Selasa, 08 Maret 2016

LGBT dan HAM

Persoalan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) masih menjadi polemik di media massa. Pemicunya adalah maraknya kekerasan seksual terhadap anak, pelarangan diskusi tentang LGBT di sejumlah kampus, hingga terendusnya gelontoran dana sebesar Rp. 107,8 miliar dari UNDP (United Nations Development Programme) untuk kampanye LGBT di Indonesia dan tiga negara Asia lainnya.
 
Permasalahan LGBT akhirnya menimbulkan pertentangan pendapat, antara pihak pro dan kontra. Pendukung LGBT menggunakan dalil HAM (Hak Asasi Manusia), sedangkan yang menolak menggunakan dalil moral maupun agama. Kaum ataupun simpatisan LGBT menyatakan bahwa orientasi seksual adalah HAM. Di sisi lain, pihak kontra, terutama kaum agamais, menilai LGBT sebagai penyimpangan dari fitrah manusia, dan tidak masuk dalam konsepsi HAM.

Dijadikannya konsep HAM sebagai dasar argumentasi para simpatisan LGBT, tentu tidak bisa dihindari. Kaum LGBT adalah manusia pada umumnya, yang tentu punya hak-hak mendasar yang perlu dihormati. Terlebih, Indonesia dalam konstitusinya, ditegaskan sebagai negara hukum, yang tujuan utamanya tentu untuk melindungi HAM yang berbasis pada hak individual. Aturan hukum pun dihadirkan untuk menjamin terpenuhinya HAM, terutama melindunginya dari pengabaian ataupun pelanggaran oleh kekuasaan negara. Kaum LGBT yang nota bene kaum minoritas, tentu membutuhkan perlindungan hukum.

Lalu apakah LGBT masuk dalam konsepsi HAM? Menjawab persoalan ini tentu tidak mudah. Untuk itu, perlu memberikan limitasi tentang bagaimana sebenarnya konsepsi HAM dalam negara hukum Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Definisi di atas dapat dijadikan rujukan dalam menelaah apakah LGBT merupakan HAM. Frasa “melekat pada hakikat manusia” tak lain menegaskan bahwa HAM tidak boleh bertentang dengan fitrah manusia. Selanjutnya, kata “anugerah-Nya”, menyiratkan makna bahwa Tuhan yang Mahasempurna menciptakan manusia secara sebaik-baiknya, termasuk menciptakannya secara berpasang-pasangan, antara laki-laki dan perempuan. Ditambah lagi frasa “demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”, yang berarti bahwa konsepsi HAM bertujuan untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya, sebagaimana kehendak Tuhan. Dengan menggunakan tafsir tekstual, maka berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM, tidak berdasar jika LGBT dianggap sebagai HAM.

Selanjutnya, muncul permasalahan lainnya, yaitu terkait konsepsi HAM secara konteksual, bahwasanya segala tidak-tanduk individu dianggang HAM selama tak merugikan atau mengganggu hak orang lain. Merujuk pada konsepsi itu, orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda (baca: kaum LGBT), berhak untuk menyalurkan hasratnya, bahkan membentuk komunitas/organisasi LGBT, selama interaksinya dilakukan tanpa ada paksaan. Jika begitu, apakah memang LGBT selayaknya diberikan hak bertindak sebebas-bebasnya, selama tak mengganggu hak orang lain?

Pembatasan kebebasan individu dalam pemenuhan HAM-nya, termasuk kaum LGBT, selayaknya tidak hanya berpatokan pada ada tidaknya hak individu orang lain yang dilanggar secara nyata. Melainkan juga melihat, apakah tindakan seseorang bersesuaian atau tidak dengan kewajiban dasarnya sebagai manusia. Penting diingat bahwa bersamaan dengan HAM, juga ada kewajiban dasar manusia. Tidak terlaksananya kewajiban dasar itu, akan membuat perlindungan dan penegakan HAM bermasalah

Mengingat, dalam banyak kasus, termasuk fenomena LGBT, memang sulit menemukan adanya ketersinggungan hak orang lain, apalagi jika perilaku kaum LGBT dilakukan tanpa dasar paksaan. Meski begitu, pelanggaran oleh kaum LGBT bukan berarti tak ada. Palanggaran itu terjadi pada hak-hak kehidupan bersama, yaitu rusaknya tatanan sosial. Tindak-tanduk LGBT yang tidak sejalan dengan agama, moral, dan etika, jelas bertentangan dengan kewajiban dasar manusia, serta melanggar hak kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Konsepsi semacam ini, jelas dianut juga oleh UU No. 39/1999 tentang HAM.   

Terkait hak berkumpul dan berserikat, tentu tak bisa dipungkiri adanya jaminan konstitusionalnya dalam UUD NRI Tahun 1945. Maka, melanggar kebebasan orang untuk membentuk perkumpulan, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstutusional. Meski begitu, bukan berarti, kebebesan berserikat itu bebas sebebas-bebasnya. Negara, dalam hal ini pemerintah, tetap memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa segala macam perkumpulan individu, dibentuk atas tujuan mulia. Perkumpulan itu tidak boleh bertentangan dengan kewajiban dasar manusia serta hak individu atau masyarakat, hukum, moral, dan kesusilaan. 

Perkumpulan kaum LGBT, dalam bentuk organisasi atau komunitas, tentu tak selayaknya dilegalkan. Hal itu karena dasar pembentukan komunitas LGBT, pada dasarnya, adalah kesamaan orientasi seksual yang menyimpang, yang berbeda dari mayoritas manusia yang sebatas heterosekual. Merujuk pada dasar dan tujuan pembentukannya, komunitas LGBT jelas bertentangan dengan hukum, moral, kesusilaan. Melegalkan perkumpulan LGBT sama halnya melegalkan perkumpulan pecandu narkoba, “pria sewaan”, atau penjudi. Perkumpulan semacam itu, meski melibatkan individu tanpa paksaan, tapi jelas merusak tatanan dan nilai-nilai kehidupan sosial.

Secara ringkas, tanpa mempersoalkan ada tidaknya sumbangsih positif perkumpulan LGBT dalam kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa pelegalannya tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. Alasannya sebab dapat menimbulkan dampak negatif secara sosial. Belum lagi jika dikaitkan dengan sejumlah fakta bahwa selama ini, kaum-kaum LGBT gencar melakukan kampanye di media sosial dengan menyuguhkan gambar-gambar tak senonoh. Dipastikan, kampanyenya akan semakin semarak jika nantinya LGBT diakui sebagai HAM, dilegalkan, hingga diberikan hak untuk berserikat secara terbuka. 

Berangkat dari uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa mendasarkan argumentasi pada konsepsi HAM untuk mendukung kaum LGBT, tidaklah tepat, baik untuk perilakunya secara individual, intrapersonal, maupun dalam membentuk perkumpulan. LGBT adalah sebuah penyimpangan dari kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu pria dan wanita. Konsepsi itu jelas dianut oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 undang-undang tersebut, hanya antara  pria dan wanita. Dengan begitu, perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia.

Keberadaaan LGBT sebagai fenomena, memang tak bisa dihindari. Meski begitu, mendukung, atau setidaknya membenarkan tindakan menyimpang tersebut adalah sebuah keliruan. Melegalkan segala tindak-tanduk yang didasari paham LGBT, tidak boleh terjadi di negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keberadaban. Negara ini, dengan instrumen hukumnya, harus menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM, bukan malah sebaliknya. Hukum tak boleh lepas dari nilai-nilai keberadaban. Produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, tidak bersifat otonom, tetapi senantiasa bersesuaian dengan akal sehat dan fitrah manusia. Hukum ada untuk melindungi harkat dan martabat kemanusiaan.

Lalu bagaimana menyikapi kaum LGBT? Pada dasarnya mudah saja, sebab yang menjadi titik permasalahan hanyalah pada perbedaan orientasi seksual, dan turunannya. Aspek itulah yang perlu diwanti-wanti. Namun pada persoalan lain, yaitu bahwa penganut LGBT adalah manusia dan warga negara seperti pada umumnya, maka sama sekali tidak ada alasan untuk membolehkan diskriminasi terhadap mereka, sebagaimana perintah Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hak-hak mereka, semisal hak untuk hidup, bebas dari siksaan dan rasa takut, kebebasan turut dalam organisasi sosial, maupun hak atas pekerjaan, harus dijamin perlindungan dan pemenuhannya. 

Mengingat dampak negatif LGBT, maka seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah, harus proaktif dalam memberikan proteksi kepada segenap warga negara atas penyebaran “virus” menyimpang LGBT. Langkah itu harus dibarengi bimbingan hingga pengobatan kepada para kaum LGBT agar bisa kembali pada orientasi seksual yang semestinya. LGBT adalah penyimpangan, maka pasti ada cara untuk mengembalikannya pada jalan yang semestinya, baik dengan pendekatan psikologis maupun biologis. Upaya tersebut harus dilakukan secara manusiawi, bukan dengan cara-cara kebencian dan kekerasan. Sebab, cinta yang sesungguhnya adalah ketika mencintai keburukan untuk mengajaknya kembali pada kebaikan, bukan malah memusuhinya sehingga tertutup kemungkinan baginya kembali pada jalan yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar