Sabtu, 28 Mei 2016

Hujan Terakhir

Didi adalah seorang kakak yang bertanggung jawab. Ia menyadari kedudukannya sebagai anak sulung dari seorang adik bungsu. Apalagi setelah ibunya meninggal enam tahun lalu, dan ayahnya pergi merantau ke negeri seberang, ia terpaksa menjadi pemimpin rumah tangga. Meski begitu, ia tak pernah bersikap otoriter terhadap adiknya. 


Seperti hari-hari sebelumnya, Didi telah terbiasa bangun pagi lebih awal. Ia harus berangkat ke kios milik pamannya. Menjadi pramuniaga bahan bangunan demi memenuhi kebutuhan hidup. Dalam seminggu, ia menjaga toko pamannya selama tiga hari, Senin, Rabu, dan Sabtu. Sang adik, kebagian tugas di hari minggu, kala libur sekolah.
Didi memang telah berstatus mahasiswa dengan waktu yang longgar, sedangkan sang adik masih kelas tiga SMA dan tengah sibuk-sibuknya les sore untuk mengadapi ujian nasional. Padahal, dalam hitungan tahun, umur mereka sebenarnya sama. Dahulu, masalah biaya perlengkapan sekolahlah yang membuat sang adik menganggur setahun sebelum masuk sekolah.
Kesamaan umur tak membuat Didi menuntut tanggung jawab dan hak yang sama dengan adiknya. Ia tetap merasa wajib mengayomi, termasuk berupaya memperoleh pasokan dana lebih dengan tekun menjaga toko sang paman. Apalagi, ada sesuatu yang membuat Didi semakin bersemangat berada di toko. Baru seminggu yang lalu, ia menyadari ada sosok wanita cantik yang kerap menunggu bus di depan toko pamannya. Wanita itu tampaknya mahasiswa, sama sepertinya.
Sosok wanita itu dirasa Didi sangat memikatnya. Selain cantik, ia juga tak pelit melempar senyuman. Tapi jalan buntu tetap membentang luas. Sejak dulu, Didi tak berani tampil gagah di hadapan lawan jenis. Si wanita pun, sepertinya pendiam. Akhirnya, mereka hanya memendam kesan masing-masing. Imbasnya, selama dua minggu, enam hari sudah mereka berpapasan. Tapi, tak sekali pun mereka berbalas kata.
Cerita hari ini berbeda. Tepat di Senin pagi, hujan deras disertai angin kencang, turun. Suasana pun berubah menjadi dingin, sedingin perasaan Didi. Ia hanya bisa memandangi idamannya di balik kaca jendela toko yang berembun. Wanita itu sedari tadi berdiri mematung, menunggu bus datang.
Dalam hatinya, Didi berdoa agar bus segera muncul dan melenyapakan sosok wanita itu segera. Ia takut dicap sebagai lelaki yang tak berperasaan. Tak perhatian terhadap seorang wanita yang tengah terjebak hujan dan kedinginan. Tapi doanya seperti lebur ditindih butiran hujan. Terpaksa, kelaki-lakiannya menyeruat. Mau tak mau, ia harus berani menawarkan perhatian, demi harga diri sebagai lelaki.
Didi berdeham. Mencoba memberi tanda pada si wanita bahwa ia akan memulai percakapan. Si wanita hanya menoleh sejenak, tersenyum sebisanya, lalu berpaling darinya.
“Langit sangat gelap. Dingin sekali. Ayo masuk ke dalam,” tutur Didi. Ia berusaha tampak percaya diri. Ia menyembunyikan kedua tangannya yang gemetaran di balik saku jaket. “Angin juga kencang. Lama-lama, kau kebasahan jika di sini terus.”
Si wanita menoleh ke langit. Ia mencoba memastikan apa benar keganasan hujan masih lama, dan masuk ke ruangan adalah tawaran yang patut dipertimbangkan. Tapi ia menolaknya, meski kata-kata Didi memang benar. “Iya, terima kasih. Aku di sini saja. Jika jam segini, biasanya bus akan segera datang. Aku takut ketinggalan,” balasnya.
“Tapi kan menunggunya bisa di dalam saja. Nanti pas lewat, biar aku yang menahannya,” tawar Didi.
Si wanita manis itu, tampak tersipu. Jelas ia tersanjung. “Tak usah. Aku buru-buru. Tidak lama lagi, jam delapan. Ujian tengah semesterku akan dimulai. Aku tak boleh lengah memerhatikan bus,” tolaknya lagi.
Didi melihat jam tangannya. “Sekarang sudah hampir jam delapan. Oh iya, aku dengar-dengar, bus jurusan ke kampusmu tak beroperasi hari ini. Katanya sih, para sopir berunjuk rasa. Mereka meminta kenaikan upah. Bagaimana kalau aku mengantarmu saja ke kampus?” tawar Didi, sambil menunjuk dan menoleh ke arah motor miliknya. Sebenarnya, ia hanya mengarang cerita tentang demontrasi itu.
“Tapi…. Tak usah,” balas Rina.
“Ah, sudah. Jangan sungkan. Katanya kamu ada ujian. Aku orang baik-baik kok. Kamu percaya kan?” tutur Didi, sambil menatap si pujaan. Ia berusaha menampakkan mimik sebersahabat mungkin. Saat ini, ia masih segan-segan melemparkan senyuman.
Wanita itu tak bisa menahan tawa kecilnya.
Kedua insan itu pun akhirnya pergi di bawah guyuran hujan. Berlindung di balik jas hujan yang menghangatkan, sehangat perasaan mereka yang mendalam. Dalam diam, mereka berbicara dari hati ke hati. Bertanya-tanya tentang tanggapan yang lain terhadap diri sendiri. Didi berharap pengorbanannya akan teringat abadi di benak si pujaan. Sedangkan si wanita berharap pengorbanan itu bukan hanya karena rasa kasihan. Mereka saling berharap lebih.
Di tengah hujan, mereka hanya terdiam. Hujan deras membuat suasana tak nyaman untuk mengobrol. Sekeras apa pun suara, pasti teredam nyanyian hujan yang menderu. Apalagi, dengan segala rintangan, Didi memang harusnya fokus mengendarai motor. Tanggung jawabnya tinggi untuk menjaga keselamatan wanita yang baru dikenalnya. Apalagi, ia yang menawarkan bantuan. Akhirnya, waktu berlalu tanpa saling bertanya, termasuk tentang nama.
Dan, sesi perkenalan, tak akan pernah terjadi. Perpisahan yang berkesan juga, tak mungkin. Ban motor Didi selip. Motornya terjatuh. Ia pun terhempas jauh. Di balik butiran hujan, mata sang pujaan, menatapnya sayup-sayup tergolek tak berdaya di samping jalan. Sampai akhirnya, Didi lenyap di balik kerumunan orang-orang. Dan, itulah akhir pertemuan mereka.
Peristiwa itu adalah perpisahan yang tak diinginkan. Tapi pertemuan mereka masih mungkin terjadi. Keduanya ditakdirkan masih bernyawa. Wanita pujaan Didi lebih beruntung. Lututnya hanya lebam, serta sikunya tergores aspal dan berdarah. Sedangkan Didi mengalami luka yang cukup berat. Kepalanya terbentur di trotoar jalan. Keras.
***
Seminggu setelah kejadian kecelakaan, Wanita pujaan Didi, kembali memulai harinya sebagai seorang mahasiswa. Namanya Rina. Hari ini, ia berangkat ke kampus. Seperti biasa, ia akan menunggu bus di depan toko yang dijaga Didi dahulu. Tapi kali ini, ia sadar Didi tak mungkin di sana. Namun setidaknya, ia masih bisa mengingat kesan menegangkan kala mereka saling melempar senyuman.
Seperti biasa, Rina akan menghabiaskan lama waktunya untuk menunggu bus. Selain karena bus sering datang tak tepat waktu, tentu juga untuk mencuri pandangan si lelaki pemalu, Didi. Dan ternyata, hari ini, sepertinya ia masih bisa melakukannya. Ada sosok seperti Didi di balik kaca jendela toko. Ia pun mencoba mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha meyakinkan diri kalau itu bukanlah tipuan matanya sendiri.
Rina pun menghampiri sosok yang tengah merapikan barang jualan itu.
“Hai, bagaimana kabarmu?” tanya Rina segera. Raut wajahnya berat untuk tersenyum lepas. Perasaannya masih campur aduk, antara yakin ini kenyataan atau tidak.
“Maksudmu?” lelaki itu balik bertanya. Mimiknya jelas agak berbeda dengan Didi.
Wajah Rina balik tanpa ekspresi. Ia merasa ada yang ganjil. Didi dikiranya, tak lagi mengenal dirinya. Ia menduga, ada sesuatu yang terjadi dengan ingatan Didi pasca kecelakaan.
“Namaku Rina. Kita belum sempat berkenalan,” tuturnya.
Lelaki itu hanya melongo. Lupa memperkenalkan dirinya kembali. Ia masih heran, bagaimana bisa, ada seorang wanita begitu lancang pada lawan jenis, dan sok akrab.
Suasana menjadi lengang. Kaku. Mereka terdiam beberapa detik.
“Terima kasih atas kebaikanmu di hari kemarin. Kamu masih ingat kan?” tutur Rina. Ia mencoba mengingatkan tentang peristiwa kecelakaan itu.
“Maaf. Aku tak tahu maksudmu.” Lelaki itu membalas dengan sikap yang polos, tanpa ekspresi.
Rina menjadi semakin bingung. Dugaan menakutkan di benaknya, diyanininya benar-benar terjadi. Didi amnesia.
“Tak mengapa. Maaf memaksamu untuk mengingat-ingat peristiwa itu. Aku harap kau baik-baik saja,” balasnya.
Segera, Rina pun berpamitan. Pergi meninggalkan toko kenangannya. Ia berlalu di balik kesedihan. Butiran hujan jatuh hampir bersamaan dengan tetesan air matanya. Akhirnya, ia lenyap di balik bus yang kali ini datang tepat waktu.
Lama-lama emosi Rina kembali stabil. Ia tak lagi mempermasalahkan jika sosok yang diyakininya sebagai Didi, telah melupakan awal cerita mereka. Kalau pun sosok pujaannya melupakan semua kenangannya, bisa jadi sebuah keuntungan. Itu berarti, tak ada sesosok wanita pun di benak lelaki itu. Hanya dirinya. Ia hanya perlu menggoreskan kesan-kesan baru di memori sang pujaan.
***
Waktu cepat berlalu. Didit kini semakin dewasa, sama seperti kakaknya, Didi. Ia pun mulai berhasrat untuk memiliki hubungan special dengan seorang lawan jenis. Belakangan, ia pun semakin dekat dengan seorang wanita. Namanya Rina. Wanita itu dirasa aneh oleh Didit. Tapi ia menyukainya. Mereka berkenalan di toko milik pamannya lebih sebulan yang lalu
Sampailah waktunya, Didit hendak memperkenalkan Rina kepada kakaknya sendiri, Didi. Sang kakak, memang selalu suka mempertanyakan perihal keseharian Didit, termasuk bagaimana keadaan toko paman mereka. Sebagai saudara kembar, mereka memang dekat secara emosional. Apalagi setelah mata Didi tak mampu lagi melihat setelah kecelakaan yang dialaminya. Hanya Diditlah tempat Didi memperoleh gambaran tentang dunia luar.
Saat mereka tengah bersantai di ruang keluarga selepas makan malam, Didit memulai percakapan.
“Kak, aku lagi dekat dengan seorang wanita. Aku kagum padanya. Dia wanita yang cantik, baik pula,” tutur Didit, sambil senyum-senyum sendiri. “Kalau kakak tahu bagaimana menariknya dia, pasti kakak juga mendambakannya. Bisa-bisa, kita bertengkar gara-gara dia.”
Didi hanya tersenyum mendengarkan gelitikan adiknya yang kasmaran. “Kamu bisa saja. Tapi jika saja aku bisa melihatnya, mungkin dugaanmu benar. Dan kau pasti celaka. Sebagai adik, kau harus mengalah padaku,” candanya.
Mereka berdua pun tertawa lepas beberapa saat.
“Semoga ayah segera pulang. Aku ingin menjalin hubungan yang serius dengan wanita itu. Kakak tak keberatan kan kalau aku…?” Didit tak kuasa melanjutkan ucapannya.
“Iya. Tak mengapa. Tak ada larangan seorang adik mendahului kakaknya menikah. Entah kapanlah kau akan menikah jika aku harus mendahuluimu. Kau tahu sendiri keadaanku sekarang,” tutur Didi.
Didit jadi terharu. Ia merasa bersalah mengarahkan pembahasan pada keadaan diri sang kakak. Ia jadi tak kuasa menahan keharuannya. Tapi ia berusaha tak membuat suasana menjadi penuh kesedihan.
“Kakak tak usah khawatir, jodoh kan di tangan Tuhan. Kakak sendiri yang pernah meyakinkanku bahwa orang seperti kita, yang hidup serba sederhana, berhak juga atas cinta yang luar biasa. Itu karena tuhan yang Maha Adil, telah menetapkannya,” tutur Didit..
Lengang lagi. Hujan di luar semakin deras sejak tadi pagi. Keadaan itu menimbulkan kesan yang berbeda bagi Didi. Ia merenungkan, andai saja hujan waktu itu tak menjadi sebuah perpisahan, wajar jika ia berharap memiliki wanita pujaannya, sama seperti sang adik.
Keheningan pun menyelimuti beranda rumah mereka yang sederhana. Angan-angan tentang masa depan mereka, membuat suasana menjadi semakin dingin.
Berselang beberapa detik, mata Didit terpaku pada keranjang plastik yang dibawa sang kakak dari toko. Isinya memang masih seperti biasa. Di dalamnya ada makanan siap saji dan bahan makanan lain yang siap diracik Didit. Tapi jas hujan yang tergeletak di atas bahan itu, menimbulkan tanya di benak Didit. Itulah jas miliknya yang kata sang kakak, telah hilang. Lenyap bersama wanita yang dibonceng Didi saat kecelakaan terjadi. Wanita itulah yang mengenakannya. Wanita yang entah siapa dan di mana saat ini, Didi tak tahu..
“Kakak dapat jas hujanku dari mana? Bukankah ini jas yang kata kakak telah hilang dipakai wanita yang kakak bonceng dulu?” tanya Didit segera.
“Apa?” tanya Didit, setengah kaget. “Kamu pasti salah lihat. Itukan jas punyaku. Punyamu kan sudah kubilang hilang. Aku sudah minta maaf untuk itu”
“Tidak kak. Jas punya kakak digantung di teras. Ini memang punyaku. Warna punya kita kan beda,” tegas Didit. Ia lalu membalik-balik jas itu. “Ini, ada namaku. Jelas ini punyaku kak.”
Didit jadi berpikir berat. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian saat berada di toko pamannya siang tadi. Ada banyak tanda-tanda ganjil di tengah hujan saat itu. Ada tapakan kaki yang mendekatinya, juga tangisan kecil yang didengarnya sejenak, lalu menghilang. Itu diyakininya punya hubungan dengan kembalinya jas hujan milik Didit. Bisa jadi itu adalah wanita pujaannya dahulu. Ia jadi menyesal telah menampakkan diri di toko penuh kenangan itu.
“Kakak kok diam saja?” tanya Didit.
“Kau tahu keadaanku kan?” balas Didi. Suaranya meninggi. Ia terdiam sejenak, menenangkan dirinya, lalu melanjutkan perkataannya. “Aku tak tahu datangnya dari mana. Mungkin saja wanita yang dahulu kumaksud, memasukkannya ke keranjang tanpa kutahu. Entahlah.”
Untuk kesekian kalinya, Didit menyalahkan dirinya, telah bertanya sesuatu yang menjurus pada peristiwa kelam yang dialami sang kakak. Kini, ia tak ingin bertanya lagi.
***
Hari berganti, Rina pun menghilang entah ke mana. Didit tak mengetahui keberadaannya. Wanita itu menghilang bertepatan dengan hari kembalinya jas hujan miliknya. Tapi tak ada yang mengerti hubungannya. Tidak juga Didit, tidak juga Didi.
Musim hujan pun telah berlalu. Mereka berdua mencoba melupakan kenangan pahitnya masing-masing. Sebuah cerita masa lalu yang saling berhubungan. Mereka berharap, butiran hujan akan berjatuhan kembali saat luka tentang kenangan itu, benar-benar telah mengering.

Perpu Bukan Solusi Kekerasan Seksual

Belakangan, kasus kekerasan seksual yang mencuat di media semakin marak dan sadis. Taruhlah, kekerasan seksual yang menimpa Yuyun dan Eno Parihah. Kenyataan itu ditanggapi presiden dengan “keras”. Tepat hari Rabu, 25 Mei 2016, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disahkan Presiden. Perpu tersebut pada dasarnya menambah beban pidana bagi para pelaku kejahatan seksual, yaitu dengan adanya penambahan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan tertentu. 


Sanksi pidana untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak selama ini, dirasa tidak terlalu memberikan efek jera. Permasalahan itulah yang menjadi motivasi lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016. Sebelumnya, sanksi bagi setiap orang yang dengan ancaman, paksaan, atau tipu muslihat, memaksa anak (seseorang yang belum berumur 18 tahun), melakukan persetubuhan atau tindakan cabul, diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pidana penjara bagi pelaku paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit 60 juta dan paling banyak 300 juta. 

Setelah dilakukan perubahan UU No. 23 tahun 2002 dengan UU No. 35 Tahun 2014, pidana penjara minimum bagi pelaku menjadi 5 tahun, sedangkan maksimumnya tetap 15 tahun. Jika pelaku adalah orang dekat korban, maka pidana penjaranya dapat ditambah 1/3 tahun dari ancaman pidana tersebut. Selain itu, ancaman pidana dendanya juga bertambah menjadi 5 milliar. Meski begitu, UU No. 23 Tahun 2002 maupun perubahnnya, yaitu UU No. 35 Tahun 2014, belum mencantumkan sanksi pidana tambahan maupun tindakan.

Lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016, berusaha mewadahi “kekurangan” pada UU sebelumnya, yaitu terkait pemberatan sanksi pidana untuk memberika efek jera. Setiap pelaku kejahatan seksual yang dikenakan pemberatan pidana berupa penambahan pidana penjara dalam Perpu ini, diperluas -tidak hanya orang tua, wali, pengaruh anak, pendidik, dan tenaga kependidikan- hingga menyasar kepada setiap pelaku yang mempunyai hubungan keluarga dengan korban, aparat yang menangani perlindungan anak, pelaku kekerasan seksual lebih dari satu orang secara bersama sama, serta bagi residivis pelaku kekerasan seksual.

Sanksi pidana pagi pelaku akan menjadi semakin berat jika kekerasan seksual yang dilakukannya menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Bagi pelaku kekerasan seksual berupa persetubuhan sebagaimana dimaksud Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014, yang menimbulkan akibat sebagaimana dimaksud di atas, maka diancam pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Namun jika akibat tersebut hanya dampak dari kekerasan seksual berupa pencabulan sebagaimana dimaksud Pasal 76E, maka ancaman pidananya hanya ditambah 1/3.

Di luar pidana pokok tersebut, Perpu No. 1 Tahun 2016, juga mencantumkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas bagi pelaku kejahatan seksual, kecuali yang masih anak-anak. Selain itu, dicantumkan juga tindakan hukum tertentu kepada pelaku, berupa tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.

Paradigma Pemidanaan, Sempit

Lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2016 sangat jelas berangkat dari anggapan bahwa penyelesaian persoalan kekerasan seksual, harus dengan penjatuhan sanksi pidana yang berat. Pidana sekadar dilihat sebagai penghukuman dan pemberian efek jera. Itu terlihat jelas dengan adanya penambahan ancaman pidana pokok, hukuman seumur hidup, hingga hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual yang memenuhi kualifikasi tertentu. Kekerasan seksual telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa, sehingga butuh pengenaan sanksi yang luar biasa pula kepada pelaku.

Paradigma pemidanaan sempit yang digunaakan dalam Perpu tersebut, jelas bermuara sekadar memberikan kesengsaraan kepada pelaku. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, menjadi salah satu instrumen yang dinggap handal untuk membuat orang berpikir berkali-kali sebelum melakukan kekerasan seksual. Walaupun pengumuman identitas tidak berlaku untuk anak-anak, tapi sanksi semacam ini jelas mengabaikan norma yang menegaskan bahwa pelaku maupun korban asusila, berhak atas penyamaran identitasnya. Penegakan norma itu penting sebab bagaimana pun juga, pelaku tetap berhak atas masa depan. Pengumuman identitas jelas akan berdampak secara psikologis bagi pelaku, bahkan dapat menghilangkan semangat hidupnya.

Dampak serupa juga terjadi pada penjatuhan sanksi tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik. Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana kekerasan seksual. Sanksi ini jelas mengerangkeng kebebasan seseorang yang dinyatakan tanggung jawabnya impas atas tindak pidana setelah menjalani masa hukuman. Dampaknya, mantan narapidana akan kehilangan semangat hidup untuk melakukan aktivitas positif setelah dinyatakan bebas. Penerapan sanksi semacam ini, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah meragukan kinerja lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan.

Tak kalah menyentaknya adalah, adanya sanksi tindakan berupa pengebirian kimia bagi pelaku kekerasan seksual yang diputuskan pengadilan bersamaan dengan pidana pokok, dengan memuat jangka waktu pelaksanaannya. Sanksi pengebirian yang diterapkan kepada pelaku setelah menjalani pidana pokok, juga menegaskan kembali bahwa lembaga pemasyarakatan tidak dioptimalkan untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan narapidana. Belum lagi, pengebirian akan menimbulkan efek samping sebab menggunakan bahan kimia. Jika saja fungsi pemidanaan ditempatkan kembali sebagi proses memanusiakan manusia, maka pengebirian ini tentu tidak berguna, bahkan sebuah tindakan berlebihan.

Paradigma pemidanaan dalam Perpu No. 1 Tahun 2016, jelas menganggap bahwa sanksi pemidanaan menyasar pada orang/pelaku, buka pada perbuatannya. Karena itulah, tak heran jika seseorang yang telah mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dinyatakan bebas, masih dikenai tindakan hukum tertentu. Tak ada pengakuan bahwa seorang dapat berubah menjadi baik. Jika akhirnya begitu, kenapa tidak setiap pencuri juga dihilangkan potensinya untuk mencuri, semisal memborgol tangannya setelah melalui proses pemidanaan? Ataukah mulut para pelaku pemcemaran nama baik, disumpal agar tak melakukannya lagi?  Sekali lagi, pemidanaan harus menjamin bahwa manusia dikembalikan ke fitrahnya sebagai manusia yang berbudi dan berakhlak, bukan malah memvonis mereka sebagai manusia “terkutuk”.

Utamakan Pencegahan

Kejahatan, termasuk kekerasan seksual, bukanlah tindakan jasad belaka, tetapi wujud dari motivasi kejiwaan. Kekerasan seksual, sebagaimana kejahatan lain, tentu didorong oleh motovasi-motivasi yang diperoleh dari lingkungan kehidupan, hingga membentuk pola kejiwaan. Jelas, setiap orang punya potensi untuk melakukan kejahatan, selama ia masih hidup sebagai manusia. Terwujud tidaknya potensi kejahatan tersebut, tergantung pada mampu tidaknya seseorang mengendalikan dirinya.

Kekerasan seksual pada dasarnya wujud dari ketidakmampuan seseorang menahan dirinya atas motivasi-motivasi seksual yang terus membendung. Terjadinya kekerasan seksual, bukan berarti bahwa pelaku tidak menyadari perbuatan sebagai sebuah kejahatannya. Bukan juga bahwa pelaku tidak mengetahui bahwa tindakannya melanggar hukum positif dan akan dikenai sanksi yang terbilang berat. Kekerasan seksual adalah hasil akhir dari lingkungan yang tidak mampu membebaskan orang dari stimulus-stimulus seksual.

Teringat lagi ungkapan seorang psikolog pendidikan anak, Elly Risman, di salah satu acara talkshow stasiun TV swasta. Ia mengatakan bahwa masalah kekerasan seksual merupakan buah dari konten pornografi yang jelas merusak otak. Bencana kemanusiaan itu katanya, hanya menunggu waktu untuk mencuat sebagai tindak kekerasan sesksual secara beruntun. Ataukah pandangan seorang ahli neuropsokologi, Ihsan Gumilang. Ia menyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan wujud dari candu pornografi. Jika seseorang adiksi pornografi, dan juga memiliki keberanian, semisal ia dalam keadaan mabuk, maka ia akan melampiaskan nafsunya tanpa peduli akibatnya. 

Motivasi seksual dimaksud, dapat berasal dari mana saja. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka konten-konten pornografi pun dengan mudah diperoleh. Bahkan menyasar anak-anak yang masih labil dan tidak memiliki pengendalian emosi yang baik. Berdasarkan data, Indonesia bahkan menempati urutan kedua sebagai negara pengakses konten pornografi setelah Amerika Serikat.

Tayangan-tayangan di media sosial maupun elektronik, terutama TV, juga sangat longgar terhadap adegan-adegan tak senonoh. Atau paling tidak, tayangan masa kini, menampilkan adegan yang menghilangkan batas-batas pergaulan antarlawan jenis. Akhirnya, pergaulan bebas pun menjadi hal yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Pergaulan bebas itu, tentu rentan berujung pada tindak kekerasan seksual. Perlu dicatat bahwa dari beberapa kasus kekerasan seksual, juga melibatkan bahkan diinisiasi “orang dekat” yang punya hubungan spesial dengan korban.

Berkaca dari kenyataan yang terjadi, maka upaya pencegahan seharusnya diutamanakan. Semisal memberangus konten-konten pornografi dalam segala bentuk. Terutama juga, melindungi anak-anak yang pengendalian emosinya masih labil, dari paparan pornografi. Hal ini tentu butuh dukungan orang tua, sekolah, dan masyarakat.

Di sisi lain, segenap komponen sosial, terutama pemerintah, juga harus menyediaan wadah kreativitas bagi masyarakat untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Wadah semacam itu, efektif untuk menghindari anak bangsa dari aktivitas atau bentuk pergaulan yang negatif. Jika waktu mereka habis karena disibukkan kegiatan positif, maka celah untuk berpikir tentang perbuatan negatif, akan mengecil.

Tidak ada maksud mengatakan bahwa sanksi pidana tidaklah penting. Pidana tetaplah salah satu cara untuk memberangus kejahatan seksual. Sanksi pidana efektif untuk memberikan efek jera dan menimbulkan momok menakutkan bagi setiap jiwa yang berpotensi melakukan kejahatan seksual. Meski begitu, fungsi pemidanaan sebagai upaya pembinaan, tak boleh diabaikan. 

Kiranya, perlu dipertimbangkan kembali tentang lahirnya undang-undang yang lebih komprehensif mengatur tentang pemberantasan kejahatan seksual. Tidak sekadar terpaku pada korban anak seperti pada Perpu No. 1 Tahun 2016, tetapi juga kepada orang dewasa, terutama perempuan yang selama ini rentan terhadap kekerasan seksual. Undang-undang itu juga diharapkan tidak sekadar mengatur mengenai sistem pemidanaan bagi pelaku kekerasan seksual anak atau orang dewasa, tetapi juga upaya pencegahan dan juga pemulihan/rehabilitasi terdapat pelaku dan korban kekerasan seksual.

Sekali lagi, upaya pencegahan harus diutamakan. Jika tidak, seiring waktu, pelaku kejahatan seksual akan terus bertambah. Korban-korban pun terus berjatuhan. Semoga tidak!

Aib

Siapa paling suci?
Semua bercela
Tak ada yang sempurna
Sama tercipta dari kehinaan
Terbuang dari istana Tuhan
Menggenggam janji untuk kembali
Menapaki terjalnya dunia
Kadang lupa jalan
Tersesat pulang

Setiap jiwa bak kelapa busuk
Bersembunyi dalam batok pencitraan
Tumbuh tunas, tersibaklah kehinaan
Sekarang atau besok
Perapal ayat atau pendosa
Difitrah atau difitnah
Di dunia atau di pengadilan Tuhan

Sebelum apa-apa
Mari saling menyucikan