Jumat, 15 Juli 2016

Aku Bangga Jadi Petani

“Samin, cita-citamu apa?” tanya ibu guru, sewaktu aku masih duduk di kelas I SD.

Waktu itu, aku bingung harus jawab apa. Apalagi, aku yang lebih dahulu ditanya. Tak ada cita-cita teman sekelasku yang bisa kutiru. Tapi sepengetahuanku, cita-cita adalah pekerjaan. Maka teringatlah olehku sosok ayah yang bekerja sebagai petani. Ia mengurus sepetak sawah setiap hari.

“Aku ingin jadi petani Bu!” pungkasku.

Sontak, seisi ruang kelas menertawakanku. Mereka seakan menganggap jawabanku adalah lelucon. Padahal sungguh, aku ingin jadi petani!

Berselang beberapa saat, teman sekelasku pun ditanyai satu persatu. Cita-cita mereka beragam. Ada yang ingin jadi dokter, polisi, tentara, atau guru. Dan akhirnya, hanya aku yang bercita-cita jadi petani.

Setelah kejadian itu, julukan petani menjadi olok-olokan untukku. Kala masih kanak-kanak, aku tentu gusar dengan keadaan itu. Menangis dan marah menjadi senjata ampuhku untuk membela diri. Tapi beranjak usia remaja, pemuda, dewasa, sampai menjadi orang tua seperti sekarang, aku tak mempersoalkannya, walaupun masih ada yang mempermasalahkannya. 

Entah kanapa masih banyak orang menganggap petani adalah pekerjaan murahan. Kupikir sebaliknya, petani adalah pekerjaan yang mulia dan memberi banyak manfaat bagi sesama. Karena petanilah, orang kota yang gengsian dan hedonis, bisa makan. Presiden dan para politisi yang mengobrol tentang pertanian tanpa aksi nyata, juga tak akan kuat berpotek-potek tanpa pangan dari petani. Cara pikir inilah yang ditegaskan ayahku dahulu. 

Masyarakat di kampungku sendiri, masih menganggap petani adalah pekerjaan yang harus dihindari. Anak-anak disekolahkan agar kelak menjadi pegawai kantoran, jangan petani. Kala aku memilih fakultas pertanian sebagai bidang keilmuan yang kugeluti di kampus, banyak cibiran menerpaku. Sampai selepas aku sarjana, mereka menganggap pendidikanku gagal, sebab aku hanya sarjana pertanian, dan kembali jadi petani, seperti orang tuaku. 

Tak masalah bagiku dianggap sarjana gagal. Kupikir, keberhasilan pendidikan bukanlah tentang pekerjaan apa yang akan kita geluti, tapi bagaimana kita melaksanakan sebuah pekerjaan. Pendidikan seseorang tercermin pada cara kerjanya yang penuh tanggung jawab, bukan pada tampakannya. Dan pastinya, aku akan bertanggung jawab sebagai petani. Aku sunguh-sungguh.

Untuk mengamalkan ilmuku, aku juga dengan senang hati mendidik para petani di desaku. Banyak di antara mereka yang kurang paham tentang teknik penggunaan pupuk dan racun. Sedangkan pegawai penyuluh dari pemerintah, tak bisa diandalkan. Selain itu, aku juga mengajari mereka tentang ternik pengolahan dan penjualan hasil panen, agar mereka tak dijebak para pedagang nakal yang ingin mengeruk keuntungan secara berlebihan. Kurasa, dengan begitu, ilmuku tak sia-sia.

Sampai kini, aku tak pernah merasa menyesal menjadi petani. Malah, semakin kusadari, pekerjaan ini begitu menenangkan. Aku dapat mengatur waktu kerjaku sesuai kemampuan. Tak seperti pekerja kantoran yang terikat waktu: pergi pagi, pulang sore. Aku jadi memiliki banyak waktu untuk memerhatikan keluargaku, terutama mendidik anakku, Raja. Dia adalah anak semata wayangku bersama seorang bunga desa yang kupersunting enam tahun lalu, Sarminah. Kupikir, orang terdidik harus mendidik, paling tidak mendidik keluarganya.

Sepulang dari sawah, kulepas penat dengan berleha-leha di beranda rumah, sembari menonton berita di televisi yang tak henti-hentinya menyiarkan laku korupsi orang-orang yang katanya terdidik. Hanya itu yang mendingan ditonton. Siaran lain hanya menyiarkan sinetron yang semakin tak mendidik.

Di samping, ada istriku yang tengah melanjutkan jahitan baju pesanan tetangga.

“Pak, tahun ini Raja akan masuk sekolah. Butuh biaya Pak. Kita tak boleh berpikir pendek. Mungkin sekarang biaya sekolah masih ringan. Tapi pikirkan belasan tahun ke depan Pak, saat Raja sudah kuliah di kota, kan biayanya besar. Kalau dengan penghasilan tak menentu dari sawah, aku khawatir kita kewalahan Pak,” kelur Sarminah, istriku.

 “Ibu ingin aku bagaimana? Sejak kita sepakat untuk menikah dahulu, kan sudah kubilang kalau aku bukan siapa-siapa. Ibu tahu sendiri. Orang di kampung malah menjulukiku sarjana gagal. Toh, ibu menerima lamaranku.” Aku mencoba meledeknya agar pembicaraan tak berujung pada perdebatan. “Tak usah khawatir. Meski keadaan kita begini, kita masih hidup berkecukupan. Selama kita bekerja secara sungguh-sungguh, pasti rezeki kita terjamin Bu,” balasku.

“Karena itulah. Bukankah sebaiknya Bapak mencari pekerjaan sampingan yang penghasilannya lebih menjamin. Bapak kan punya ijazah sarjana. Bisa jadi pegawai penyuluh pertanian, guru, pekerja kantoran, pegawai swasta, atau kepala desa. Terserahlah. Nanti, sawah kan masih bisa diurus di  sela-sela waktu. Dengan begitu, keluarga kita akan terpandang di mata masyarakat desa Pak,” tangkisnya.

“Ibu ingin aku jadi pegawai negeri yang makan gaji buta? Jadi pejabat yang korupsi? Ibu ingin aku jadi kaya raya, lalu tergoda untuk menikah lagi? Bukankah sudah cukup aku jadi kepala rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab? Menjadi suami yang mengimami Ibu. Menjadi ayah yang mendidik Raja, dan semuanya,” tuturku, lalu berpaling menatap dalam-dalam matanya.

Istriku hanya terdiam. Seperti mencoba mendalami makna jawabanku.

“Bu, aku tak ingin Raja jadi anak yang tidak berguna karena tak terurus. Lihatlah anak-anak yang tak dididik baik, orang tuanya terpandang, tapi dihinakan sendiri oleh anaknya. Aku tak ingin Raja begitu Bu,” tambahku, berharap ia sepakat.

Kurasa, ia telah paham tentang cara pikir dan jalan hidupku. Tapi ia segera berpaling dariku, menaruh jahitannya, dan bergegas pergi. Sepertinya ia butuh waktu untuk menerima pandanganku secara lapang dada.

Kutatap lagi anakku yang tengah belajar mengenakan seragam sekolahnya yang baru dibeli kemarin. Sudah sedari tadi ia mengenakan seragam itu, lengkap dengan topi, dasi, tas, dan sepatu. Sesekali, ia menghadap ke cermin dan mengagumi sendiri penampilannya. 

Dengan gagahnya, ia menghampiriku.

“Ayah, aku sudah terlihat gagah kan?” tanyanya, sambil berpose bak model.

“Iya, anakku memang gagah, pintar, dan baik,” balasku sambil tersenyum bangga padanya. 
 
Timbullah inginku untuk menerawang bayangan masa depannya. 

“Kalau sudah besar nanti, Raja ingin jadi apa?” tanyaku.

“Aku ingin jadi bos Ayah. Bisa memerintah orang-orang dan punya banyak uang. Atau seperti yang di televisi ayah, jadi hakim, polisi, atau pejabat. Yang penting berdasi, punya mobil, dan pakaiannya bagus-bagus. Kan keren Ayah. Atau bisa juga jadi artis ngetop, agar nanti banyak yang minta tanda tangan padaku Ayah,” tuturnya. 

Aku serius mendengarnya. Berusaha mengesankan bahwa jawabannya tak ada masalah. Ia ternyata sudah tahu banyak tentang pekerjaan berkelas, sesuai ukuran layar kaca televisi.

“Atau, jadi koruptor,” tuturnya, setelah sedari tadi terlihat menerawang pikirannya sendiri. “Ayahnya temanku di sekolah (baca: taman kanak-kanak), yang punya mobil dan sering masuk TV, katanya koruptor. Kalau begitu, kan keren Ayah. Aku bisa diantar pake mobil ke sekolah. Ayah pasti banggakan kalau aku bisa jadi koruptor?"

Aku tersentak dengan jawabannya. Memiriskan. “Asalkan pekerjaanmu bermanfaat dan tidak merugikan bagi orang lain, Ayah bangga Nak. Yang penting jangan jadi koruptor ya. Itu tidak baik Nak.”

“Lah, kenapa tidak baik Ayah?” tanyanya segera. “Hidup koruptor kan enak.”

Aku tak ingin menjelaskannya lebih detail. Bisa jadi ia akan mengejek dan bertengkar dengan temannya jika aku menguraikannya panjang lebar. Suatu saat ia akan paham.

“Kalau jadi petani seperti Ayah, kamu tak mau? Kan, enak, bisa main-main di sawah,” balasku, mencoba mengalihkan perhatiannya.

“Tidak ah. Waktu ditanya ibu guru di kelas tentang cita-cita, aku bilang ingin jadi seperti ayah, petani. Tapi semua teman-teman sekelas, malah menertawakanku. Katanya, petani kerjanya susah Ayah. Terus dapat uangnya juga sedikit,” jawabnya, penuh kepolosan.

Pandangan Raja membuatku bingung sendiri. Entah bagaimana menyanggah dan membuatnya sepaham denganku. Sepertinya, tak mungkin sekarang. Aku memilih mendiamkannya.

Sepertinya memang benar kalau cita-cita tak bisa dipaksakan. Dunia memang telah banyak berubah, termasuk juga cara setiap orang memandang dunia. Aku hanya berharap, ia paham tentang tujuan hidup, tentang kebahagiaan tak melekat pada kenyamanan dan kekayaan, tetapi pada kesabaran dan kesyukuran. Entah kelak dia akan jadi apa. Kalau pun ia tak jadi petani, aku berharap nilai-nilai seorang petani tetap menjadi prinsip hidupnya, sebagaimana pesan ayahku, kakeknya sendiri.

Nak, kelak ketika kau dewasa dan menjadi orang yang benar-benar terdidik, kau akan menyadari kalau petani adalah pekerjaan yang mulia.

Aku menoleh ke belakang. Ternyata istriku tengah melanjutkan jahitannya. Dia pun memandang ke arahku, sambil tersenyum. Entah, ia sepakat denganku, atau Raja, aku tak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar