Senin, 29 Agustus 2016

Biarlah Waktu

Akhirnya tragis. Di antara kami yang disebut sahabat sejati, ternyata ada luka yang harus diikhlaskan, dibunuh dengan cinta. Tak ada yang tahu. Mungkin dia, sahabatku, Dendi, sama seperti kalian. Selalu berprasangka baik pada teman dekat. Padahal, sedekat apa pun kita pada seseorang, akan selalu ada perihal yang sebaiknya dirahasiakan.

Awal kisah kami, bermula setahun lalu, di tahun ketiga kami duduk di bangku kuliah. Kala itu, aku mulai penasaran dengan perubahan sikapnya. Dia tak lagi urakan seperti biasa. Tiba-tiba jadi lelaki yang terkesan tenang dan dingin. Penampilannya pun berubah. Jadi terlihat rapi. Tak lagi suka mengenakan kaos oblong, sandal, dan jins sobek-sobek ke kampus. Ia bahkan merelakan rambut gondrongnya yang dipelihara setahun lebih, dibabat habis.

Jika sudah begitu adanya, pikiranku pun tertuju pada satu kesimpulan: semua itu pasti gara-gara wanita. Kupikir, tak ada kekuatan apa pun yang mampu mengubah kerasnya watak lelaki, kecuali kelembutan seorang wanita. 

Nah, jelas saja tebakanku benar. Suatu hari, ia mengakuinya.

“Katanya laki-laki sejati. Masa sama wanita saja takluk?” ledekku.

Dia tiba-tiba menghentikan petikan gitarnya, setelah melantunkan belasan lagu bernuansa melankolis. “Mau diapa lagi. Aku tak tahan Jon. Dia sangat menarik. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah yakin dia jodohku,” akunya.

Aku tak tahu siapa sosok yang ia maksud. Dia masih berkeras untuk merahasiakannya. Ciri-ciri saja, ia tak mau memberitahuku. Yang pasti, wanita incarannya itu adalah seorang mahasiswi di kampus kami. Sosok yang aku kenal, katanya.

“Iya. Itu sih hakmu. Tapi tak mesti juga kau berubah drastis cuma gara-gara wanita. Kau tahu, yang paling penting dalam menjalin hubungan itu adalah kejujuran. Kalau kau pura-pura berubah hanya untuk memikatnya, yakinlah, suatu saat ia akan meninggalkanmu, setelah tahu siapa kau sesungguhnya,” nasihatku. Terus terang, aku sangat prihatin padanya. Apalagi belakangan ia keseringan mengkhayal dan kurang percaya diri dengan penampilannya. Jadi sering bercermin.

“Aku sih, sepakat saja dengan pendapatmu. Makanya, aku telah berubah. Bukan pura-pura,” sanggahnya. “Jujur saja, aku pernah menghampirinya tempo hari, tapi ia seperti menghindariku. Aku tahu, semua itu gara-gara penampilanku. Aku sudah melakukan observasi. Setelah kupikir-pikir, ternyata ada baiknya juga berpenampilan rapi sepertimu. Ia pasti suka.”

“Terserah kau sajalah. Tapi setidaknya, tak usah lagi merepotkanku. Sudah cukup kau meminjam-minjam pakaianku hanya untuk memikat hatinya. Itu keterlaluan Den,” singgungku. Ya, dia memang sering meminjam segala macam sandangku belakangan ini.

Dia malah tertawa. “Bilang saja kalau kau iri karena tak punya nyali untuk mengakhiri kesendirianmu,” oloknya, terlihat sangat senang.

Aku tak menggubris.

“Masa begitu saja kau perhitungan. Kita kan teman. Atau kau semakin takut kalau aku mengakhiri pertemanan kita demi seorang wanita?” tanyanya.

“Terserah kamu!” tegasku. “Yang pasti, aku akan buktikan kalau akulah yang lebih dulu menghancurkan pertemanan kita. Aku janji, akan mendahuluimu menaklukkan hati seorang wanita.”

“Memangnya kau punya incaran?” ledeknya lagi. “Kalau pun punya, belum tentu dia ingin kau incar.”

 “Aku akan buktikan!” pungkasku.

Diam-diam, aku juga menyimpan bayangan sosok wanita yang menjadi idamanku selama ini. Aku punya titik terang kalau rasaku akan berbalas.

Waktu terus berjalan. Kenyataan yang tersibak pun, memaksaku agar tak terlalu berhasrat mengalahkan Dendi dalam pertaruhan soal wanita. Aku merasa sepatutnya melangkah mundur daripada maju di arena pertempuran. Bukan berarti aku pengecut. Hanya saja, jika harus menghancurkan sahabatku sendiri, aku lebih baik bunuh diri.

Langkahnya ternyata sudah terlalu jauh. Aku kalah cepat mengambil awalan dibanding dia. Sungguh keterlaluan jika aku sekonyong-konyong merusak kedekatan mereka yang tampak semakin erat. 

Kini, aku harus membiasakan diri, bahwa di waktu-waktu senggangku, tak ada lagi Dendi. Ia pergi beserta sosok yang selama ini kuidamkan. Persahabatan kami berakhir. Angan-anganku tentang cinta pun, harus kuhancurkan. Perasaanku seperti mati suri.

Aku mengalah kawan!

Dentang detik pun seperti berlari. Aku tak pernah menduga, ia begitu cepat mengakhiri masa pertemanan kami secara sungguh-sungguh. Bukan karena benci, tapi cinta. Ia telah bertekad mencintai sosok wanita, lebih dari sekadar teman dekat. Ya, dia akan mendapatkan cinta sejatinya, dan aku harus tahu diri untuk berhenti menuntut kesetiakawanannya lagi seperti biasa. 

Kalian tahu? Aku merelakan semua itu karena cinta.

“Jon, bulan depan kami akan menikah,” tuturnya. 

Jelas saja aku kaget mendengar penuturannya. “Kenapa buru-buru sekali?” tanyaku, berusaha merespons sebiasa mungkin.

“Aku yakin sudah saatnya Jon. Lebih baik bagitu. Aku takut hatiku atau hatinya berbalik ke arah lain. Perasaan manusia kan mudah berubah-ubah. Tak ada kesetian tanpa ikatan yang pasti,” balasnya, tampak serius. “Ngomong-ngomong, kamu bisa bantu aku kan? Aku tahu kau punya keahlian fotografi. Kau kan mendalaminya di kampus. Jadi rencananya, aku ingin kau yang memotret kami saat pernikahan nanti. Bisa kan?”

Terus terang, aku merasa berat membantunya. Rasa kehilanganku yang berlipat ganda, belum sembuh total. Tapi atas nama pertemanan, apa pun kulakukan. “Baiklah. Asal ongkosnya sepadan saja,” ujarku, setengah bercanda.

Dia tersenyum. “Oh, ya. Ini kemejamu yang tercecer di rumahku. Sebelumnya terima kasih ya. Mungkin karena ini juga, aku bisa meluluhkan hatinya. Dia selalu suka kalau aku mengenakannya. Aku terlihat tampan, katanya.”

Penuturannya membuat anganku tentang cinta sejati, timbul-tenggelam. Tarik-ulur. Tapi aku harus melawan diriku sendiri. Kuterima saja pengembaliannya, sembari berencana untuk segera melenyapkannya di tengah kobaran api. 

“Sebagai sahabat, kau tak seharusnya berterima kasih,” balasku.

Akhirnya, sampailah cerita kami pada klimaksnya. Kali ini, aku melakukan pengorbanan terbesarku sebagai seorang sahabat. Meredam perasaanku sendiri untuknya. Bagaimana tidak, di balik lensa kemera, aku menatap ia dan seorang wanita, mantan dambaanku, bahagia bersama. Mirisnya, aku bahkan harus jadi dalang untuk pose mesra mereka. Sungguh menguras emosi.

Kalian bisa bayangkan rasanya? Tapi sudahlah, aku yakin, jika kalian berada di posisiku, kalian juga akan mengambil sikap yang sama denganku, kan?

Tapi, tak usah kalian terlalu mengkhawatirkan kehidupanku. Aku bukan orang yang mudah putus asa. Terus terang, aku tak menaruh dendam kesumat pada kenyataan ini. Pastilah waktu meneguhkan kembali semangat hidupku. Kelak, akan datang juga sosok wanita lain yang membuatku merasa bersyukur ditakdirkan kalah dalam kisah kali ini. Itu adalah janji-Nya. Pasti.

Untuk kalian yang paham tentang kisah ini, aku harap kita sependapat kalau kekalahanku adalah kekalahan terindah. Iya kan? Tapi aku mohon, jangan tanya aku siapa sosok wanita dalam cerita ini. Kalau pun kalian bisa menebak, aku minta, jangan bilang siapa-siapa.

“Jon, jadi kapan kau akan menyusulku?” tanyanya, seusai resepsi.

“Aku butuh waktu, Den,” pungkasku, dengan alasan yang mungkin akan kurahasiakan selamanya.

Uang Celengan

Sudah hampir sebulan Suman menabung. Usahanya keras. Belakangan, sepulang sekolah, ia selalu mambantu Ibunya berjualan kue di pasar. Ia bahkan merelakan sorenya berlalu, tanpa bermain apa-apa dengan anak sebayanya di lapangan desa. Kerena itu, ia dapat bonus uang jajan dari sang Ibu. Tapi, semuanya ia masukkan secara utuh dalam celengan. 


Hari ini, waktunya menghitung jumlah tabungan. Ia telah memperkirakan kalau selama sebulan, uang yang terkumpul sudah cukup untuk membeli sesuatu yang didambakannya. Perihal yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Hanya ia yang tahu alasan di balik semua perjuangnnya sebulan terakhir.

Di tengah rasa penasaran yang menggebu-gebu, ia pun membuka tutup stoples, celengannya. Menuang dan merogoh seluruh isinya, sampai keluar dan tertumpuk di lantai. Jantungnya pun berdegup kencang. Ia masih mewanti-wanti, jangan sampai ia salah menabung, hingga nominal uang terkumpul, melenceng dari perkiraan. 

Tiba-tiba saja, ia menangis seusai menghitung berulang kali jumlah tabungannya. Apa yang ia takutkan, jadi kenyataan. Isi tabungannya, tak sesuai dengan yang diperkirakan.

“Kamu kenapa menangis?” tanya Sara, kakaknya yang modis. Ia baru saja pulang dari rumah bibinya di kota, diatar teman lelakinya. Di sanalah ia bersekolah, di sebuah SMA favorit. Ia hanya pulang kala hari Minggu. Bahkan kadang tak pulang dalam sebulan. “Kau sudah kelas IV SD. Tak boleh cengeng-cengeng.”

“Tabunganku, Kak,” tuturnya sembari menangis tersedu-sedu.

“Tabunganmu kenapa? Tak cukup seperti yang kau harapkan?” tanya Sara lagi. “Makanya, kalau menabung itu sungguh-sungguh. Jangan banyak jajan.”

“Tapi seharusnya cukup, Kak. Aku sudah memperkirakannya,” balasnya.
 
“Alasanmu saja!” bantah Sara. “Memangnya ada yang mencuri isi tabunganmu? Kau kira saya yang mencurinya? Atau Ibu? Kamu jangan pikir macam-macam ya.”

“Tidak, Kak. Aku tidak berpikir begitu,” elaknya, meski ia sebenarnya menduga memang ada yang telah menilep tabungannya. Tapi ia tak tahu siapa yang tega.

“Sudah kalau begitu. Jangan menangis lagi!” perintah Sara.

“Tapi aku butuh uang, Kak,” keluhnya. “Aku ingin membeli sesuatu. Aku harus punya barang itu besok, Kak.”

“Makanya, dari dulu aku bilang kau jujur saja tentang apa yang ingin kau beli. Jangan dirahasiakan begitu,” tegas Sara, terlihat semakin dongkol.

Suman menghentikan tangisannya sejenak. Ia kemudian memandang takut kepada Kakaknya. “Aku ingin beli boneka untuk seseorang, Kak,” tuturnya.

“Apa? Untuk apa? Untuk hadiah ulang tahun? Kau mulai main-main perasaan sekarang kayak di sinetron-sinetron?” tebaknya. “Kau itu masih kecil. Nanti kalau sudah dewasa, baru boleh kasi hadiah pada seseorang.”

“Bukan untuk itu, Kak. Tapi…” Ia tak kuasa berterus terang. “Aku ingin membeli boneka untuk Kakak.”

Sara tersentak. “Buat apa?” tanyanya, tegas.

“Aku yang menghilangkan boneka milik Kakak di kamar dahulu,” akunya. Maafkan aku, Kak. Aku yakin, Kakak pasti membutuhkannya. Aku mohon, Kakak jangan marah ya.”

Tiba-tiba saja, lidah Sara keluh. Ia tak kuasa lagi berkata keras-keras. Rasa harunya tergugah melihat Suman, berjuang diam-diam demi sebuah tanggung jawab. Sekarang, ia merasa bersalah, telah membiarkan sang adik tersiksa batin sebulan terakhir.

“Oh, boneka beruang itu? Tak apa-apa. Aku juga sudah tak membutuhkannya. Harusnya kau bilang dari dulu,” tuturnya dengan intonasi suara yang seketika merendah. Drastis.

Suman pun merasa tenang melihat kakaknya tak garang lagi. “Tapi itu kan pemberian dari teman lelaki Kakak. Itu pasti berarti,” tuturnya, terkesan masih menyesal.

“Ah, tidak apa-apa. Lagian, dia bukan siapa-siapa Kakak. Hanya teman biasa,” balasnya. Ia tahu kalau adiknya mulai mengerti tentang arti hadiah dari seorang lawan jenis. Sinetron banyak menjelaskannya. “Buat aku, lelaki yang paling berarti di dunia ini hanya almarhum Ayah dan kamu. Jadi, jangan pikirkan boneka itu lagi ya.”

Suman mengangguk. Merasa tenang.

Kali ini, Sara benar-benar iba menyaksikan betapa adiknya begitu segan padanya. Menghormati ia sebagai kakak. Tapi sebaliknya, selama ini, ia bukanlah sosok kakak yang penyayang. 

Diam-diam, Sara tahu betul kalau isi celengan Suman harusnya cukup untuk membeli sebuah boneka pengganti. Namun apa daya, ia telah menilepnya untuk membeli segala macam bahan kosmetik yang telah menjadi kebutuhan pokok bagi para wanita puber. Semua itu demi jadi ratu di mata para lelaki.

“Nanti sore, kau pergilah ke lapangan, main-main sama temanmu. Biar aku yang menemani Ibu jualan kue di pasar,” saran Sara, sembari mendekati adiknya yang masih tampak segan.  

Suman terkesima. Ia tak menduga kakaknya akan berbaik hati kali ini. Apalagi, di hari sebelumnya, Sara ogah bersentuhan dengan lingkungan pasar. 

“Terima kasih, Kak,” tutur Suman, sambil merekahkan senyumnya.

Mereka pun berpelukan. Penuh kasih-sayang.

Tanpa Sara tahu, boneka beruang itu sebenarnya tak hilang, tetapi berpindah ke dalam pelukan seorang anak perempuan, teman sekelas Suman. 

Rabu, 17 Agustus 2016

Nasionalisme Kita

Sudah 71 tahun Indonesia meredeka. Tapi nahas, nasionalisme bangsa malah semakin surut. Luntur dari waktu ke waktu. Sangat jauh berbeda dengan nasionalisme para pejuang kala menghadapi penjajah. Ini tentu memiriskan, mengingat nasionalisme adalah roh bagi kejayaan bangsa. Tanpa nasionalisme, berarti bangsa dan negara Indonesia, menuju kehancuran.
 
Nasionalisme kini, hidup sebagai jargon belaka. Digunakan sebagai klaim pribadi atas cinta tanah air. Merasa nasionalis, tapi sebenarnya tidak. Nasionalisme belum hidup sebagai semangat yang membawa perubahan nyata dalam kehidupan berbangsa. Tanpa sadar, nasionalisme  malah dibunuh secara perlahan. Dirusak, dijual, diabaikan, lalu dilupakan. 

Dirusak

Nasionalisme telah dirusak. Dirusak berarti ada tindakan aktif pihak asing, besekongkol dengan oknum bangsa, yang bersifat destruktif terhadap semangat nasionalisme. Ada agenda yang memang dilakukan secara terstruktur untuk mencuri kekayaan alam tanah air Indoensia. Negara dipaksa berkompromi, bahkan melayani pihak asing. Akhirnya, bangsa Indonesia hanya menjadi pesuruh di negaranya sendiri.

Bukti bahwa nasionalisme telah dirongrong negara dan  korporasi asing adalah dikuasainya kekayaan alam Indonesia oleh dan untuk kepentingan mereka. Kekayaan alam tanah air dikuras habis, sehingga hanya menyisakan secuil manfaat bagi bangsa sendiri. Parahnya, Indonesia di tangan pemerintah, tak bisa berbuat banyak.

Yang paling anyar terkait dirusaknya nasionalisme adalah maraknya tenaga kerja asing di Indonesia. Bagaimana tidak, kala individu bangsa kesulitan mendapatkan pekerjaan untuk penghidupannya, lapangan pekerjaan yang terbatas, malah diisi oleh warga negara asing. Mereka tidak hanya menyasar pekerjaan yang butuh keahlian professional untuk tujuan alih teknologi, tetapi juga pekerjaan kasar yang jelas dapat diisi bangsa Indoensia sendiri. Ini tentu tak boleh dibiarkan.  

Kalau pihak asing telah menjadi tuan di negara ini, jelas nasionalisme akan dirusak. Bangsa ini tidak akan menganggap lagi nasionalisme sebagai kebutuhan, sebab kuatnya cengkraman asing pada perekonomian bangsa. Kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, telah dikuasai. Matilah nasionalisme.  

Kiranya, penting mendudukkan kembali bangsa ini sebagai pemilik utuh tanah air Indonesia. Pemerintah harus menjalankan amanah konstitusi. Mengelolah seluruh kekayaan alam untuk kesejahteraan bangsa sendiri. Jika begitu, nasionalisme akan terjaga. 

Dijual

Keroposnya semangat nasionalisme, juga terjadi atas ketidakberdayaan bangsa Indonesia di bidang perekonomian. Negara sudah merdeka, tapi hidup dan kehidupan bangsa, masih terancam. Maka, demi penghidupan, nasionalisme pun dijual kepada pihak asing. Jelas, nasionalisme menjadi hampa jika diperhadapkan pada persoalan “perut”. Itu naluriah, sebab bagi manusia, tak ada yang lebih berharga dari nyawa.

Bukti atas dijualnya nasionalisme, dapat dilihat dari sederet kasus perubahan kewarganegaraannya oleh bangsa Indonesia untuk sebuah negara asing. Biasanya, berawal dari bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri, entah di sektor formal maupun informal, hingga berujung pada keputusan pengubahan kewarganegaraan. Motivasi utamanya tentu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Kejadian semacam itu, bahkan marak terjadi secara sembunyi-sembunyi di daerah perbatasan. Tak jarang, warga negara Indonesia rela menyeberang ke negara tetangga, dan mengubah kewarganegaraannya. Ini tentu sulit dihindari, sebab kesenjangan pembangunan wilayah negara Indonesia dengan negara tetangga di daerah perbatasan, masih tinggi. 

Terjualnya kewarganegaraan sebagai simbol utama nasionalisme, tidak terlepas dari persoalan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang melambat dan tidak merata, pastilah rentan berujung pada tindak “penjualan” nasionalisme. Untuk itu, percepatan pembangunan harus dilakukan oleh pemerintah demi mewujudkan Indonesia jaya dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  
Diabaikan

Nasionalisme diabaikan, juga menjadi problem utama bangsa ini. Kewarganegaraan sebagai wujud nasionalisme, tak diacuhkan demi kepentingan pragmatis. Buktinya, belum lama ini terjadi keteledoran asministratif oleh pemerintah yang jelas melanggar hukum. Seseorang yang diduga telah menjadi warga negara asing, diangkat menjadi menteri. Demi percepatan pembangunan, dia yang dinggap ahli dilantik sebagai menteri, tanpa mempedulikan status kewarganegaraannya. Padahal, tanpa kewarganegaraan Indonesia, nasionalisme seseorang untuk memajukan negara ini, wajar dipertanyakan.

Kejadian di atas, jelas membuktikan kalau negara, dalam hal ini pemerintah, masih abai dalam menjaga identitas kewarganegaraan sebagai simbol nasionalisme. Demi kepentingan politik, tata negara diabaikan. Padahal, masih banyak warga negara yang sedari lahir sampai tua, masih setia menjadi warga negara Indonesia, serta berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara. Kualifikasi itulah yang harusnya lebih diutamakan.

Penghormatan terhadap identitas kebangsaan dan kenegaraan menjadi penting, sebab di situlah nasionalisme bersemayam. Pengabaian terhadap identitas kewarganegaraan, misalnya, akan menimbulkan stigma bahwa tak perlu kawarganegaraan untuk menjadi pejabat di negara ini. Ataukah, tak perlu mempersoalkan nasionalisme seseorang yang tak berkewarganegaraan. Ini tentu berbahaya.

Ke depan, pemerintah harusnya melakukan upaya untuk terus meningkatkan kecintaan bangsa terhadap identitas kenegaraan, bukan malah mengabaikannya. Caranya dengan menjaga dan mengambangkan pengetahuan atas identitas tersebut. Yang lebih penting, pemerintah harus memberikan contoh kepada masyarakat terkait taata kehidupan kehidupan bernegara yang baik. Jika begitu, maka nasionalisme akan terus terpelihara.

Dilupakan

Indikasi kalau bangsa ini mulai lupa akan pentingnya nasionalisme, juga mulai tampak. Nasionalisme terkesan kehilangan hakikat. Hanya diwujudkan dalam simbol-simbol dan upacara seremonial. Sekadar menjadi gaya-gayaan. Tak terwujud dalam tindak-tanduk nyata dalam memajukan negara. Tak heran jika embel-embel nasionalisme bertebaran di mana-mana, tapi bangsa ini, masih hidup dalam keterpurukan. 

Dilupakannya nasionalisme oleh bangsa ini, terlihat dari disorientasi budaya. Kebudayaan bangsa terjajah seiring dengan gempuran budaya asing. Sistem filtrasi budaya tak difungsikan dengan baik. Penggalakan cinta budaya tanah air, juga tak dilakukan. Jadinya, bangsa ini lebih gandrung terhadap budaya asing. Lupa diri. Berparas Indonesia, tetapi gaya hidupnya impor. Banyak contoh detail untuk hal ini. Tak perlu diperinci.

Budaya bersosial, nyatanya telah luntur. Ego individual, semakin menjadi-jadi. Membunuh ego kebangsaan yang melahirkan nasionalisme. Lahirlah individu dan kelompok yang sengaja menguasai negara untuk kepentingannya. Oligarki dan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), semakin marak. Sulit diberantas. Menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Tindakan semacam itu, tanpa sadar, menggiring negara menuju ambang kehancuran.

Nasionalisme harus digelorakan kembali. Tidak boleh dilupakan sedikit pun. Bangsa ini harus belajar dari nasionalisme para pahlawan yang rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan. Pada bangsalah, kejayaan sebuah negara dipertaruhkan. Makanya, nasionalisme harus ditancapkan pada setiap jiwa, agar semangat membangun negara, terus berkobar. 

Nasionalisme kita tangah berada di titik nadir. Kita perlu sadar dan menyelamatkannya.