Rabu, 30 November 2016

Di Ujung Senja

Berhari-hari sudah Matini berdiam diri di pelataran belakang rumahnya. Duduk menyendiri dan malas berkata-kata. Hanya memandang kosong pada hamparan bebukitan. Meresapi desau angin sore yang membawa kesunyian. Mengkhidmati kesendirian, hingga gelap mengakhiri penantiannya lagi. Semua demi sebuah harapan besar yang masih ia doakan. 
 
Seperti kemarin, sore kali ini, masih dianggapnya sebagai pertanda. Ia tahu, ada kedatangan kala senja membias di langit barat. Ada seseorang yang akan hadir menyelimutinya, melawan angin laut. Sebuah kehangatan dalam kebersamaan, yang kini disadarinya lebih berharga dari seisi bumi. Semua tak pernah ia sangsikan.

Atas keyakinanya, Martini terus menanti. Menunggu kedatangan sesuatu yang telah hilang. Berharap dianugerahkan sebuah keberuntungan. Melawan kemustahilan. Sebagaimana ia tahu, selalu ada peristiwa ajaib yang mengalahkan logika. Maka, ia pun tak menggoyahkan keyakinan hatinya. Seperti di penghujung senja kemarin, ia yakin suaminya akan pulang. 

“Sudah gelap, Bu. Mungkin hari ini Ayah masih belum pulang,” tutur Bakri. Dalam keluarga Martini, ia adalah anak tertua.

Martini masih dengan sikap yang sama. Hanya terdiam, sembari menggenggam dan mengelus-elus sebuah amplop dari perusahaan, tempat suaminya bekerja.  

Dengan segan, Bakri pun mengutarakan maksudnya. Sebisa mungkin tak membuyarkan harapan Martini. “Sudah waktunya masuk rumah, Bu,” ajaknya, sambil menggenggam tangan perempuan itu. “Jangan terlalu mencemaskan Ayah lagi. Kalau Ibu begini terus, aku yakin, Ayahlah yang cemas pada Ibu.” 

Martini masih bergeming. Ia tetap kukuh memegang janji tak terucap dari sang suami untuk pulang.
Bakri mengalah. Ia sadar, Martini tak akan beranjak tanpa kemauannya sendiri.

Dalam menungannya, pikiran Martini melayang jauh. Sampai di satu pagi, saat ia melepas pergi sang suami untuk bekerja, tanpa senyum dan salam. Di satu waktu kala mereka berbincang dengan penuh amarah untuk pertama kalinya, sekaligus menjadi perbincangan yang terakhir.

“Sudah waktunya kita bicara pada Bakri tentang jati dirinya,” ketus Martini saat mengobrol dengan sang suami, Maun.

Mendengar penuturan istrinya, emosi Maun melonjak. “Ibu bilang apa? Berapa kali sudah kutegaskan kalau aku tak mau mendengar pernyataan itu lagi. Kita telah membesarkan Bakri dengan susah-payah. Ia juga bahagia hidup bersama kita. Atas alasan apa lagi itu harus diungkapkan? Ibu mau Bakri malah sedih dan pergi?”

Martini ngotot. Nada suaranya yang tak kalah tegas. “Pak, kita punya dua orang anak kandung. Mereka butuh uang banyak untuk kehidupannya kini dan kelak. Kita akan kerepotan kalau mengurus Bakri juga, apalagi menyekolahkannya. Kalau pendapatan Bapak besar, ya, tak masalah. Aku hanya ingin kehidupan Bakri lebih baik dalam sebuah keluarga yang berkecukupan.”

Maun tetap pada sikapnya. “Bu, aku tak ingin mendengar ucapan itu lagi. Kalau uang adalah soal yang Ibu permasalahkan, aku akan mencari penghasilan lebih demi Bakri, tanpa perlu mengurangi jatah ibu dan anak-anak.” Maun pun menghentikan sarapan paginya, kemudian berdiri dari posisi duduk. “Bakri harus masuk sekolah!”

“Baiklah. Aku setuju. Dan aku ingin, Bapak pulang dengan penghasilan yang lebih, mulai hari ini!” tegas Martini.

Maun tak membalas. Setelah meneguk air minum, ia pun beranjak pergi dengan raut wajah yang muram. Melangkah menuju bukit di seberang rumahnya, tempat ia bekerja sebagai kuli untuk sebuah perusahaan penambang batu gunung. 

Seketika, rasa bersalah menggerogoti perasaan Martini. Meski punya pendirian yang berbeda dengan sang suami tentang Bakri, anak yang diasuhnya semenjak bayi delapan tahun lalu, ia sadar telah menempuh cara yang salah dalam mengomunikasikannya.

Waktu serasa berjalan lambat bagi Martini sejak pagi itu. Usai percekcokan, dengan harap-harap cemas, ia menanti senja segera datang memulangkan suaminya. Ada rasa bersalah di hatinya yang menuntut pemaafan. 

Nahas, hujan deras mengguyur hamparan bebukitan. Tujuh hari berlalu, tepat di hari ini, Maun tak juga pulang. Tim pencari menyerah. Jasad Maun tak ditemukan. Ia tertimbun longsor.

Kini, Martini hanya meratap. Ia menyesali cara perpisahan dengan sang suami. Mengutuk dirinya sendiri. Dan lagi, ia kembali menutup senja bersama harapan yang masih menggantung di antara kenyataan dengan khayalannya.

“Nak, lusa kau masuk sekolah. Kau harus sekolah tinggi-tinggi, biar jadi orang sukses,” tutur Martini pada Bakri. Raut wajahnya polos, sehampa hatinya.

Bakri tersenyum. “Terima kasih, Bu.”

Martini pun beranjak dari tempat duduknya. Ia masih menggengam amplop berisi uang duka dan klaim asuransi dari perusahaan tempat sang suami bekerja.

Putri Malu dan Bunga Tidur

Petuah tak bertuan menyatakan kalau perbedaan adalah sebab dua hal menyatu. Tanpa perbedaan, semua akan bercerai-berai. Perbedaanlah yang membuat sesuatu saling mengait, lalu terhubung dalam aksi-reaksi. Menjadi hidup. Termasuk juga dalam persoalan cinta. Tapi kita tidak. Cara pandang kita sama.
 
Atas banyak alasan, awalnya, aku mencemaskan tentang akhir rahasia batin kita. Selalu saja muncul keraguanku jika kita akan bersama. Apalagi, kita sependapat tentang cara mencintai. Walaupun jelas perasaanku dan perasaanmu saling berbalas, kita sama-sama tak punya nyali untuk menyatakannya. Kita saling mendiamkan.

Kesamaan cara pandang kita, jelas membuatku khawatir. Aku cemas jika suatu waktu kau mengakhiri harapan kita tanpa mencoba memulai. Menampik perasaanmu sendiri, tanpa pernah meminta jawaban dariku. Kala aku masih menanti, kau malah berpaling ke lain hati. Jika begitu jadinya, kecewalah aku diciptakan sebagai perempuan. 

Tentang perasaan kita, jelas aku tak menduga-duga. Isyarat darimu, membuatku yakin. Masih kuingat jelas kala suatu hari, kau menumpang di angkutan kota yang sama denganku. Kukira, itu kedokmu saja, sebab kau jelas mengendarai motor pergi-pulang kampus. Tujuanmu pastilah untuk memulai pendekatan denganku secara bermartabat.

Pada hari selanjutnya, kau malah terlihat mengobrol dengan ayahku, saat ia menjemputku sepulang kuliah. Dari kejauhan, kulihat obrolan kalian, hangat. Aku jelas penasaran. Tapi saat menyadari kedatanganku, kau malah pamit, lalu pergi menjauh. Dan kuyakini saja, bahwa kau tengah memulai cara yang jitu untuk menyatakan perasaanmu padaku. 

Sampai akhirnya, ketakutanku berubah jadi keyakinan. Kau menyatakan cinta padaku, melalui cara yang selama ini aku inginkan. Kau pun mengisahkannya kembali kala kita tengah mengobrol di pelataran belakang rumah kita, sambil memandangi hamparan alam dan segenap penghuninya.

Sambil meneguk seduhan teh, kau memulai pengakuanmu. “Dahulu, aku sangat khawatir jikalau kita tak ditakdirkan bersama.”

Jelas saja, penuturanmu itu membuatku tenang. Semakin kutegaskan kalau kau tak mencintaiku secara tiba-tiba, apalagi terpaksa. “Aku juga,” jawabku seadanya. Aku ingin jadi pusat pembahasan kita kali ini.

Kau menatapku sambil tersenyum. “Pasti kau tak tahu, aku sengaja beberapa kali se-angkot denganmu dahulu. Sekadar ingin tahu saja tempat tinggalmu. Ya, supaya aku tahu jalan untuk lebih dekat dengan lingkungan keluargamu, terutama Ayahmu.”

“Aku tahu. Makanya, kau sering berbelanja di warungku saat lelah berlari sore di taman kota, tepat di samping rumahku, kan? Kau memang penguntit yang handal!” serangku, sengaja terkesan menebak-nebak.

Kau tertawa pendek, lalu menggenggam tanganku. Rasa hangat karenanya, menepis hawa dingin yang dibawa pagi. “Kau pasti masih ingat kebiasaanku mengobrol dengan Ayahmu di parkiran kampus, kala menunggu kau sepulang kuliah. Kau pernah menerima pesanku darinya kan?”

“Apa?” tanyaku.

“Sebuah boneka beruang, kecil. Aku sengaja berbohong pada Ayahmu kalau boneka itu, jatuh dari tasmu. Kulekatkanlah sebuah kunci di gantungannya, agar Ayahmu tak berpikir macam-macam,” akumu lagi.

Aku tertawa pendek. Merasa terharu membayangkan perjuanganmu di masa itu. “Awalnya, aku sempat menduga ada orang yang salah maksud. Hampir saja aku membuangnya di tempat sampah. Tapi akhirnya, aku melihat ukiran angka 11 melengket padanya. Maka kuyakinilah, itu memang untukku.”

“Ya, aku tahu kau suka angka sebelas. Sungguh senang kurasa, kala melihat boneka itu menggantung di tas ranselmu.” Kau tampak semringah. “Tapi apa benar kau tak tahu itu berasal dariku?”

“Aku tahu, setelah kau menjelaskannya saat ini,” balasku, berusaha jual mahal, meski semua itu telah menjadi kenangan.

Kau tersenyum pendek, lalu terdiam beberapa detik. Pandanganmu mengarah ke depan, pada seberkas embun di bukit sebelah. “Tapi, ada hal yang belum kau tahu. Aku telah mencuri banyak hal darimu secara diam-diam. Aku takut berdosa.” 

“Apa?” tanyaku, berlagak manja.

“Aku sering membayangkan tentangmu. Mempermainkanmu dalam mimpiku." Kau menoleh padaku. "Aku mohon, maafkan aku.”

Penuturanmu kali ini, terkesan seperti lelucon. “Kenapa harus meminta maaf? Kupikir itu bukan masalah.”

Mimikmu tampak serius. Kau menatap mataku dalam-dalam. “Karena aku mencintaimu kala belum saatnya.”

Aku tersentuh dengan cara pendangmu. Aku pun mengangguk, lalu terjatuh di pelukanmu. “Kau tak perlu meminta maaf. Kalaupun itu adalah dosa, kau telah menghapusnya dengan cinta yang sesungguhnya.”

Jalan Hidup Bardi

Bardi termenung. Pendangannya menjurus ke segala arah. Kedua matanya menatap iri para anak-anak yang tengah bermanja-ria pada ayah-ibu mereka. Jelas saja, ada rasa cemburu di hatinya. Ia ingin juga diperlakukan serupa. Namun akhirnya, ia sadar, tak punya diri yang patut dimanjakan. 
 
Atas semua keadaannya, Bardi pun minggat dari rumah. Melanglang buana di tengah kota. Hidup dengan menggelandang dan mengemis di jalanan. Hingga akhirnya, di sebuah sudut warung, seorang mahasiswa, Sandi, tergugah dan mengajaknya makan bersama.

“Nama kamu siapa, Dik?” tanya Sandi.

“Bardi,” jawabnya datar. Ia masih terlihat murung.

Sandi tersenyum. Ia memahami saja etika mengobrol para anak jalanan. “Rumah kamu di mana?”

Bardi bergeming. Setelah dibujuk berkali-kali, ia pun menuturkan balasan yang bukanlah sebuah jawaban, “Aku tak punya rumah.”

Sandi melepas garpu dan sendok di atas piring. Fokusnya adalah menyentuh hati Bardi agar tenang dan berkata jujur. Ia yakin, sebagaimana anak jalanan yang lain, Bardi telah dieksploitasi orang yang tak bertanggung jawab, termasuk mengaburkan asal-usulnya. 

“Kau jawab saja secara jujur, Dik. Jangan takut. Aku hanya ingin mencarikanmu solusi,” terang Sandi. "Orang tuamu di mana?"

“Aku tak punya orang tua!” sergah Bardi.

Lagi-lagi, Sandi kehabisan cara. Ia bingung. Tak tahu harus bagaimana mengorek informasi dari seorang anak yang menggugah harunya itu.

“Kau tak boleh berkata begitu, Dik. Ayah dan Ibumu, pasti mengawatirkanmu.” Untuk saat ini, Sandi mencoba menampik rahasia umum kalau orang tua para pengemis memang sengaja mengeksploitasi anak-anaknya.

“Ayahku jahat!” keluh Bardi. Rasa benci terhadap ayahnya, memang mengalahkan rasa cintanya pada sang ibu.

Sandi semakin tak habis pikir. “Kenapa berkata seperti itu, Dik? Bagaimana pun juga, Ayahmu pasti rindu. Makanya, kau harus bilang ke Kakak, di mana tempat tinggalmu.”

Bardi meneguk air beberapa kali. Sepiring nasi campur yang disantapnya, nyaris habis. “Aku tak mau pulang!”

Sandi menyerah. Untuk sementara, ia tak ingin bertanya lagi.

Diam-diam, terngiang lagi di memori Bardi tentang pertengkaran hebat ayah-ibunya. Sebuah pertengkaran yang terpicu dari keadaan raganya yang tak seperti orang kebanyakan. Penuturan ayahnya masih terekam jelas di sela-sela tangisan sang ibu: Pokoknya, aku tak ingin melihat anak itu lagi. Semua demi nama baik keluarga kita dan karir politikku, Bu. Kalau orang banyak tahu aku punya anak seperti Bardi, malu!

Tiba-tiba, perhatian Bardi tertuju pada layar televisi. Sandi mengikuti. Di layar persegi, seorang tokoh politik sedang berkampanye. Dengan tegas, sosok lelaki yang terkesan tenang dan berwibawa itu, berucap: Jika tepilih, saya akan memerhatikan kehidupan anak-anak, termasuk kesehatan dan pendidikannya.

“Kamu mengenal lelaki di televisi itu?” tanya Sandi.

Bardi tak menggubris.

“Dia adalah sosok yang terkenal baik. Mudah-mudahan dia terpilih menjadi pemimpin kita dan bersikap amanah. Jika ucapannya bukan janji palsu, aku yakin, kehidupan anak-anak sepertimu akan lebih baik,” tutur Sandi. Ia tak memedulikan kalau anak yang ditemaninya mengobrol, mungkin belum pernah mengenyam bangku pendidikan sedikit pun.

Bardi tak menanggapi. Ia terus melahap sisa makanan di piringnnya.

Sadar pertanyaan dan pernyataannya tak akan digubris secara berarti oleh Bardi, Sandi pun menyerah. Tapi tidak untuk selamanya. Kali ini, ia berencana mengajak Bardi untuk tinggal di rumah kontrakannya sementara waktu, sembari mencari jalan untuk kebaikan hidup anak itu. Tapi nahas, setelah membayar tagihan makanan di kasir, Bardi lenyap. Ia pergi tanpa pamit.

Di antara banyak rahasia yang dipendamnya, Sandi jelas tak tahu kalau Bardi pergi demi sebuah benci pada sang ayah yang kini semakin gencar membual tentang kasih-sayang kepada anak. Karena itulah, ia memilih minggat tanpa sepengetahuan siapa-siapa. Membawa dua tangannya yang puntung sejak lahir. Berkelana mengais kasih-sayang dari siapa saja.

Selasa, 22 November 2016

Putri dan Raja

Aku merasa berdosa telah membuat ayahku cemas di usia senjanya. Saat raganya mulai merapuh, aku belum juga mendapatkan pendamping hidup. Aku yakin, dia pasti khawatir kalau Tuhan memanggilnya tiba-tiba, di saat belum ada seseorang pun yang hadir menggantikan posisinya, sebagai pelindungku.
 
Memang, hanya ayah tumpuan hidupku  selama ini. Pada dirinyalah kusandarkan segala keluh-kesahku tantang dunia. Dialah yang membimbingku menjadi seorang perempuan yang ideal. Mendidikku menjadi pribadi yang cantik dan cerdas. Katanya, aku harus jadi seperti ibu, sosok yang tak sedikitpun kutahu bentuk wajahnya.

Ayah bak seorang raja yang ditinggal mati sang ratu. Akulah putrinya. Ia tentu berharap aku melahirkan generasi untuknya. Menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucunya kelak. Karena itulah, ia selalu mewanti-wanti agar aku mawas dalam bergaul. Bahkan, ia pernah memesankan agar aku jangan mau diperdaya rayuan manis seorang lelaki.

Sikap proteksionis ayah terhadapku, bukan tanpa alasan. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, ia pasti menginginkan putrinya bersanding dengan lelaki yang bertanggung jawab pula. Aku masih ingat, ia pernah memarahi seorang teman dekatku di kampus karena kami kelewat dekat, menurutnya.

Hari ini, setelah ia keluar dari rumah sakit untuk ketiga kalinya karena penyakit jantung, di pelataran rumah yang lengang, kami mengobrol tentang masa depanku yang belum jelas.

“Maafkan aku Ayah. Sampai saat ini, aku belum mempersembahkan cucu untuk Ayah,” tuturku, memecah keheningan suasana.

Ia pun melipat dan meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya. “Airin, anakku, jangan risaukan itu lagi. Aku tak pernah memberimu target, atau sekadar memaksamu menikah sebelum aku pergi untuk selama-lamanya. Mauku sederhanya saja. Aku hanya ingin kau menikah dengan lelaki yang tepat, meski tanpa kehadiranku.”

Jawabannya jelas membuat bebanku sedikit berkurang.

“Berperangai baiklah seperti Ibumu. Dia adalah perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Dengan begitu, aku yakin, kelak, kau akan dipertemukan dengan seorang lelaki yang baik juga,” tuturnya dengan bola mata yang berkaca-kaca.

“Lelaki seperti apa yang Ayah maksud?” tanyaku.

Ia menoleh padaku. Memandangiku lekat-lekat. “Lelaki yang tak bermaksud mempermainkanmu. Lelaki yang gagah-berani menemuiku dengan hormat, lalu meminta agar aku merestuinya bersanding denganmu. Tak perlu fisik rupawan dan materi melimpah, yang penting ia berbudi luhur.”

Aku tak kuasa membalasnya.

Kini, aku paham maksud di balik sikap tegas Ayah dalam mengatur pergaulanku. Dari rangkaian kisah yang kujalani tanpa sepengetahuannya, termasuk kesesatanku karena ilusi cinta, kusadari sudah, dialah lelaki terbaik yang pernah kukenal. Dan, aku ingin dipertemukan dan ditakdirkan dengan sosok lelaki sepertinya, atau tidak sama sekali.

***

Sebagai seorang ayah yang ditinggal pergi sosok istri, mengurus seorang anak perempuan, bukanlah perkara mudah. Aku harus mengimajinasikan sendiri nilai-nilai keibuan untuk kutanamkan dalam dirinya. Dari semua pengalaman pahit yang kualami, aku ingin ia menjadi sosok ibu yang baik untuk cucu-cucuku kelak.

Jika kuingat-ingat lagi caraku mendidik anak semata wayangku itu, aku yakin, dia pasti sering kesal atas sikapku yang terlalu keras membatasi pergaulannya. Caraku memang berbeda. Mungkin membuat ia merasa terasing di dunia yang ingar-bingar. Tapi kelak, aku ingin dia memahami, bahwa semua yang kulakukan, demi untuk dirinya dan generasi penerusku.

Aku tak pernah mengada-ada soal bagaimana kriteria lelaki yang baik. Sebagai seorang lelaki, aku tahu betul bagaimana kaum adam memandang seorang perempuan. Karena terperdaya kecantikan, lelaki mudah saja mengumbar gombalan. Dan aku takut jika putriku jatuh dipelukan seorang lelaki yang tak setia dan tak bertanggung jawab. 

Sekali lagi, aku ingin putriku menjadi seorang perempuan yang baik, agar kelak, ia dipersunting lelaki yang baik. Aku ingin ia hidup dalam keluarga kecil yang harmonis. Itu bukan soal putriku saja. Lebih lagi, aku tak ingin cucu-cucuku kelak memiliki kepribadian yang pincang karena ketiadaan kasih-sayang dari sosok ibu atau ayah. Aku tak ingin itu terjadi.

“Ayah, ceritakan padaku tentang sosok Ibu,” pinta Airin, anakku.

Dengan antusias, aku menguraikannya. “Matanya bulat sepertimu. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya mancung. Dia mirip denganmu, sosok yang cantik, cerdas, dan menyenangkan,” tuturku.

Ia menerawang dalam benaknya. Seperti berusaha mengonstruksikan sebuah wajah berdasarkan penggambaranku. “Apa hal terbaik yang Ayah suka dari Ibu?” tanyanya lagi.

Aku terdiam beberapa saat. Dengan berat, aku mengungkapkan rahasia terbesar yang selama ini kupendam. “Dia sosok yang setia. Ia menerima bagaimana pun keadaanku sebagai suaminya.” Seiring itu, air mataku menetes.  

Ia tampak terenyuh mendengar penuturanku. Tak lama kemudian, ia terisak. Senyum yang serupa milik mantan istriku, tersamar di wajahnya.

Aku memeluknya erat. “Jadilah istri yang setia untuk suamimu kelak,” pintaku.

Ya, masalah kesetiaan istri adalah rahasia terbesarku padanya. Aku tak akan pernah menceritakan kalau ia terlahir dari rahim seorang wanita yang tega meninggalkan kami berdua, saat ia belum bisa mengingat hal-hal penting dalam hidup. Kepergian istriku itu, hanya karena aku sudah tak sekuat, sekaya, dan setampan dahulu, di awal kebersamaan kami.

Sekali lagi, aku tak ingin cucu-cucuku hidup tanpa didikan kedua orang tuanya.