran Andi
menjadi-jadi, tentang bagaimana jadinya jikalau kunci berhasil dipatahkan.
Dengan tergesa-gesa, ia mencoba keluar melewati pintu belakang kios. Melewati
halaman tempat biasanya membakar sampah kertas cetakan.
Andi
yang merasa was-was mempercepat langkahnya. Raganya seperti tak terkendali. Emosinya
tak stabil. Masih merasa seperti mimpi. Sesekali menoleh ke daun pintu utama yang
mulai bergoyang. Sampai akhirnya pintu pelariannya tersibak seketika. Begitulah
kagetnya Andi melihat sesosok manusia yang samar wajahnya dalam kegelapan,
berdiri tepat di depannya. Ia pun bertindak spontan. Segalanya serba
sekongong-konyong. Tangan Andi refleks. Mengayunkan belati tepat di rongga
perut sosok tersebut.
Segera,
sosok misterius itu rebah. Terjatuh tepat di pelukan Andi. Darah terus saja mengalir
mengikuti guratan belati. Sinar temaram bulan di malam cerah itu, menerpa
wajahnya. Andi mencoba menerka. Terlihat sudah, rupa seorang wanita yang sangat
dikenalnya. Dia, wanita yang seharusnya mengetuk pintu utama, istrinya. Mereka
saling berdiam. Sang istri tetap berusaha membungkam mulutnya. Hanya mendesah.
Mengela napas yang terasa berat. Warna bibirnya memudar. Matanya memandang kosong.
Tak berkedip sempurna. Terlihat sayup-sayup.
“Maafkan
aku sayang,” tutur Lina lemas. Genggamannya pada bahu Andi terlepas.
“Kau.
Kau.” Terlihat mendung di wajah Andi. Ia berusaha menahan tangis. “Maafkan aku
sayang.
“Aku
mohon, jaga Linandu dengan baik. Maafkan aku,” tutur Lina tersengal-sengal.
“Tidak
sayang. Kita pasti akan menjaga Lina bersama-sama. Semua akan baik-baik saja,” balas
Andi, mencoba terlihat tegarnya.
Memang
sudah waktunya. Lina telah pergi untuk selama-lamanya. Bulan menyaksikan
peristiwa itu.
***
Syukurlah,
pada malam kejadian itu, polisi bertindak cepat. Sebanyak tiga orang perampok
akhirnya berhasil diciduk. Mereka belum sempat membawa lari uang dan barang
jarahan. Salah satu pelakunya adalah mahasiswa sekampusnya dahulu, Nandu.
Dua
bulan selanjurnya, persidangan kasus itu akhirnya dimulai. Sampailah Andi di
waktu menengangkan yang sangat ia tunggu-tunggu. Waktu dua bulan tidaklah
sebentar untuk hidup dalam kebimbangan, mengakui atau menyembunyikan kesalahan.
Ia ingin semuanya cepat selesai.
Lama
sudah Andi bingung. Ia tak tahu harus berkata apa di depan majelis hakim saat
dimintai keterangan sebagai saksi. Meski ia bertekad untuk mengungkapkan
kejadian sebenarnya, sisi lain batinnya tetap membuka kemungkinan untuk membungkam
kebenaran. Ia tak tega anak yang dilahirkan Lina dalam pernihkan mereka, hidup
tanpa asuhan orang tua.
Di
saat persidangan, tak disangka olehnya, otak sekaligus pemimpin rampok, Nandu,
mengatakan dirinyalah yang membunuh Lina. Padahal terang saja, Andi yang telah
tak sengaja membuat Lina pergi untuk selama-lamanya. Kenyataan itu tentu saja memunculkan
beribu tanya di benaknya. Begitukah cara Nandu menebus kesalahannya? Kenapa
Nandu rela memberikan keterangan palsu? Apakah ia harus menyanggah pernyataan
Nandu?
Andi
semakin bimbang jadinya. Ada dosa yang menuntut pengampunan. Ia takut tak akan
pernah tenang hidup dalam kebohongan. Tapi ditimbang-timbangnya, ia memilih demi
kebaikan Linandu. Menjaga Linandu menjadi permintaan terakhir Lina. Mengasuh
Linandu adalah cara ia menebus rasa bersalah pada Lina, pikirnya.
Berselang
lima bulan kemudian, datang sebuah surat ke alamat Andi. Pengirim surat itu
adalah Nandu. Sebuah nama yang tak akrab di telinganya, kecuali saat di
kampusnya dahulu dan di persidangan kasus kematian istrinya.
Sebelumnya aku memohon maaf telah
berbuat onar di rumahmu malam itu. Aku benar-benar kalap. Utangku menumpuk di
mana-mana. Banyak yang jatuh tempo. Entah bagaimana caraku melunasinya. Aku
yang kolot hanya bisa berpikir untuk merampok. Termasuk di rumahmu.
Maaf juga untuk semua rahasia yang
tak kau tahu selama ini. Kau tak perlu mempertanyakannya. Juga tentang alasanku
menanggung beban hukuman untuk perbuatan yang tak aku lakukan. Kurasa ini
setimpal. Itu pun kalau kau bersedia memaafkanku. Kau tak perlu merasa berat. Tak
perlu risih. Aku yakin, tak sedikit pun terlintas di benakmu, keinginan agar
Lina pergi untuk selama-lamanya. Sama denganku.
Jika akhirnya kau tak bisa
memaafkan aku, tak mengapa. Cukuplah kau jaga anak yang lahir dari Rahim Lina.
Aku merasa sangat berdosa terhadapnya. Kumohon, jagalah ia baik-baik. Selama
delapan tahun dibui, aku tak akan ada waktu memberikan kasih dan meminta maaf padanya.
Tak mungkin bisa menggantikan kasih ibunya yang telah tiada. Itu juga yang
menjadi alasan terbesarku ikhlas menanggung beban dosa ini. Aku akan sangat
berterima kasih jika anak itu masih bahagia merasa memiliki sosok ayah.
Mohon mengerti. Sekali lagi, maaf.
Penggalan
isi surat itu semakin membuat Andi tak mengerti. Banyak tanya yang timbul di
antara tanya-tanya yang belum terjawab, perihal kenapa Randu merasa berdosa
besar padanya. Tapi ia tak peduli semua tanda tanya itu. Linandu memang prioritas
baginya. Tak ada yang lain.
Biarlah
bulan menyimpan rahasianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar