Jumat, 11 Desember 2015

Belajarlah Memaafkan

Setiap orang pasti pernah merasa kecewa karena sesuatu. Kesal, hingga benci. Apakah reaksinya adalah mencari jalan perdamaian atau terus menumpuk perasaan buruk itu, adalah pilihan setiap individu. Jika akhirnya seseorang tak mampu berdamai dengan perasaannya sendiri, maka benci itu dapat berubah jadi dendam. Wujud benci hanyalah dengan menampakkan ketidaksukaan terhadap seseorang, hingga berusaha menghindarinya. Tapi saat berubah menjadi dendam, muncullah keinginan agar orang yang didendami itu ditimpa malapetaka. Menggebu tekad untuk menimpakan kekejian pada orang lain.

Jika perasaan dendam telah berakar dalam hati, maka semakin sulitlah mencabutnya dengan maaf. Tidak salah kata orang-orang bahwa meminta maaf lebih mudah ketimbang memaafkan secara tulus. Bisa saja, permintaan maaf diterima melalui balasan kata-kata, tapi sumpah serapah masih menggaung di dalam hati. Bersemayam dan sulit dihilangkan. Setiap waktu, bahkan dengan cara-cara menggelikan, jiwa-jiwa yang dendam akan meminta Tuhan untuk membalaskan dendamnya. Jadilah semuanya benar-benar gelap. Sebab sumber segala kebaikan juga dilibatkannya dalam keburukan hatinya. Hilanglah harapan menuju pencerahan.

Jiwa-jiwa pendendam sulit melihat kebaikan. Semua hal dinilai buruk baginya. Menerima permintaan maaf orang lain dianggap menghinakan dirinya sendiri. Seperti mengecut yang mengakui kekalahan sebelum bertarung. Sangat memalukan dipikirnya. Sebagaimana pun kebaikan berusaha menggugahnya, sia-sia saja. Pembalasan baginya adalah harga mati. Seiring waktu, hati nuraninya bak tertutup kabut keburukan. Gelap gulita karena dendam. Jadilah ia pecandu. Selalu ingin melihat orang yang didendami merasakan nestapa berulang kali. Tanpa batas. Keinginannya di awal untuk sekadar memberikan nestapa yang seimbang, tak dipedulikan lagi. Derita orang lain menjadi sebab kebahagiaan bagi jiwa-jiwa pendendam.

Tanpa disadari para jiwa pendendam, hidupnya menjadi serupa di neraka. Bertabur keburukan. Petaka-petaka menghujaminya bertubi-tubi. Tapi ia tak merasa. Seperti gila. Yakin orang lain yang didemdami jera akibat perilakunya. Nyatanya berbalik. Ialah yang sesungguhnya menanggung derita setiap waktu akibat ketidakmampuannya berdamai dengan dirinya sendiri. Kelewat batas, hingga tak sadar bahwa jiwanya mengidap penyakit akut: ketidakwarasan. Orang lain malah tak merasa terusik dengan sikap dendamnya yang membatin. Sesungguhnya, jiwa pendendam tak menyadari bahwa dendam sesungguhnya adalah urusan diri sendiri. Tak ada urusan dengan orang lain. Ketidaksenangan terhadap orang lain, hanyalah akibat persepsi yang salah. Hanya melihat keburukan orang lain, tanpa sedikitpun tergugah dengan kebaikan yang  pernah ia terima. Buta hati. Padahal, jika ada alasan membenci, pasti ada alasan mencintai.

Dendam akan selalu berujung petaka. Seperti kisah menarik yang dituliskan Habiburrahman El Shirazy dalam buku kumpulan cerita pendek inspiratifnya berjudul Ketika Cinta Berbuah Surga. Pada salah satu ceritanya berjudul Karena Dendam Pada Serigala, dikisahkanlah seorang Kakek dan Cucunya yang hidup di kaki Gunung Slamet sebagai petani. Pada satu subuh, serigala melahap ayam peliharaan mereka di kandang. Mereka memakluminya untuk sekali itu. Akhirnya serigala itu melahap ayam mereka di kandang untuk kedua kalinya. Geramlah mereka. Tak mau terjadi ketiga kalinya, Sang Kakek pun membuat sebuah perangkap. Nyata saja, di satu subuh, terkurunglah seekor serigala dalam perangkap. Demi mengimpaskan perasaan dendamnya, Sang Kakek pun memilinkan kain di ekor serigala, menyiramkan gas pada kain itu, lalu membakarnya. Spontan saja, serigala itu lari terbirit-birit ke persawahan untuk mencari kubangan air. Namun karena padi telah menguning dan siap panen, sawah kering. Serigala pun menyeret ekornya di petak sawah Sang Kakek ke sana-ke mari. Terjadilah petaka. Sawahnya yang siap panen seminggu lagi, kini terbakar. Kakek itu pun menyesal. 

Ada sebuah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari cerita di atas, bahwa menuruti dendam akan berujung pada penyesalan yang tertinggalkan kata maaf. Menyesali dendam kala kesempatan untuk saling memaafkan benar-benar tiada. Juga bahwa membalas sesuatu yang dinilai memberikan keburukan kepada kita, dengan keburukan juga (baca: balas dendam), bukanlah jalan bijak. Yakinlah, sikap itu malah menimbukan petaka bagi diri sendiri. Sudah sepantasnya kita saling memaafkan dan tak saling mendendam. Bukan untuk kebaikan orang lain saja, tetapi demi kebaikan diri kita sendiri. Mari saling memaafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar