Selasa, 02 Februari 2016

Nama Pena

Sebelumnya, aku tak punya pengalaman menulis cerita pendek. Terpaksa saja, karena perasaanku pada seseorang, tentang kami, yang masih sekadar harapan. Demi melindungi harga diri, kupikir, tak ada pelampiasan paling aman selain menyiratkan perasaan dalam cerita fiksi dan frasa bermajas. Bisa ditafsirkan sesuai kepentingan. Jika seseorang ataupun dia mengetahui benar bahwa aku sedang bercerita tentang perasaanku sendiri, maka dengan mudah aku mengelak dengan penafsiran berbeda.

Ambiguitas kata dan cerita memang bisa membuat maksud meleset dari sasaran. Tapi itu lebih baik daripada diam tanpa kata. Setidaknya aku telah mengungkapkannya lewat tulisan, walau hanya aku yang mengerti, sedangkan dia tak tahu atau malah menafsirkannya secara melenceng. Bisa juga karena ketidakjelasan itu, dia jadi bertanya-tanya, lalu memberikan tanda-tanda yang kudambakan. Mengirimkanku pesan serupa kode morse, kubaca, lalu kuambil langkah yang tepat. Di situlah kesempatan terbaikku untuk menjelaskan satu arti kepadanya, sejujur-jujurnya.

Tentang tokoh cerita cerpen itu, kupikir, lelaki pecundang sepertiku tak layak menjadi pemenang, walaupun itu dalam cerita fiksi sekalipun. Karena itu, cerita gubahanku seminggu lalu, bukan berkisah tentang diriku, tetapi tentang perempuan yang kumaksud, teman dekatku, Reni. Penulisannya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dialah yang menjadi tokoh utama ceritaku. Tak terlalu sulit menuliskannya. Bahan ceritanya sudah ada. Apalagi dia sering menjadikanku tong untuk menampung sampah-sampah hidupnya, termasuk cerita tentang persoalan asmaranya. Agar tak kentara, aku tak akan membuatnya sepolos diary. Kubuat alur yang apik dan mencengangkan. Intinya, dipelintir sedikit agar saat membacanya, ia tak menyadari itu tentang dirinya.

Cerita nyata tentang Reni sebenarnya biasa saja. Kalau sering-sering menyaksikan FTV, pasti ada episode yang mirip dengan ceritanya itu. Intinya, si A menyukai si B. Tapi sialnya, si B malah menyukai si C yang nota bene menyukainya juga. Kalau dari curhatan Reni, seseimpel itulah jalan ceritanya. Kini, dia terlihat berkabung setelah pujaan hatinya dekat wanita lain. Dua sejoli yang membuat Reni cemburu itu adalah teman sekantor kami di penerbitan majalah remaja. Namanya Arif dan Sophia. Aku akrab dengan Arif, sedangkan Sophia adalah teman “sepermainan” Reni. Nahas memang.

Demi mengaburkan kenyataan dalam cerita pendek gubahanku, tentu aku tak akan menulis cerita Reni sesederhana itu. Jadi aku putuskan untuk memberi sedikit bumbu. Kuimajinasikan, ceritanya akan semakin menarik jika B (Arif) ternyata sebenarnya menyukai A (Reni). B hanya mendekati si C (Sophia) untuk membuat A cemburu. Lama-kelamaan, A pun tahu kalau itu hanya taktik B. Tapi karena C adalah teman baik A, ia memilih menghindar dan membiarkan mereka bersama. Begitulah ceritanya. Dalam cerita itu, aku tak menyebutkan nama tokoh.

“Adit, ini cerpen untuk terbitan minggu ini. Sebagai ilustrator, buat gambar yang tepat. Karena itu, kau harus membacanya terlebih dahulu. Hayatilah ceritanya baik-baik,” perintah Reni kepadaku. Ia bertindak sebagai redaktur rubrik fiksi. Tentu saja aku tak perlu membacanya. Dia benar-benar tak tahu kalau itu adalah cerpen karanganku sendiri. 

Lakon Inisial Pesandiwara Hati. Dari banyak cerpen yang masuk di e-mail, kau pilih ini? Ceritanya memang menarik? Judulnya saja tak menarik,” balasku, pura-pura tak tahu.

“Kalau menurutku sih menarik. Cocok untuk pangsa pasar majalah kita. Ya, biasalah, masalah cinta bersegi-segi. Entah hanya akukah, tapi kurasa setiap orang akan merasa terlibat dalam cerita itu setelah membacanya. Siapa sih yang tak pernah mengalami cinta bersegi-segi? Kau pasti setuju denganku. Tapi sudahlah, kau baca saja dulu!” pungkasnya, lalu pergi dengan senyumannya yang begitu membekas di benakku.

Akhirnya, dua hari lagi, cerpen gubahanku dengan nama pena Sudiran Raja, akan diterbitkan. Tak kusangka, ternyata aku punya bakat menulis cerpen. Setidaknya, telah diakui redaktur yang sok perfect itu, si Reni. Entahlah. Bisa jadi dia memilih cerpenku karena karapuhannya saja. Kuduga ia merasa hanyut dalam cerita cerpenku. Yang pasti, aku benar-benar merasa menang.

Seperti biasanya, kala penat menjalani rutinitas, Reni akan datang ke desk-ku dan meminta untuk ditemani bersantai di sebuah kafe. Sebagai junior, aku terpaksa harus hormat padanya, yang lebih senior. Walau bisa kupastikan, ia hanya akan mengkritisi dan memberi masukan macam-macam untuk ilustrasi cerpen yang kubuat. Dia memang suka mengomentari lukisanku. Padahal, untuk membuat garis linear saja, dia tak mampu. Sebaliknya, aku sama sekali tak berhasrat mengomentari seleranya terhadap cerita fiksi.

“Ilustrasi untuk cerpen tadi sudah kau buat?” tanyanya, terlihat santai.

“Belum,” jawabku singkat. Kuduga ia akan mengaduh dan menggerutu.

“Oh, tak mengapa. Buat sebaik-baiknya. Aku tak ingin mengatur-aturmu kali ini. Aku percayakan padamu. Sebelumnya, kau sudah baca cerpennya kan?

Aku tak menduga responsnya berbeda dari biasanya. Tampak lebih jinak dan anggun. “Sudah.” Matanya memandangiku lamat-lamat. Seperti berharap aku mengeluarkan komentar yang panjang lebar. “Dan, biasa saja menurutku.”

Kupikir, dia pasti menggerutu dalam hatinya: Woi, bagaimana mungkin kau tak merasakan cerita itu menyinggungku? Aku kan sering curhat padamu? Tapi, aku bukan lelaki yang sok pengertian lewat kata-kata.

“Aduh! Kepekaanmu memang cetek,” tuturnya sambil berdecak dan menggeleng-gelengkan kepala. Hening beberapa menit. Sampai akhirnya ia mengeluarkan pernyataan yang tak kusangka sebelumnya. “Karena kau lelaki batu, jadinya kau tak pernah merasa kalau Sophia selama ini menaksirmu. Akhirnya, kini dia bersama Arif. Cerita cerpen itu seperti kisahmu kawan. Kau bak tokoh A dalam cerita itu.”

Ternyata dugaanku tentang keampuhan cerita fiksi dahulu, benar. Dia membuka kesempatan untukku mengorek informasi tentang perasaannya. “Kau juga batu, sampai tak sadar kalau Arif menaksirmu. Kaulah tokoh A dalam cerita,” balasku, sambil tertawa kecil.

“Tidak mungkin. Aku tak akan mengorbankan perasaanku hanya untuk seorang teman. Itu hanya ada di dunia fiksi. Kaulah tokoh A!” balasnya dengan nada tinggi. Wajahnya sangat serius.

“Aku juga sama sepertimu. Perasaan tak bisa ditawar-tawar, apalagi diperjualbelikan,” tuturku. “Ok, begini saja. Perhatikan. Aku adalah tokoh A. B adalah Sophia, sedangkan C adalah kekasihnya, Arif, yang temanku itu. Nah, aku kan sudah bilang aku tak akan merelakan perasaanku demi seorang teman. Buktinya, aku tak masalah dengan hubungan mereka.”

“Jadi kau tak ada niat pada Sophia? Kau teman baik dengan Arif kan? Jadi bagaimana kalau kau tetap toko A, sedangkan aku adalah tokoh B yang tak kau inginkan jika bersama si C?” sergahnya segera.

Aku terenyuh dengan kesimpulannya. Tapi aku masih terlalu enggan untuk berkata jujur. “Apa? GR! Kau yakin aku menyukaimu? Jadi kau ingin mengatakan kalau aku tak ingin kau bersama Arif, dan aku ingin kau bersamaku? Begitu?”

“Seharusnya begitu Pak Sudiran,” balasnya, tampak meledek.

Selang dua detik, aku baru sadar. Kau panggil aku apa? Aku benar-benar merasa kalang kabut. Mukaku pasti aur-auran terlihat olehnya karena rasa malu. Degub jantungku mengencang.

“Sebelumnya kau pernah menerorku dengan alamat e-mailmu itu. Aku tahu itu akunmu setelah suatu hari meminjam laptopmu. Saat itu aku hendak log in ke akun e-mailku. Setelah loading ke alamat email, aku malah masuk ke akun rahasiamu itu. Kau lupa log out kawan,” jelasnya dengan wajah semringah. Terlihat senang memojokkanku. “Ah, sudahlah Pak Sudiran, bilang saja kalau kau menyukaiku.”

Entah apa yang harus kukatakan. Tapi sudahlah. Mungkin baiknya aku diperangkap begini. Sudah waktunya aku keluar dari dunia fiksi.

“Ok. Aku akan mengaku jika aku menyukaimu. Tapi kau tak ada niat dengan Arif kan?” tuturku penuh kepasrahan saat keberanianku pulih.

Kau hanya terdiam. Menatapku dalam-dalam, kemudian tertawa lepas. “Kau sudah mengakuinya!” 

Kulihat, kau tertawa sambil terharu. Seperti sangat bahagia. 

Mewarisi Penjajah

Haruskah lebih baik bungkam?
Ayat-ayat dimonopoli yang bertahta
Mereka bersandiwara di balik gedung
Di sana, sila-sila sekadar dihafal
Alinea cita bangsa sebatas bacaan rutin
Indonesia Raya tak dihayati
Keadilan digilas palu sidang
Lalu, adakah arti jujur tentang kebenaran?
Bergerak, disel
Berteriak, diancam senjata
Bertutur sopan, tak digubris
Diam, dimata-matai
Lalu siapa yang merdeka?
Bukan kita!
Hanya segelintir yang tak bernurani
Maka berhentilah berharap
Retorika kotor pemegang kuasa itu tak berguna
Tak perlu segan dan hormat
Mereka hanya penipu berdasi
Pewaris kuasa para penjajah
Lalu apa?
Rebut!

Terpenjara Dosa

Tak ada yang tahu ceritanya, kecuali dirinya sendiri, Akri. Dia tentu tak akan menceritakannya. Sekadar disimpan dalam benaknya. Bukan berarti tak mau berbagi pelajaran hidup, tapi cerita itu menyangkut nama baik keluarganya. Menceritakan aib itu pada khalayak akan membuatnya disudutkan dan dicaci. Bahkan kekuasaan yang digenggamnya bisa dicabut. Ia bertekad, cerita itu cukup dirahasiakan dan menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.

Akri sebelumnya hidup dalam keluarga dengan daya perekonomian yang pas-pasan. Kesederhanaan sebagai kunci kebahagian adalah prinsip hidup orang tuanya. Wejangan turun temurun itu diwariskan para pendahulu mereka. Ayahnya, Pak Bahrum, seorang  pemuka agama yang dihormati, pun senantisa menasihatnya untuk selalu bersyukur dalam kesederhanaan. Karena itu, mata pencarian keluarganya jauh dari kesan “basah”. Tak seperti yang lain, garis keturunan ke atas dari keluarga ayahnya, tak ada riwayat menjadi pejabat, apalagi dibui karena terbukti memperkaya diri sendiri dari uang haram. Bahkan ayahnya beberapa kali menolak kala diminta warga menjadi kepala desa. Keluarganya sejak dahulu kala hanya hidup dari usaha beternak dan bertani. 

Akri pun, sejak kecil, selalu menjadi kebanggaan dalam keluarga. Ia sering kali tampil di muka umum, pada acara kemasyarakatan dan keagamaan. Banyak yang menafsir, ia akan mewarisi citra ayahnya yang kharismatik. Keadaan itu membuatnya sangat dielu-elukan dalam keluarga. Lebih dibanggakan ketimbang kakak tunggalnya. Apalagi sejumlah piala perlombaan seni, olahraga, dan keagamaan berhasil ia koleksi. Tanda penghargaan itu dipajang di ruang tamu rumahnya. Benda-benda itulah yang sering dijadikan bahan perbincangan oleh ibunya kala tamu-tamu bertandang ke rumahnya. Memamerkannya. 

Rekam jejak kehidupan Akri seperti tanpa cacat. Ia tampak alim dan cerdas. Tak pelak, ia menjadi panutan yang senantiasa didengar pendapatnya untuk menyelesaikan persoalan masyarakat kampung. Apalagi ia memang bagian dari segelintir anak kampung yang pernah mencicipi bangku kuliah. Ia berhasil meraih gelar sarjana di bidang disiplin ilmu agama. Padahal kebanyakan pemuda di desanya memilih putus sekolah dan hidup sebebas-bebasnya. Warga kampung memang senang anak-anaknya membantu bertani atau beternak daripada pergi ke sekolah. Pola pikir itu tak dianut Pak Bahrum. Ia sangat memerhatikan pendidikan anaknya, terutama untuk mendalami ilmu agama. Akhirnya, Akri pun mengenyam pendidikan formal agama sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 

Belakangan, pandangan hidup Akri tentang kehidupan berubah. Gejalanya mulai terjadi setelah ia menikah empat tahun lalu, dan memiliki tiga orang anak. Sejak itu, keluarga kecilnya hidup di sebuah rumah, terpisah dari perkampungan. Rumah itu pun kini terlihat semakin mewah. Segala pernak-pernik dibelinya dari keuntungan bisnis penjulan ternak yang ia rintis setelah menikah. Yang lebih mencengangkan, ia bertekad maju dalam pemilihan kepala desa yang tak lama lagi akan dilangsungkan. 

Bermodal citra yang baik, nama Akri mencuat sebagai calon yang tak dapat dipandang sebelah mata. Ia mendapat dukungan dari tokoh agama yang sudah sepuh. Itu tak sulit, sebab ia sering tampil di forum keagamaan. Tak hanya itu, ia juga sering berbaur dengan semua kalangan masyarakat. Warga desa pun tahu ia berpengalaman menjadi pemimpin. Ia pernah menjadi ketua OSIS di sekolah, bahkan menjadi presiden BEM saat kuliah. Dialah satu-satunya anak kampung yang fotonya pernah terpampang di surat kabar nasional. Foto itu tentu telah dibingkai ibunya dan dipajang di ruang tamu rumah orang tuanya dahulu. Di sisi lain, calon petahana yang masih bernafsu berkuasa, sepeti sebelumnya, besar kemungkinan tetap akan menjabat untuk periode ketiganya. Ia terkenal mampu menggaet hati para pemuda desa. 

“Ayah, aku bertekad maju sebagai calon kepala desa,” tutur Akri kepada ayahnya di satu malam. “Aku tahu ayah punya banyak pertimbangan. Tapi jika berhasil menang, aku akan memperbaiki perilaku masyarakat di desa ini. Aku minta restu Ayah.” 

Ayahnya tercengang. Ia tak pernah menduga Akri punya hasrat untuk menjadi pemimpin masyarakat. “Aku tak pernah melarangmu menjadi pemimpin Nak. Kamu bebas berpikir dan mengambil keputusan yang berbeda denganku, asalkan itu demi kebaikan. Terserah kamu saja. Yang pasti, ayah tak ingin kau buta demi kekuasaan. Melakukan segala cara untuk bertahta. Ingatlah bahwa untuk tujuan yang baik, gapailah dengan cara yang baik pula. Tak ada gunanya melawan kemungkaran dengan cara yang mungkar. Sudah seharusnya kita belajar dari prosesi pemilihan kepala desa sebelumnya, bahwa dosa itu memenjarakan nurani, membuat kita sulit berbuat baik,” pesan ayahnya dengan begitu khidmat.

Malam pun berlalu dengan sejuta harapan, yang sesungguhnya berbeda di antara mereka.

Beberapa hari berlalu, pada pagi-pagi buta, berkumpullah orang-orang di salah satu rumah warga desa. Seekor kambing tetangga samping rumah ayah Akri, Pak Burhan, raib. Diduga bukan karena kabur, tetapi hilang dicuri. Gembok pintunya rusak. Diduga keras, para pelaku adalah warga desa sendiri, seperti pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Pencurian ternak memang sering terjadi di desa itu. Para pemuda kampung yang pemabuk dan pemadat, akan melakukan segala cara untuk mendapatkan barang haram.

Penasaran, Pak Burhan pun segera memeriksa kandang kambing di belakang rumahnya. Ia begitu kaget. Seekor kambingnya juga hilang.

 “Bapak bersyukur, Akri membawa kambing bapak semalam. Seandainya tidak, pasti hilang kecuri juga. Apalagi pintu kandang kambing Bapak hanya dililit tali,” tutur salah seorang kepala dusun kepada Pak Burhan, Pak Timan, yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Jadi kambing saya di bawa Akri?” tanyanya penasaran. 

“Iya Pak. Semalam aku berpapasan dengan Akri sepulang mengecek pagar ladang jagungku. Katanya, kambing itu mau dibawanya ke ladang belakang rumahnya. Di sana banyak rumput katanya Pak. Dia bilang pagi ini kambing itu akan dikembalikan ke kandangnya. Memang Akri tak bilang ke Bapak?” tanya balik Pak Timan, heran.

Pak Bahrum tersentak. Ia pun menyadari kenapa sedari tadi warga kampung tak prihatin kambingnya hilang, malah ramai memerhatikan kandang kambing tetangga sebelah. “Jadi? Ah, syukurlah kalau begitu,” balas Pak Bahrum, tanpa menjawab tanya. 

Beberapa menit berselang, datanglah Akri bersama seekor kambing peliharaan ayahnya.

“Maaf Ayah. Semalam, aku membawa kambing ini. Rumput di belakang rumahku lebat. Kasian kambingnya tambah kurus begini.” Akri mendahului pembicaraan sesampainya di depan sang Ayah.

“Iya. Tak mengapa. Pak Timin sudah cerita padaku. Untunglah kau membawanya,” balas Pak Bahrum sembari tersenyum bangga pada anaknya itu.

Pagi itu pun berlalu dengan kejutan. Seharusnya dipertanyakan, tapi tidak.

Keesokan harinya, datanglah hari saat pemilihan kepala desa dilangsungkan. Hasilnya begitu mengejutkan ayahnya. Akri mengalahkan si calon petahana yang telah menjabat dua periode. Sebuah kejadian yang tak pernah disangka orang-orang tua kampung. Apalagi pada pemilihan kepala desa sebelum-sebelumnya, calon lain yang tampak cerdas dan alim, selalu ditumbangkan sang petahana. Tak ada yang menyangka, penduduk desa yang terjangkit penyakit sosial akut, bersedia memilih Akri sebagai kepala desa. 

Lama setelah menjabat sebagai kepala desa, kehidupan kampung ternyata tak menjadi lebih baik. Aksi pencurian dan mabuk-mabukan pemuda desa, semakin saja menjadi-jadi. Akri seperti tak punya daya untuk memberantas perilaku menyimpang itu. Kini, warga desa yang masih waras kembali mengungkit-ungkit tentang kejadian pencurian kambing tempo hari. Terlebih, beredar kabar jika setelah itu, malam sebelum pemilihan pemilihan, sebuah pesta diadakan sembunyi-sembunyi di rumah Akri. Malam itu menjadi sangat indah bagi pemuda desa yang menyukai pesta terlarang. Pesta yang tentu mereka rindukan hari-hari setelahnya.

Awan 2 Februari

Keakraban kita bermula pada perkemahan di sebuah bukit. Hari Minggu saat itu, bertepatan dengan tanggal 2 Februari. Bersama teman seorganisasi kita yang telah wisuda, diselenggarakanlah sebuah perkemahan sebagai prosesi perpisahan sebelum semua bercerai-berai. Ada juga pengurus yang turut. Jumlah semuanya 25 orang. 

Di hari kedua perkemahan, pada sore hari, kau terlihat murung sendiri di bawah sebuah pohon. Aku tak tahu apa yang merisaukanmu. Masalahmu sepertinya pelik sehingga kau tak berselera turut bercengkrama. Sedari tadi, kau hanya memandang jauh. Memerhatikan deretan rumah di bawah lembah atau menengadah memadang awan. 

Aku merasa iba dan bertanya-tanya tentang perasaanmu. Namun, aku tak punya nyali untuk sekadar menghampirimu. Kau terkenal cuek dan galak dengan lawan jenis. Tapi mau tak mau, aku yang harus menghadapimu. Di antara teman-teman kita, tak ada yang nyaman mengobrol denganmu selain aku. Semuanya kapok sebab responsmu tak mengasyikkan. Kau tak suka becanda. Mereka pun jadi takut galakmu. Apalagi yang telah kau tandai gemar mengejek mata sipit, rambut keriting, dan hidung pesekmu. 

Terus terang, aku heran pada semua orang yang buta dan tak melihat betapa indahnya struktur wajahmu. Kepekaan seni mereka sepertinya tumpul untuk menyadari keindahan sesungguhnya. Tapi keganjilan itu adalah kesyukuran bagiku, sebab hanya aku yang mengidolakanmu. Tak ada pesaing bagiku untuk mendapatkan perhatianmu. Namun tidak semua juga. Kau pasti tak tahu kalau teman baikku di kelas lain dahulu, mengidamkanmu. Dialah yang pernah mengirimimu rangkaian kata-kata selangit secara sembunyi-sembunyi, beberapa kali, melalui bantuanku. Akhirnya, karena takut kau ditaklukkan olehnya, perasaanku pun mulai tumbuh, hingga memuncak.

“Risti, kau tak apa-apa kan?” tanyaku selembut mungkin. Berselang lima detik, kau tak juga bertutur. “Ayo gabung dengan teman-teman lain. Mereka pasti khawatir jika kau menyendiri begini.”

“Apa benar kita dapat membentuk langit serupa bentuk hati hanya dengan berharap dan menatapnya lama-lama?” tanyamu, lalu berbalik menatapku dengan wajah yang tak tampak menyiratkan kesedihan. Tatapan tajammu menghangatkan batinku. “Kau juga percaya dengan kekuatan hati kan? Kamu tahu maksudku?”

Aku menjadi tak mengerti kenapa sampai kau bertanya aneh seperti itu. Mungkin benar kata teman-teman lain, bahwa kau mulai tak waras belakangan ingin. Pastilah persoalan asmara yang mengacaukan logikamu. Padahal tak ada yang meragukan kecerdasanmu, terutama dalam bidang ilmu pasti. “Entahlah. Aku tak tahu. Mungkin bisa terjadi jika kau mampu mengendalikan angin.”

Kau lantas berbalik, lalu mendongak lagi ke atas langit. “Perempuan sepertiku pantasnya jadi awan. Aku sabar menunggu seorang pengendali angin datang, lalu membentuk awan itu menjadi bentuk hati,” tuturmu, semakin mengawang-awang.

“Mudah-mudahan saja. Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, cerita saja padaku,” tawarku, lalu melangkah beranjak darimu.

“Arka, lihat, awannya mulai berbentuk hati. Kamu lihat kan?” tunjukmu pada satu arah. Kau berdiri sambil beberapa kali berbalik, mengajakku. “Pasti kau yang mengendalikan anginnya.”

“Kau bisa saja. Mungkin angin mengasihanimu menunggu dari tadi,” balas sembari tersenyum sepintas padamu.

Kau menoleh kepadaku, di samping kananmu. Menatapku dengan raut wajah yang riang. “Aku memang telah menunggu sejak lama.”

Benar saja, sore itu, kita menikmati awan berbentuk hati yang berarak jauh di sana. Itulah momen pertama tentang awan di tanggal 2 Februari. Tak akan aku lupakan. 

Hari berganti setelah kejadian itu, kita tak lagi saling bertemu ataupun memberi kabar. Sampai suatu hari kau mengimkanku pesan. Pertanyaanmu sangat personal. Aku akhirnya yakin, kau menyimpan kesan tentangku. Demi berdamai dengan bisikan hati, aku menyatakan perasaanku berselang beberapa menit setelah kita bertukar pesan hari itu. Akhirnya, setahun setelah kita menyaksikan awan bentuk hati, kita pun menikah. Pernikahan kita tepat tanggal 2 Februari.

Tak terduga, hubungan keluarga kita ternyata tak berjalan harmonis. Membinan rumah tangga ternyata tak seindah membaca puisi. Pernikahan kita baru setahun berlalu, tapi kau terasa menjauh dariku. Kau berubah temperamental. Meski begitu, aku tak sedikitpun hendak membalasmu dengan kemarahan juga. Puncaknya seminggu sebelum tanggal 2 Februari, enam hari sebelum keberangkatanku ke pulau lain untuk mengurus pekerjaan kantor. 

“Maafkan aku Arka. Dulu, ada sosok yang aku angankan. Entah siapa. Tapi kau tak sepertinya. Tak sepeduli dan seromantis dirinya,” tuturmu padaku setelah beberapa hari memilih diam. Kau terlihat pucat.

Aku tentu merasa terpukul mendengar itu. Tapi aku tak menyalahkanmu. Kutahu betul, kesenanganmu pada awan memang bukan karenaku. Ada seseorang yang dulu menginginkanmu. Kuyakin, dialah alasanmu mengagumi awan. Ternyata memang benar bahwa memiliki raga belum tentu mengusai jiwa. Masa lalu memiliki sisi kejam yang terus menghantui masa depan. Aku tak memiliki masa lalumu. Tak mungkin juga memaksamu menghapusnya. “Tak apa-apa. Kau tak usah meminta maaf. Aku paham keadaanmu sekarang. Pergilah kemanapun kau mau. Jika kau suatu saat ingin kembali, kembalilah. Tapi jika kau memilih menyusul lelaki idamanmu dahulu, aku tak mengapa,” balasku.

Pagi itu, kau pun pergi. Entah ke mana. Mungkin kau ke rumah orang tuamu di kampung. Kuharap kau baik-baik saja.

Hari berganti. Datanglah 2 Februari. Tugas kantorku ternyata dibatalkan. Aku tak jadi ke luar kota. Dengan seorang diri, aku menyusuri rerumputan menuju bukit tempat kita dahulu melihat awan berbentuk hati. Aku ingin mengenang masa-masa itu sembari merefleksikan sikapku padamu.

Betapa kegetnya kurasa. Seperti dua tahun lalu, kau menyendiri di bawah sebuah pohon sambil memandangi langit. Menyadari kehadiranku, kau tampak heran. Mata sipitmu menyorot ke arahku. Sontak, kau pun berbalik badan, berlari mendekat, lalu memelukku. 

“Selamat hari pernikahan kita,” tuturmu sambil terisak.

Aku jadi tak mengerti apa maksud semua kejadian ini.

“Aku mencintaimu sejak dulu. Aku mohon, jangan tinggalkan aku sampai kapanpun. Aku ingin kau tetap menjadi angin untukku, seperti yang pernah kau tuliskan: Aku angin, dan kau awan. Tunggulah kutiup kau jadi bentuk hatiku.

Terus terang, seingatku, tak sekalipun aku menuliskan untaian kata itu. Kuduga, temanku yang mengidamkanmu dahulu adalah pemiliknya. Jika benar begitu, aku berarti orang yang seharusnya tak kau cintai. Awan itu bukan tentang kita. Sekarang, entah harus kuapakan perasaanku tentang awan 2 Februari, apakah harus kucintai, kubenci, atau pura-pura mencintainya demi hubungan kita?

Semasih pelukan kita bercengkraman erat, awan dua Februari terulang lagi. Bentuk hatinya kini lebih besar. 

“Hei, lihatlah di sana. Aku baru saja membentuknya untukmu,” seruku.

Kau pun menolehnya sambil tersenyum bahagia.