Setiap
orang pasti pernah merasa kecewa karena sesuatu. Kesal, hingga benci. Apakah reaksinya
adalah mencari jalan perdamaian atau terus menumpuk perasaan buruk itu, adalah
pilihan setiap individu. Jika akhirnya seseorang tak mampu berdamai dengan perasaannya
sendiri, maka benci itu dapat berubah jadi dendam. Wujud benci hanyalah dengan
menampakkan ketidaksukaan terhadap seseorang, hingga berusaha menghindarinya.
Tapi saat berubah menjadi dendam, muncullah keinginan agar orang yang didendami
itu ditimpa malapetaka. Menggebu tekad untuk menimpakan kekejian pada orang
lain.
Jika
perasaan dendam telah berakar dalam hati, maka semakin sulitlah mencabutnya
dengan maaf. Tidak salah kata orang-orang bahwa meminta maaf lebih mudah
ketimbang memaafkan secara tulus. Bisa saja, permintaan maaf diterima melalui
balasan kata-kata, tapi sumpah serapah masih menggaung di dalam
hati. Bersemayam dan sulit dihilangkan. Setiap waktu, bahkan dengan cara-cara
menggelikan, jiwa-jiwa yang dendam akan meminta Tuhan untuk membalaskan
dendamnya. Jadilah semuanya benar-benar gelap. Sebab sumber segala kebaikan
juga dilibatkannya dalam keburukan hatinya. Hilanglah harapan menuju
pencerahan.
Jiwa-jiwa
pendendam sulit melihat kebaikan. Semua hal dinilai buruk baginya. Menerima
permintaan maaf orang lain dianggap menghinakan dirinya sendiri. Seperti
mengecut yang mengakui kekalahan sebelum bertarung. Sangat memalukan
dipikirnya. Sebagaimana pun kebaikan berusaha menggugahnya, sia-sia saja.
Pembalasan baginya adalah harga mati. Seiring waktu, hati nuraninya bak
tertutup kabut keburukan. Gelap gulita karena dendam. Jadilah ia pecandu.
Selalu ingin melihat orang yang didendami merasakan nestapa berulang kali.
Tanpa batas. Keinginannya di awal untuk sekadar memberikan nestapa yang
seimbang, tak dipedulikan lagi. Derita orang lain menjadi sebab kebahagiaan
bagi jiwa-jiwa pendendam.
Tanpa
disadari para jiwa pendendam, hidupnya menjadi serupa di neraka. Bertabur
keburukan. Petaka-petaka menghujaminya bertubi-tubi. Tapi ia tak merasa.
Seperti gila. Yakin orang lain yang didemdami jera akibat perilakunya. Nyatanya
berbalik. Ialah yang sesungguhnya menanggung derita setiap waktu akibat
ketidakmampuannya berdamai dengan dirinya sendiri. Kelewat batas, hingga tak
sadar bahwa jiwanya mengidap penyakit akut: ketidakwarasan. Orang lain malah
tak merasa terusik dengan sikap dendamnya yang membatin. Sesungguhnya, jiwa
pendendam tak menyadari bahwa dendam sesungguhnya adalah urusan diri sendiri.
Tak ada urusan dengan orang lain. Ketidaksenangan terhadap orang lain, hanyalah
akibat persepsi yang salah. Hanya melihat keburukan orang lain, tanpa
sedikitpun tergugah dengan kebaikan yang
pernah ia terima. Buta hati. Padahal, jika ada alasan membenci, pasti
ada alasan mencintai.
Dendam
akan selalu berujung petaka. Seperti kisah menarik yang dituliskan
Habiburrahman El Shirazy dalam buku kumpulan cerita pendek inspiratifnya
berjudul Ketika Cinta Berbuah Surga. Pada salah satu ceritanya berjudul Karena
Dendam Pada Serigala, dikisahkanlah seorang Kakek dan Cucunya yang hidup di
kaki Gunung Slamet sebagai petani. Pada satu subuh, serigala melahap ayam
peliharaan mereka di kandang. Mereka memakluminya untuk sekali itu. Akhirnya
serigala itu melahap ayam mereka di kandang untuk kedua kalinya. Geramlah
mereka. Tak mau terjadi ketiga kalinya, Sang Kakek pun membuat sebuah
perangkap. Nyata saja, di satu subuh, terkurunglah seekor serigala dalam
perangkap. Demi mengimpaskan perasaan dendamnya, Sang Kakek pun memilinkan kain
di ekor serigala, menyiramkan gas pada kain itu, lalu membakarnya. Spontan
saja, serigala itu lari terbirit-birit ke persawahan untuk mencari kubangan
air. Namun karena padi telah menguning dan siap panen, sawah kering. Serigala pun
menyeret ekornya di petak sawah Sang Kakek ke sana-ke mari. Terjadilah petaka.
Sawahnya yang siap panen seminggu lagi, kini terbakar. Kakek itu pun menyesal.
Ada
sebuah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari cerita di atas, bahwa
menuruti dendam akan berujung pada penyesalan yang tertinggalkan kata maaf.
Menyesali dendam kala kesempatan untuk saling memaafkan benar-benar tiada. Juga
bahwa membalas sesuatu yang dinilai memberikan keburukan kepada kita, dengan
keburukan juga (baca: balas dendam), bukanlah jalan bijak. Yakinlah, sikap itu
malah menimbukan petaka bagi diri sendiri. Sudah sepantasnya kita saling
memaafkan dan tak saling mendendam. Bukan untuk kebaikan orang lain saja,
tetapi demi kebaikan diri kita sendiri. Mari saling memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar