Selasa, 01 Desember 2015

Andai Bulan Bersaksi

Dua insan terlihat semringah sepanjang hari. Maklumlah, mereka baru menikah dua minggu lalu. Bisik-bisik tetangga yang mengiringi pernikahan mereka, sepertinya tak berhasil mengusik. Penentangan dari keluarga pihak laki-laki, Andi, terutama ibunya, juga tak terhiraukan. Andi tetap memaksa menikahi Lina, seorang wanita yang tak jelas asal-usulnya. Hanya seorang kakak laki-laki Lina yang datang di pernikahan mereka.

Pernikahan mereka pun dianggap terburu-buru. Setahu keluarga dan tentangga Andi, mereka baru saja berkenalan. Sekitar sebulan lalu, Lina datang di kios percetakan Andi. Seperti tanpa harapan hidup. Ia meminta dengan sangat untuk dipekerjakan. Mungkin untuk orang lain, Lina terlihat sinting waktu itu. Tapi bagi Andi, ia tetaplah seseorang yang perlu dikasihani. Yang pernah diharap untuk dikasihinya. Entahlah.

Tak banyak yang tahu, Andi dan Lina menyimpan sebuah rahasia. Beberapa tahun yang lalu, saat masih kuliah, mereka sudah saling mengenal. Andi menyimpan rasa yang sangat menggebu pada Lina, gadis manis yang memiliki banyak penggemar. Tapi apa daya, Andi hanya lelaki pemalu yang mati kutu di depan lawan jenis. Ia tak biasa tampil jantan dan menawan. Penampilannya terlihat kuno. Apalagi dengan kacamata minusnya. Kalah pamor dengan lelaki lainnya yang super gaul. Padahal ia berasal dari keluarga yang kaya dan terpandang. 

Andi hanyalah pengharap Lina waktu itu. Merasa jadi pengharap terdalam di antara yang lain. Pengharapannya mengalahkan rasa cemburu. Meski sering diolok-olok lelaki lain di depan Lina, kekagumannya tak juga sirna. Lina tak pernah buruk di matanya. Bahkan jika dekat dengan lelaki lain, terutama Nandu, lelaki labil yang doyan bertingkah bak berandalan. Hubungan mereka hanya cinta monyet menurut Andi. Ia tak peduli. Baginya, menuntut ilmu demi masa dengan adalah jalan terbaik untuk membangun istana masa depannya dengan Lina. Ia bertekad mempersunting Lina di tahun-tahun mendatang.

Tak pernah disangka teman seperkuliahan mereka, kini dua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu menjadi suami-istri yang tampak serasi. Meski begitu, banyak juga yang menebak-nebak umur pernikahan mereka tak akan berlangsung lama. Maklumlah, Andi berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya. Sedangkan gosip tentang latar belakang Lina sebagai wanita pelintas malam semakin menyeruak. Hanya bulan yang tahu. Yang pasti, jika itu benar-benar kenyataan, bisa-bisa mereka terpaksa dipisahkan. Tapi sejauh ini, tak ada terpaan yang benar-benar berarti. Mereka tetap terlihat mesra, bahkan saling menguatkan untuk menepis setiap rumor.

Enam bulan berjalan, sepertinya Lina sudah mulai diterima baik dalam keluarga besar Andi. Dia mulai akrab dan senantiasa menunjukkan bakti kepada kedua mertuanya. Apalagi setelah perut Lina tampak membuncit. Para mertua jadi tak lagi sabar menimang cucu dari anak semata wayangnya. Keadaan itu menjadi penghangat suasana keluarga. Tapi desas-desus berbeda dari para tertangga berembus. Mereka banyak mempertanyakan, secepat itukah Lina harus berbadan dua? 

Waktu terus berjalan. Di bulan ketujuh pernikahan mereka, lahirlah seorang bayi perempuan yang akhirnya diberi nama Linandu Aswari. Sesuai kesepakatan, karena perempuan, Lina yang memberikan nama.

***

“Ting tong.” Bel rumah percetakan Andi berdenting di tengan malam. Berbunyi sebanyak tiga kali 

Di ruang itulah Andi dan sang istri sering melewati malam demi menyelesaikan pesanan cetakan yang menumpuk tepat waktu. Hanya sesekali saja tidur di rumah. Bergegas saja Andi menyeret badannya untuk membuka pintu. Seperti biasanya, ia yakin itu pasti istrinya yang belakangan sesekali izin untuk pulang larut malam. Ada urusan keluarga, alasannya. 

Dengan kelopak mata yang masih berat, Andi menyempatkan mengintip di balik jendela pengintaian. Ia ternyata salah terka. Yang terlihat adalah beberapa lelaki bertopeng bersandar di balik pintu. Terlihat ada tiga orang. Mereka perampok. Dengan perasaan bimbang, Andi pun bergegas balik ke kamarnya untuk mengontak polisi. Setelah pesannya tersampaikan, ia lalu mengambil sebilah pisau belati andalannya dari balik kasur. Ia hendak berjaga-jaga di ruang utama yang sesak dengan mesin-mesin percetakan, sambil menunggu bantuan polisi datang. Ia tak yakin bisa melakukan perlawanan yang berguna jika sekonyong-konyong melawan seorang diri. 

Di tengah langkah senyapnya, denting-denting dari arah pintu yang terbuat dari besi, terdengar. Sepertinya para perampok mencoba mempreteli kunci pintu setelah tak sabar menunggu. Gemerencing terdengar. Seperti gesekan besi dengan besi. Mereka mencoba menggergaji penyangga kunci. Bayangan di pikiran Andi menjadi-jadi, tentang bagaimana jadinya jikalau kunci berhasil dipatahkan. Dengan tergesa-gesa, ia mencoba keluar melewati pintu belakang kios. Melewati halaman tempat biasanya membakar sampah kertas cetakan.

Andi yang merasa was-was mempercepat langkahnya. Raganya seperti tak terkendali. Emosinya tak stabil. Masih merasa seperti mimpi. Sesekali menoleh ke daun pintu utama yang mulai bergoyang. Sampai akhirnya pintu pelariannya tersibak seketika. Begitulah kagetnya Andi melihat sesosok manusia yang samar wajahnya dalam kegelapan, berdiri tepat di depannya. Ia pun bertindak spontan. Segalanya serba sekongong-konyong. Tangan Andi refleks. Mengayunkan belati tepat di rongga perut sosok tersebut. 

Segera, sosok misterius itu rebah. Terjatuh tepat di pelukan Andi. Darah terus saja mengalir mengikuti guratan belati. Sinar temaram bulan di malam cerah itu, menerpa wajahnya. Andi mencoba menerka. Terlihat sudah, rupa seorang wanita yang sangat dikenalnya. Dia, wanita yang seharusnya mengetuk pintu utama, istrinya. Mereka saling berdiam. Sang istri tetap berusaha membungkam mulutnya. Hanya mendesah. Mengela napas yang terasa berat. Warna bibirnya memudar. Matanya memandang kosong. Tak berkedip sempurna. Terlihat sayup-sayup. 

“Maafkan aku sayang,” tutur Lina lemas. Genggamannya pada bahu Andi terlepas.

“Kau. Kau.” Terlihat mendung di wajah Andi. Ia berusaha menahan tangis. “Maafkan aku sayang.

“Aku mohon, jaga Linandu dengan baik. Maafkan aku,” tutur Lina tersengal-sengal.

“Tidak sayang. Kita pasti akan menjaga Lina bersama-sama. Semua akan baik-baik saja,” balas Andi, mencoba terlihat tegarnya.

Memang sudah waktunya. Lina telah pergi untuk selama-lamanya. Bulan menyaksikan peristiwa itu.

***

Syukurlah, pada malam kejadian itu, polisi bertindak cepat. Sebanyak tiga orang perampok akhirnya berhasil diciduk. Mereka belum sempat membawa lari uang dan barang jarahan. Salah satu pelakunya adalah mahasiswa sekampusnya dahulu, Nandu.

Dua bulan selanjurnya, persidangan kasus itu akhirnya dimulai. Sampailah Andi di waktu menengangkan yang sangat ia tunggu-tunggu. Waktu dua bulan tidaklah sebentar untuk hidup dalam kebimbangan, mengakui atau menyembunyikan kesalahan. Ia ingin semuanya cepat selesai. 

Lama sudah Andi bingung. Ia tak tahu harus berkata apa di depan majelis hakim saat dimintai keterangan sebagai saksi. Meski ia bertekad untuk mengungkapkan kejadian sebenarnya, sisi lain batinnya tetap membuka kemungkinan untuk membungkam kebenaran. Ia tak tega anak yang dilahirkan Lina dalam pernihkan mereka, hidup tanpa asuhan orang tua.

Di saat persidangan, tak disangka olehnya, otak sekaligus pemimpin rampok, Nandu, mengatakan dirinyalah yang membunuh Lina. Padahal terang saja, Andi yang telah tak sengaja membuat Lina pergi untuk selama-lamanya. Kenyataan itu tentu saja memunculkan beribu tanya di benaknya. Begitukah cara Nandu menebus kesalahannya? Kenapa Nandu rela memberikan keterangan palsu? Apakah ia harus menyanggah pernyataan Nandu? 

Andi semakin bimbang jadinya. Ada dosa yang menuntut pengampunan. Ia takut tak akan pernah tenang hidup dalam kebohongan. Tapi ditimbang-timbangnya, ia memilih demi kebaikan Linandu. Menjaga Linandu menjadi permintaan terakhir Lina. Mengasuh Linandu adalah cara ia menebus rasa bersalah pada Lina, pikirnya.

Berselang lima bulan kemudian, datang sebuah surat ke alamat Andi. Pengirim surat itu adalah Nandu. Sebuah nama yang tak akrab di telinganya, kecuali saat di kampusnya dahulu dan di persidangan kasus kematian istrinya.

Sebelumnya aku memohon maaf telah berbuat onar di rumahmu malam itu. Aku benar-benar kalap. Utangku menumpuk di mana-mana. Banyak yang jatuh tempo. Entah bagaimana caraku melunasinya. Aku yang kolot hanya bisa berpikir untuk merampok. Termasuk di rumahmu.

Maaf juga untuk semua rahasia yang tak kau tahu selama ini. Kau tak perlu mempertanyakannya. Juga tentang alasanku menanggung beban hukuman untuk perbuatan yang tak aku lakukan. Kurasa ini setimpal. Itu pun kalau kau bersedia memaafkanku. Kau tak perlu merasa berat. Tak perlu risih. Aku yakin, tak sedikit pun terlintas di benakmu, keinginan agar Lina pergi untuk selama-lamanya. Sama denganku. 

Jika akhirnya kau tak bisa memaafkan aku, tak mengapa. Cukuplah kau jaga anak yang lahir dari Rahim Lina. Aku merasa sangat berdosa terhadapnya. Kumohon, jagalah ia baik-baik. Selama delapan tahun dibui, aku tak akan ada waktu memberikan kasih dan meminta maaf padanya. Tak mungkin bisa menggantikan kasih ibunya yang telah tiada. Itu juga yang menjadi alasan terbesarku ikhlas menanggung beban dosa ini. Aku akan sangat berterima kasih jika anak itu masih bahagia merasa memiliki sosok ayah. 

Mohon mengerti. Sekali lagi, maaf. 

Penggalan isi surat itu semakin membuat Andi tak mengerti. Banyak tanya yang timbul di antara tanya-tanya yang belum terjawab, perihal kenapa Randu merasa berdosa besar padanya. Tapi ia tak peduli semua tanda tanya itu. Linandu memang prioritas baginya. Tak ada yang lain.

Biarlah bulan menyimpan rahasianya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar