Kamis, 28 Desember 2017

Ada Dendam yang Harusnya Kuimpaskan dengan Cinta

Langit tampak cerah malam ini. Bintang-bintang yang kau puja, berpijar di tempat yang jauh. Menjadi serupa manik-manik yang berkerlipan di sekeliling purnama. Memancarkan kehangatan di hati kita masing-masing. Mendamaikan sepi. Sampai kita terbayang hari esok, dan sejauh masa depan kita bersama. Menuntun imajinasi kita menapaki anak tangga di jalan angan-angan, hingga kita berpisah suatu saat.

Kuyakin pasti, bersama rindu, kau sedang merenungkan kita di bilik kamarmu yang sunyi. Duduk pada sebuah kursi yang menghadap tepat di jendela, dengan tangan meneleku pada meja. Mendengarkan lagu Fireflies atau Vanilla Twilight milik Owl City, atau sejenisnya, sambil memandang benda-benda langit yang merangkai imajinasimu. Merenungkan jalan cerita terbaik, untuk kita menuju kebersamaan, suatu hari nanti.

Dan kupastikan, angan-angan liarmu menjelma jadi sebentuk puisi. Di bawah sorot lampu belajar, kau akan menulis kata-kata indah untuk menyiratkan hasratmu padaku. Hingga tergoreslah penamu pada kertas. Merangkai doa untuk kau dan aku, di sepanjang waktu. Mengukir bayangan keluarga kita di masa depan. Melukis hidup yang terhias anak-anak menggemaskan, kelak. Dan, tak ada yang kuasa mengakhiri.

Sampai akhirnya, hujan deras jatuh dari langit. Menerpa bumi yang membentangkan jarak di antara kita yang membisu. Mendentingkan senandung lirih, hingga kisah-kisah kita yang lampau, terkuak kembali. Menaburkan bunga-bunga rindu di antara kita, yang berada pada ruang berbeda, yang saling bertanya tanpa menuntut jawab. Kau di sana, dan aku di sini, saling menerka angan masing-masing. Sebatas begitu.

Kutaksir, kantuk akan menyerangmu di tengah kepungan dingin yang menusuk. Kau pun memilih berbaring nyaman di kasur empuk, sambil membungkam telingamu dengan lagu-lagu melankolis. Mungkin lagu Again-Bruno Mars, Amnesia-5SOS, atau lagu lain yang pernah kita dengar bersama. Sampai kau hanyut ke dalam khidmat yang tiada tara. Menenggelamkanmu dalam kenangan, hingga segenap indramu, terfokus untuk merespons sesuatu yang maya.

Ketika sadarmu pulih, bahwa kita tetaplah berjarak di dunia nyata, kau pun akan menyibak matamu, kemudian menoleh pada jendela kamar yang buram. Mencari-cari benda langit yang bisa kau ajak bicara dan berbagi keluh. Tapi semuanya bersembunyi. Hingga kau kembali menyerah pada keheningan. Kau lalu mematikan lampu-lampu. Meredupkan cahaya di bilik sepimu. Sebab tak ada lagi yang ingin kau lihat, selain berkas kenangan kita di memorimu, dari awal pertemuan, hingga sore tadi.

Di tengah nostalgia berulang itu, kala kau sedang menapaki kisah kita, detak jantungmu akan mengencang pada berkas momen tertentu. Merasa candu saat-saat kita begitu dekat, tanpa predikat apa-apa. Entah ketika kita bercanda di ruang kampus, selangkah di tengah kota, atau sesadel di bawah terik dan hujan. Kau akan mengkhidmati itu, sambil menarik napas dalam-dalam. Hingga bau tembok yang basah, menyesaki rongga pernapasanmu, dan kau semakin larut dalam suasana. 

Jelas, rasa rindu setelah kita berpisah tujuh jam yang lalu, akan mambuatmu tetap terjaga. Kau jadi betah mengulas tentang kita, ketimbang larut dalam adegan bunga tidur yang kadang mengecewakan. Kantung matamu yang berat pun, tersibak kembali, demi menemuiku lewat telepon genggammu. Mengulas percakapan kita di media sosial, sambil menebak-nebak maksud di setiap kata dan tanda. Hingga kau mengintip semua unggahan statusku, yang terpampang di berbagai lini media sosial.

Tak akan ada yang kuasa mengakhiri sakaumu itu, kecuali kantuk yang tak tertahankan lagi. Dan hampir jam 2, kuyakin, kau baru saja mengakhiri penelusuranmu di alur sejarah kita. Kau lalu memandangi langit-langit kamarmu yang remang, sambil berharap aku mengirimkan pesan secara tiba-tiba. Sampai akhirnya, kau lelah menunggu ketidakpastian, hingga terlelap tanpa rencana, saat daftar lagu melankolis, belum terputar seluruhnya.

Dan aku yang sedari tadi duduk termenung di sebuah kafe, sambil membayangkan adegan-adeganmu yang tengah dilanda kekalutan, menyerah juga pada kantuk. Demi menjamin bahwa kita akan bertemu di kampus esok pagi, aku pun beranjak pulang, untuk segera tidur. Aku tak ingin datang terlambat dengan tampilan buruk, hingga kau jadi tak senang. 

Soal tugas kuliah yang diperjanjikan untuk kita kerja bersama, sudah pula aku tuntaskan. Sisa disetor. Aku ikhlas mengerjakannya, dan tak mesti kau turut dan terbebani. Dan aku tahu, karena itu, esok pagi, kala kita bertemu, kau akan menyampaikan penyesalanmu. Kau akan mempersalahkan dirimu, sebab tega membiarkanku berkorban untukmu, dan kau malah tak peduli untuk ke sekian kalinya. Tapi sungguh, bagiku, itu bukanlah masalah. 

Detik demi detik berganti. Akhirnya, pagi menjelang. Aku pun meniti jalan ke kampus dengan penuh semangat. Aku berharap kita segera bertemu, sehingga kau tak perlu menahan rindu sedetik yang serasa setahun. 

Hingga, tak berselang lama sejak kedatanganku, kau muncul dengan langkah bergegas. Kau lalu mengungkapkan penyesalan seperti yang kukira. “Maafkan aku karena tak bisa menyusulmu di kafe semalam,” katamu, dengan mimik yang mengibakan. “Kamu tak marah, kan?”

Aku menggeleng, sambil tersenyum. “Tak apa-apa. Kau tak usah merasa bersalah. Aku tahu, semalam hujan,” kataku, lalu mengambil sebuah makalah yang telah terjilid rapi dari dalam tasku. “Kau juga tak usah khawatir. Aku sudah menyelesaikannya, kok. Sisa dikumpul saja.”

Kau mengecek hasil pekerjaanku. Perlahan, kau tampak semringah. Hingga seuntai senyuman, terukir di wajahmu. “Terima kasih banyak, ya. Aku tak tahu harus bilang apa. Ini pengorbananmu yang ke sekian kalinya. Dan aku yakin, tak akan bisa membalasnya.”

“Jangan berterima kasih. Anggap saja, ini memang sudah seharusnya,” sanggahku.

Kau tampak tersipu.

Seketika, aku ingin menyelisik kebenaran khayalku tentang dirimu semalam. “Apa tadi malam tidurmu nyenyak?” selidikku, sambil menafsir-nafsir bahwa kau akan menggeleng, kemudian menjelaskan bahwa kau sulit terlelap karena terbayang-bayang padaku.

Kau benar-benar menggeleng. “Semalam, aku tak sempat tidur enak,” katamu, kemudian menuturkan alasan yang tak sesuai dugaanku. Satu alasan yang tak aku suka. “Aku harus menemani Kak Reyon di rumah sakit. Ayahnya sakit, dan ia butuh teman untuk berjaga. Aku menemaninya sampai subuh. Memangnya kenapa?”

Dengan emosi tak terkendali, aku segera menimpali. “Bukankah sebagai seorang perempuan, kau sebaiknya pulang ke rumah sebelum tengah malam, dan tidur sebelum larut?” tanyaku, tak sadar menuturkan nasihat bak seorang ayah.

Sejenak, kau tampak heran dengan sikapku, tapi kemudian menjawab juga dengan sikap biasa. “Ya, benar. Aku juga tak suka begadang. Tapi kupikir, tak ada salahnya menemani dia begadang barang semalam untuk perihal yang memang perlu. Aku merasa harus melakukannya,” katamu, tanpa rasa bersalah, bahwa semalam, kau telah mengabaikanku. Tanpa sadar, kau telah berlaku tak adil.

Tak berselang lama, seorang lelaki, senior di kampus yang kau maksud, datang menghampiri kita. Dia hanya melayangkan senyuman padaku, sekenanya, kemudian bertutur padamu, “Aku berencana pergi belanja. Membeli beberapa keperluan untuk Ayah di rumah sakit. Kau bisa ikut, kan?”

Kulihat dengan kepahitan, kau mengiyakannya dengan begitu senang. Kau lalu menoleh padaku, kemudian berucap, “Maaf untuk ke sekian kalinya. Aku harus pergi. Maaf tak bisa hadir di kelas dan menemanimu mengumpulkan tugas.” 

Aku mengangguk bodoh. Bingung, seperti orang dungu yang tak waras.

Seketika, aku menyadari betapa tak adilnya hidup ini. Aku harus melanjutkan jejak pengorbananku untukmu, kala kau bersenang-senang dengan orang yang lain.

Tanpa basa-basi lagi, kau benar-benar menghancurkan khayalku bersamamu, “Sampai jumpa,” pungkasmu, sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Pergi, tanpa rasa berdosa.


Kasih Tak Sampai

Dosa-dosa membuatku terkenang padamu. Membayangkan kau yang harus menanggung rasa bersalah atas sikap diamku. Satu kejadian tentangku yang tak terjelaskan, sampai membuatmu menyalahkan diri sendiri. Sebuah cerita pilu tentang diriku, yang tak seharusnya kau ratapi dengan rasa iba, cinta, ataupun benci. Semua tak berkaitan denganmu, dan kau berhak mengabaikan kisah itu, dan aku.
 
Kita pernah berada di waktu yang sama, tapi dalam alur cerita yang berbeda. Kau menyertakan aku dalam kisahmu, tapi aku tak membalas seperti yang kau mau. Aku diam saja, sedang kau terus menghidupkan kita dalam angan-anganmu. Hingga akhirnya, kau menafsirkan diamku sebagai jawaban, bahwa aku punya perasaan yang sama padamu. Tapi sebenarnya, tidak. Aku tak mengharapkanmu. Dan aku diam, hanya karena takut kau kecewa.

Kupikir, jika sedari dulu aku sanggup menegaskan padamu kalau aku tak punya perasaan lebih dari sekadar rasa persahabatan, mungkin akhirnya tak akan sesengkarut ini. Kau hanya akan kecewa untuk sementara waktu, kemudian kita bersahabat lagi. Atau paling tidak, kau cuma berjarak dariku karena perasaan malu, bukan karena benci. Tapi tindakan bodohku yang terlanjur menggantungkan kebenaran itu, jadi rentan mambuatmu benci padaku, sampai mati.

Hingga tak terasa, hari demi hari terus berlalu, sedangkan anganmu tentang kita, semakin menggunung dan membatu. Kau terikat padaku bukan hanya karena kenangan atas cinta yang menggantung, tapi juga karena rasa bersalah atas apa yang telah menimpaku. Kau mencintaiku dengan tulus sebagaimana dulu, sekaligus membenci dirimu jika tak bisa mencintaiku apa adanya. Satu kondisi yang benar-benar menjerat batinmu untuk tetap padaku.

Terkenang lagi olehku, satu hari saat cintamu mulai dibalut rasa bersalah. Satu hari ketika aku hendak bertemu dengan seseorang, sembari menyerahkan sekotak kado. Satu hari yang bertepatan dengan hari ulang tahunmu. Dan di hari itu juga, aku yang mengendarai sepeda motor seorang diri, mengalami kecelakaan tunggal di jalan raya. Tragis. Indra penglihatanku terenggut seketika. Kau pun merasa bersalah, sebab menduga aku hendak menyampaikan kado ulang tahun untukmu.

“Maafkan aku, Reno,” katamu, sambil terisak, setelah kesadaranku pulih dan aku sadar hanya bisa melihat gelap. “Kau tak seharusnya beranjak menemuiku hari itu, Ren. Tidak seharusnya…”

Aku menggenggam tanganmu. Menguatkan perasaanmu. Seakan apa yang kau duga adalah kebenaran. “Livia, ini bukan salahmu. Keadaan ini telah menjadi takdirku. Tak usah salahkan dirimu,” kataku, terbata-bata, tanpa kehendak melugaskan bahwa kau bukanlah tujuanku hari itu, karena aku takut, hatimu jadi hancur lebur.

Seusai kejadian nahas itu, ada rentetan waktu yang berlalu dengamu. Kau setia hadir sebagai teman sejati, demi menguatkanku, agar ikhlas menerima keadaan. Bahkan kau rela menuntunku ke segala arah, menyetel musik atau membacakan cerita fiksi favoritku, sampai mengajariku menuntut langkah secara mandiri. Kau melakukannya dengan senang hati, seakan hendak mengimpaskan rasa bersalah yang tak seharusnya kau tanggung.

Sampai akhirnya, sampailah waktu saat kau terpaksa meninggalkanku. Kau beranjak ke negeri seberang untuk melanjutkan studimu. Pergi, dengan terlebih dahulu pamit dan memohon maaf padaku. Dua tahun kepergianmu, dan kita hanya berbagi kabar di bulan-bulan awal perpisahan. Pada sepanjang waktu yang lain, kau mampu bertahan diri tanpa tahu kabarku. Kuduga, kau belajar melepaskan diri dari rasa bersalah, hingga akhirnya melupakanku secara perlahan.

Ditinggal pergi olehmu, jelas membuatku kesepian. Apalagi setelah sosok ibu menyusul ayahku ke alam lain, juga setelah saudaraku satu-satunya merantau ke pulau seberang. Hanya kegiatan dan hiruk-pikuk di panti sosial, tempat pembinaan orang tuna untuk diberdayaakan, yang bisa menyita perhatianku untuk berpaling darimu. Apalagi, ada beberapa pegawai yang kadang-kadang sudi menamaniku mengobrol dan berbagi kisah.

Dan hari ini, kala aku menerka-nerka keadaaanmu di sana, seorang pegawai kembali menghampiriku di pojok ruang. Kudengarlah suaranya yang merdu dan menyenangkan. Suara indah yang mengisyaratkan sosok wanita muda yang berparas cantik. Satu tipikal suara yang baru kali ini kudengar. Hingga kupastikan, ia adalah seorang pegawai baru.

“Sedari tadi, kau tampak murung saja. Memangnya, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya dia, seorang wanita yang meminta dipanggil Pia, setelah kami melalui sesi perkenalan.

Aku menggeleng. “Tak ada apa-apa.”

Sontak, ia protes. Seakan tahu kalau aku memendam kisah yang merisaukan. “Ceritakan saja jika kau punya masalah, Reno. Menceritakan masalah pada orang lain akan membuat perasaan lebih tenang. Dan yakinlah, aku akan menjadi pendengar yang baik.”

Aku menggeleng.

“Aduh, jangan berdusta begitu,” sentilnya. 

Aku terdiam. Lidahku kelu.

Ia menuntun lagi, “Berceritalah.”

Entah bagaimana bisa, tiba-tiba, aku merasa ringan untuk bertutur. “Ada rasa bersalah yang kupendam untuk seseorang, dan aku masih memikirkannya saat ini,” kataku, lalu mengambil napas dalam-dalam.

“Tak usah sungkan. Teruskanlah,” pintanya.

“Dia mencintaiku, tapi aku tak bisa membalas perasaannya. Sampai suatu ketika, kecelakaan tragis merenggut penglihatanku, dan ia malah mempersalahkan dirinya atas keadaan diriku sendiri,” uraiku, terbata-bata. “Di hari nahas itu, sebenarnya, aku hendak menemui seseorang dan berencana memberinya sekotak kado. Dan seketika, ia mempersangkakan tujuanku beserta kado itu, adalah untuk dirinya.”

“Tapi sebenarnya…?” selanya, seakan tak sabar menunggu kelanjutan ceritaku.  

Lagi, aku menarik napas dalam-dalam. Menguatkan hati untuk mengutarakan inti rahasiaku. “Yang sebenarnya, aku hendak memberi kado untuk seseorang yang lain, yang hari itu, terbaring lemah di rumah sakit. Seorang wanita yang tepat setahun menjadi kekasihku. Seorang wanita yang di hari itu juga, meninggalkanku untuk selamanya, tanpa ada aku di sampingnya.”

Beberapa detik berselang, kudengar suara tangis darinya. Aku jelas tak bisa menebak alasan ia secengeng itu. Tapi aku yakin, cerita hidupku ini, mungkin sangat menyentuh baginya.

Dan, tak lama berselang, aku mendengar langkahnya pergi, menjauh dariku. Hingga beberapa menit berlalu, ia tak kembali. Aku tak tahu ke mana ia pergi.

Akhirnya, seseorang datang mendekatiku. Ia menyapa dengan lemah lembut. Dan dari suaranya, aku kutahu, ia bukan Pia, tapi Alni, seorang pegawai yang betah menjadi pendampingku selama ini.

“Apa Pia, si pegawai baru, telah pulang?” tanyaku, penasaran, kala ia mendorong kursi rodaku menuju ruang makan.

“Kalau yang kau maksud adalah seorang wanita yang menemanimu mengobrol beberapa saat yang lalu, ya, ia telah pulang. Ia pergi dengan tergesa-gesa. Katanya, ada keperluan mendadak,” tutur Alni.

Aku tiba-tiba merasa kehilangan.

“Tapi ia bukan pegawai. Padaku, ia mengakui sebagai seorang wartawan. Apa ia tak memperkenalkan dirinya padamu?” tanya Alni.

Seketika, aku jadi bingung. Pikiranku jadi liar.

“Oh, iya, tadi kau sebut siapa namanya?” selidik Alni lagi.

“Pia,” jawabku.

Alni tiba-tiba berhenti mendorong kursi rodaku. Seakan perlu mengecek sesuatu yang penting dan mendesak. “Kamu pasti salah dengar. Di sini, tertulis, namanya Livia Dinarti,” kata Alni. “Apa ia juga tak memperkenalkan namanya?”

Mendengar nama itu, seketika membuat mulutku tersekat. Udara seakan membeku, menyesakkan napasku.

Aku teringat pada dirimu, lagi, seutuh-utuhnya.

Mila

Pada rumah panggung yang lengang dan sepi, tinggalah Mila bersama seorang anak balita. Ia tiba dari kota seberang tiga hari yang lalu, dan berencana untuk menetap. Datang tanpa menemui siapa-siapa. Ia hanya bersua dengan rumah panggung dan seisinya, yang kini tampak semakin menua. Pemandangan yang membuat ia terkenang masa lalu dengan rasa sesal. Terkenang pada harapan kedua orang tuanya semasih hidup, yang tak mampu ia wujudkan.
 
Teringat lagi Mila pada keinginan orang tuanya, yang telah membesarkannya dari hasil berpetani. Mereka berharap agar ia menjadi sosok yang cerdik-pandai, mapan dalam soal ekonomi, juga berjodoh dengan lelaki baik dan bertanggung jawab. Tapi apa yang ia dapat, sungguh jauh berbeda. Ia pulang tanpa bersemat gelar akademik. Dan, ia malah menyandang status sebagai seorang janda di enam bulan usia pernikahan, setelah sang suami menceraikannya begitu saja.

Mila memang tak pernah berpikir untuk kembali ke kampung, apalagi pulang untuk menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam. Orang tuanya pun, tidak. Kepergian Mila ke kota, jelas atas desakan ayah-ibunya. Mereka rela berkorban harta-benda, agar kelak, Mila bisa mendapatkan pekerjaan yang bergengsi di bilik kantor. Sebuah posisi kerja yang pas dan sepantasnya untuk seorang perempuan. Namun kenyataan hidup berkata lain. Jalan yang ia pilih, telah mengantarnya pada akhir yang tak diharapkan.

Kini, ada kegalauan yang mendera perasaan Mila begitu dahsyat. Takut kalau-kalau ia tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi ia memiliki seorang anak yang jelas memiliki kebutuhan segala macam. Sedangkan bekerja sebagai petani, bukanlah pekerjaan yang bisa dilakoni perempuan secara baik. Termasuk juga Mila, yang sedari kecil, tak biasa mengurus kebun. Sampai sejak kedatangannya, ia hanya kuasa memandangi lahan perkebunan yang kosong di belakang rumah, tanpa tahu harus bertindak bagaimana.

Pagi ini, setelah membersihkan pekarangan rumah dari rumput liar, juga menata bunga yang bercabang sembarangan, Mila pun rihat di kolong rumah, di atas bale-bale bambu. Ia melepas penat, sembari mengayun sang anak yang kerap merengek. Ia merencanakan untuk beristirahat sementara waktu, sembari menyusun rencana dan menguatkan diri untuk segera menggarap kebun peninggalan ayahnya yang sempit.

Tekad Mila pun bulat. Ia hendak melakukan pekerjaan kotor itu sesegera mungkin. Tak peduli ia akan berpeluh di bawah terik, juga perih tergores benda-benda tajam. Jelas, ia tak ingin menunggu lama untuk memanen singkong dan sayur dari kebunnya sendiri. Paling tidak, hasil kerja keras itu, akan membuat uang simpanan yang ia peroleh sebagai pekerja serabutan di kota, tak terkuras habis. Atau malah, ia mendapatkan uang tambahan dengan menjual hasil panen yang lebih.

Syukur bagi Mila. Untuk beberapa waktu, ia bisa bernapas tenang. Semasih sang surya meninggi di titik tiga puluh derajat, rezeki datang tiba-tiba. Seorang wanita bernama Inggit yang ia tahu tumbuh besar di desa seberang, yang ia pun tahu sedikit latar belakang keluarganya, datang membawa semangkuk sup ubi dan sekantong ubi mentah. Perempuan bertutur lembut itu, juga membawa serta beberapa pakaian bayi, bekas anaknya sendiri yang telah bertumbuh. 

“Bagimana kabar anakmu?” tanya Mila, setelah mengucapkan kesan-kesan sungkan, terima kasih, dan basa-basi secara berulang dan panjang lebar.

Inggit tersenyum lepas. “Anakku baik-baik saja. Dia saat ini berada di rumah. Mungkin sedang bermain-main dengan Ayahnya.”

Mendengar pertanda keharmonisan keluarga Inggit, sungguh membuat perasaan Mila cemburu. “Sungguh beruntungnya kau mendapat suami yang baik dan bertanggung jawab,” tuturnya. Terkesan hendak berbagi keluh hati soal keluarganya sendiri yang berantakan. 

Inggit mencoba menepis pujian itu. Apalagi ia tahu dari suaminya sendiri, kalau Mila adalah seorang janda. Ia tak ingin melakukan perbandingan. “Tidak juga. Kadang-kadang, ia jadi kurang bersahabat. Tapi selama ini, sikapnya masih dalam batas yang wajar.”

“Tapi kau bahagia punya suami sepertinya, kan?” tanya Mila lagi.

Inggit mengangguk. Sedikit heran atas fokus pertanyaan Mila. “Sejauh ini, ia masih menjadi suami yang baik untukku, dan menjadi ayah yang baik untuk anakku. Aku akui, ia punya rasa tanggung jawab yang tinggi pada kepentingan keluarga,” katanya, tapi enggan balas bertanya untuk tema yang sama.

“Syukurlah. Andai saja suamiku sebaik suamimu, aku pastilah tak khawatir pada masa depan aku dan anakku sendiri,” keluh Mila, tanpa perlu ditanya.

Inggit pun jadi iba. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau tak perlu bersedih. Tak perlu kepikiran terus masa lalu. Lebih baik melakukan sesuatu demi masa depan anakmu,” tutur Inggit, tanpa menyadari kalau ia telah mengutarakan kalimat-kalimat serupa motivator.

Mila tampak murung.

“Kudengar-dengar, dulu kau sempat juga kuliah di kota. Kau sekampus dengan suamiku, kan?” tanya Inggit dengan sikap segan.

Seketika, Mila tersentak mendengar pertanyaan Inggit tentang masa-masa kuliahnya. Ada keengganan untuk berbagi kisah. Tapi ia tetap ingin terlihat ramah, meski ia harus menuturkan soal kepahitan hidup. “Ya, kami sekampus. Tapi kami punya pergaulan yang berbeda.”

Timbul keinginan Inggit untuk mengulik masa lalu suaminya lebih dalam. “Bagaimana pendapatmu tentangnya?” selidik Inggit, sedikit kaku. “Maksudku, apa di kota ia berperangai baik?”

Mila mengangguk. “Ya. Sepanjang yang kutahu, ia adalah lelaki yang baik. Ia ogah turut dengan tingkah liar anak-anak di kota. Ia termasuk mahasiswa yang tak banyak tingkah, berprestasi, dan juga disegani.”

Inggit tersenyum lebar. “Bagaimana soal kedekatannya dengan wanita? Maksudku, apa ia punya kekasih semasa kuliah?” tanya Inggit segera, tanpa ingin mengulur jeda. Tampak sangat penasaran.

“Aku tak tahu soal itu. Tanyakan saja padanya,” jawab Mila, seketika. “Memangnya kenapa?”

Inggit termenung sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu. Hitung-hitung, aku punya bahan singgungan saat kami bercanda,” katanya, sambil tersenyum.

Dan jelas saja, Mila menyimpan satu rahasia besar tentang suami Inggit. Ia tahu betul tentang lelaki itu. Sosok yang pernah memiliki perasaan untuknya, dahulu. Bahkan demi perasaan cinta, ia rela berkuliah di satu kampus yang sama dengan Mila. Hingga, ia pun mengutarakan maksud untuk mengajak Mila pulang kampung dan menikah, dengan janji akan menjadi sosok suami yang baik dan bertanggung jawab. Tapi nahas, Mila menolaknya mentah-mentah, demi gairah masa mudanya, juga demi seorang lelaki urakan, anak seorang bos perusahaan yang bergelimang harta.

Kau ini siapa? Mana mau aku menikah dengan orang kampung sepertimu. Tak ada sedikit pun niatku untuk pulang dan hidup sengsara di sana. Kau kira, bagaimana hidupku kalau menikah denganmu? Bahagia? Paling juga kita hidup sengsara dari hasil berkebun yang nihil! Pokoknya, jangan lagi kau katakan soal perasaanmu padaku. Aku tak suka!

Demikianlah kata-kata Mila. Ia mengucapkan itu secara emosional. Satu adegan yang masih membekas di memorinya sampai saat ini. Sumpah serapah yang ia sesali, mungkin untuk seumur hidup.

Berselang beberapa detik selanjutnya, Inggit pun membuyarkan keheningan. “Oh, iya, maksud lain saya ke sini, sebenarnya untuk memberitahukan padamu, kalau kau perlu menghadap ke kantor kepala desa besok. Kau butuh didata ulang sebagai penduduk di sini. Suamiku yang berpesan begitu,” tutur Inggit, sambil tersenyum. “Mungkin kau sudah tahu, suamiku adalah kepala desa di sini.”

Dan seketika, kekalutan melanda perasaan Mila, semakin dahsyat. Ia menggguk pelan, kemudian berucap kaku, “Aku usahakan, kalau tak ada halangan.”

Dalam hatinya, Mila jelas tak kuasa membayangkan bagaimana suasana pertemuannya dengan seorang lelaki, suami Inggit, esok hari. Betemu dengan seseorang lelaki yang pernah memiliki kisah tak sejalan dengannya.

Detik demi detik berganti. Inggit kemudian pamit dan pergi, meninggalkan Mila bersama rahasianya.

Matahari kian meninggi. Pagi telah lewat. Dan tiba-tiba, Mila enggan berurusan dengan kebun di belakang rumah.

Tentang Nama

Mataku tertuju pada layar televisi. Menyaksikan kerumunan orang yang hendak mengamati seseorang. Tampak, mereka bergumul di ruang sidang. Di sisi belakang, ada yang hadir untuk mendukung, ada juga untuk melaknat. Sisanya adalah para wartawan yang dicap independen. Sedang di posisi depan, ada yang duduk sebagai pembela, ada pula sebagai penuntut. Di tengah-tengah, duduk seorang hakim dengan sikap tenang, yang terus saja bertanya pada si terdakwa di pusat lingkaran manusia.
 
Hingga, kejanggalan pun tampak terjadi di ruang sidang. Si terduga koruptor yang jadi pusat perhatian, hanya tunduk, tak berdaya. Diam saja, dan hanya mendengung untuk setiap pertanyaan. Merespons dengan gelengan dan anggukan kepala saja, ia tak mampu. Seakan-akan hakim dan orang yang hadir di ruangan, juga penonton televisi, adalah semut-semut yang tak harus diacuhkan. Padahal, banyak yang menanti kata-kata dari mulutnya. Banyak yang penasaran, apakah ia masih punya alibi untuk lepas dari jeratan hukum, atau tidak. 

“Apakah nama anda Setia Negara?” tanya hakim dengan tegas.

Lagi-lagi, ia masih dengan sikap yang sama. Hanya mematung, seperti anak ayam kedinginan.

Hakim tampak bingung. Pemeriksaan tim dokter telah memastikan bahwa si terdakwa sehat untuk menjalani sidang, tapi responsnya sungguh mengecewakan.

Seorang teman di sampingku, Jido, menggerutu. “Dasar penjahat bejat, pencuri uang rakyat! Sudah nyaris ketahuan, masih saja berkelit!”

Aku tak menggubris kekesalan Jido yang sarat dengan emosi. Aku punya dugaan yang serupa dengannya, tapi aku tak ingin berlebihan. Kuanggap saja tanyangan itu serupa sinetron, yang tak asyik tanpa adegan dramatis. Kuyakini saja dengan sabar, bahwa semua akan sampai pada sesi ending, seperti seharusnya. Kupikir, sungguh merugi jika emosi dihabiskan untuk menanggapi seseorang yang tenang-tenang saja menyikapi permasalahnnya. Sungguh merugi jika bermasalah atas orang yang bermasalah. 

“Aduh! Dia kira kita ini bodoh? Masa namanya saja dia lupa? Kurasa, ke depan, ia punya rencana untuk pura-pura amnesia, agar bisa lepas dari jeratan hukum. Aduh…, dasar penjahat!” kesal Jido lagi.

Untuk luapan emosi itu, aku masih tak berhasrat menanggapi. Kurasa, Setia belum tentu pura-pura sakit, termasuk saat ia tak mengakui namanya sendiri. Kuduga kuat, ia punya nama lain, semacam nama panggilan yang tak semua orang tahu. Kemungkinan besar, ia menancapkan nama itu di benaknya saat hakim melontarkan tanya. Dan salahnya, hakim tak memperjelas, apakah nama yang ia pertanyakan adalah nama panggilan, atau nama resmi sesuai data kependudukan.

Dugaanku bukan tanpa alasan. Semua tahu, Setia bukan orang ternama sejak lahir. Dia dalah orang kampung yang harus berjuang membesarkan namanya sendiri. Dan kutaksir, saat ia masih balita, ia punya nama yang tak sekeren sekarang. Sebuah nama kampung, yang terdengar kampungan. Mungkin Lakita, Mujino, Muidan, atau apalah. Namun, atas harapan besar orang tuanya, ia pun berganti nama menjadi Setia Negara saat mulai masuk sekolah, agar kelak, ia menjadi seorang pengabdi yang setia untuk negaranya.

Sebagaimana kesepahaman semua orang, nama adalah doa dan tanggung jawab yang harus dijaga. Harapan dan cita-cita pendahulu, tersirat di dalamnya. Maka wajar jika setiap orang berusaha menjaga namanya baik-baik. Menjaga agar namanya tak dilekatkan pada citra yang buruk. Dan itu pula yang dilakukan Setia Negara. Ia berusaha melindungi nama administratifnya yang popular dari predikat koruptor, sampai harus berkelit dengan menggunakan nama lainnnya untuk sementara waktu.

“Seumur-umur, aku baru melihat ada orang yang benar-benar tak tahu malu! Si Satia bejat! Kapan bangsa kita maju kalau orang-orang semacam dia masih hidup dan berkembang biak di negara ini?” serapah Jido, seperti mengutuk.

Dan akhirnya, aku tergelitik juga menanggapinya. Berhasrat menyampaikan nasihat, agar ia berhenti menggerutu dan menonton dengan sabar. “Kamu tenang saja. Apa yang dia lalukan, sudah sewajarnya. Sudah menjadi naluri setiap orang untuk melakukan apa pun agar dipandang baik.”

Dia langsung menyanggah, “Tapi kasus ini beda! Orang kalau sudah diduga, ya, biasanya mengaku saja. Tapi ini, sudah terpojok, malah berkelit dengan taktik murahan. Dasar!”

Aku menepuk-nepuk pundaknya. “Orang ternama, semacam wakil rakyat, jelas punya pertaruhan besar atas nama baiknya, kawan. Apalagi disorot kamera begitu banyak. Siapa yang rela, dengan cuma-cuma, mengaku sebagai seorang pencuri uang rakyat? Siapa yang tega nama baiknya sekeluarga, tercoreng begitu saja?” terangku, berharap emosinya segera mereda. “Belum lagi namanya baik, Setia Negara, sedangkan ia diwakwa melakukan korupsi, sebuah tindakan yang jelas menghianati negara.”

Jido menyengir. “Ah, jelas orang ini tak punya nama baik lagi! Dia sudah hancur, beserta nama buruknya! Setia Negara tak punya harga lagi!”

“Kurasa tidak begitu, kawan,” sanggahku seketika. “Ini hanya persoalan nama. Yang perlu ia lakukan hanyalah meminta perubahan nama secara formil, sehingga ia punya landasan untuk menyangkal diri sebagai Setia Negara. Mungkin bisa jadi Maling, Dusta, Munafik, atau Korup. Jika begitu, tak perlu ia membela nama baiknya sebagai Setia Negara.

Jido mengangguk-ngangguk, kemudian tertawa terbahak-bahak.

Akhirnya, di layar televisi, tampak, sidang pun usai. Setia Negara meninggalkan ruang tanpa komentar apa-apa. Masih dengan ekspresi yang tak ada gairah.

“Amir, sekarang jam berapa,” tanya Jido padaku.

Aku menilik jam tangan. “Jam 1 lewat 2 menit.”

Raut wajahnya tampak gusar. “Aduh! Semalam, kita kan sudah sepakat dengan teman-teman untuk mengadakan rapat persiapan tepat jam 1, sebelum kita turun aksi sore nanti. Ayo berangkat sekarang! Sebagai kordinator aksi, kau harusnya hadir tepat waktu!”

Aku menanggapi sekenanya. Kurasa, ia bersikap emosional lagi, dan tak baik dibalas dengan sikap emosional pula. “Nanti saja. Santailah. Tunggu beberapa saat lagi.”

Ia berdecak-decak. Seperti melihat seorang anak kecil yang telah menumpahkan segelas kopi. “Kau baiknya segera ke pengadilan, kawan. Mohonkanlah pergantian nama untuk dirimu sendiri. Mungkin jadi Makmum atau Kacung!” katanya.

Untuk kali ini, lawakannya tak terdengar lucu. Sedikit menyinggung.

“Untung namaku Jidodi. Nama yang tak jelas. Artinya saja tak ada,” pungkasnya, kemudian mendengus, lalu tertawa.

Bukan Hanya Untukmu

Tak ada yang berubah dengan sifatmu. Kau masih seperti dulu, perempuan sederhana yang tak banyak mau. Enggan meminta, sungkan menerima. Begitu selalu. Hingga tak terhitung sudah, berapa banyak hari raya berlalu, tapi kau tak merengek untuk sebuah hadiah. Tak ada pakaian baru di hari lebaran, tak ada kue dan makanan lezat di peringatan hari pernikahan kita, bahkan tak ada kado apa-apa di hari ulang tahunmu.  
 
Kau memang berbeda dari ibu rumah tangga yang lain. Tampak bersahaja dalam segala hal. Tak perlu mobil mewah untuk mengantarmu ke mana saja. Tak ada hasratmu menghias rumah dengan guci dan pernak-pernik berbahan keramik lainnya. Bahkan, tak ada nafsumu mengoleksi sepatu dan tas bermerek dengan harga yang tinggi. Kau tampak merasa cukup dalam kesederhanaan. Tampil dengan dandanan seadanya, serta daster bermotif batik.

Menyaksikan hasrat duniamu yang redup, kadang membuatku merasa kurang berarti. Kau seharusnya meminta lebih dibanding apa yang selama ini kau terima. Kau tahu sendiri, aku tak bisa disetarakan dengan para tetangga yang menggantungkan hidupnya pada otot. Aku adalah seorang pegawai negeri yang dilingkupi kemewahan. Aku adalah seorang atasan berpangkat, yang dengan mudah saja menghadiahkanmu baju baru, perhiasan, ataukah mobil, jika kau mau.

Dan akhirnya, tak ada dayaku mengubah watakmu yang serba biasa-biasa saja. Aku terpaksa menerima diriku sebagai sosok suami yang tak kau butuhkan lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasarmu. Aku menyerah mengupayakan apa-apa untukmu, sebab tahu, kau telah bahagia dengan kebiasaan yang biasa, sampai kau tak beselera lagi menjajaki kemewahan demi kemewahan. Kesederhanaan telah cukup bagimu, sebagaimana cara hidup orang-orang desa.

Kuingat lagi di masa lampau, setelah kuutarakan perasaan kepadamu, seorang gadis yang bekerja sebagai pramusaji di warung sederhana. Tanpa rasa takut tentang masa depan, kau memintaku segera menikahimu, meski aku hanyalah seorang sarjana yang belum punya pekerjaan. Alasanku bahwa kita butuh rumah, juga tabungan untuk memulai rumah tangga, tak kau terima. Katamu, rezeki akan mengalir sendirinya, semakin deras, saat kita telah terikat dalam tali pernikahan. 

Dan waktu itu, aku menyerah dan mengalah pada keinginanmu. Hatiku telah terperangkap pada wajahmu yang manis, dan aku takut kau menjadi milik orang lain. Aku pun segera menghadap pada orang tuamu dengan bekal materi yang nihil. Dan tanpa rintangan apa pun, mereka menyambut niat baikku begitu saja, layaknya orang desa yang tak mau pusing soal harta dan kasta sosial, asalkan anak mereka bahagia. Hingga akhirnya, aku menikahimu tanpa beban dan tuntutan apa-apa.

Kini, di tahun ke-22 usia pernikahan kita, kau masih saja sederhana, seperti dulu. Tapi keadaan telah banyak berubah, dan aku malah ingin kau tetap seperti itu. Bukan agar kau bersetia pada jati dirimu, tapi demi aku yang tak bisa lagi memberimu lebih dari seadanya. Aku punya kepentingan sendiri, yang menuntut penghasilanku lebih banyak, lagi dan lagi. Sesuatu yang sebaiknya tak kau tahu, sebagaimana wanita pada umumnya.

“Genteng rumah bocor, Pak. Perlu diperbaiki. Dinding rumah juga mulai retak. Butuh dicat ulang sepertinya,” tuturmu, sambil tersenyum. Sebuah permintaan yang kau ungkapkan dengan kesan menyarankan.

Kutoleh atap serta dinding rumah, dan memastikan kau memang mengungkapkan keluhan yang wajar. “Aku akan memperbaikinya segera, Bu. Aku pastikan, besok, tukang-tukang akan segera datang membenahi,” kataku, sambil membelai rambutmu yang tampak diselingi helaian berwana putih.

Kau tersenyum, hingga pipimu yang keriput dan terhias bintik-bintik hitam, merentang kaku. “Apa boleh aku meminta sesuatu lagi, Pak?” tanyamu, sambil melepas batuk yang mengering. Mengisyaratkan penyakit paru yang kau idap dan tak sembuh-sembuh, meski telah berobat dengan segala cara.

Aku lalu menyerongkan badan, menghadap kepadamu. “Katakan saja, Bu. Kalau aku sanggup, pasti kupenuhi.”

Bola matamu liar. Tampak segan. “Aku minta lemari dan kasur baru, Pak.”

Aku pun jadi berpikir berat. Jelas, aku masih sanggup memenuhi permintaan itu. Dana tiga juta rupiah, sepertinya lebih dari cukup. Sedang tabunganku masih melampaui jumlah itu. Tapi kupikir-pikir lagi, aku harus berhemat. Harus ada cadangan untuk membiayai kebutuhan yang lebih penting. Apalagi, kini, kau bukan tanggunganku satu-satunya. “Kalau bisa, kita benahi atap dan dinding rumah dulu, Bu. Nanti setelah itu, aku pikir-pikir lagi,” balasku, dengan lagak meminta dimaklumi.

Mendengar penuturanku, tak membuat wajahmu berubah murung, apalagi bersungut-sungut. Kau tampak biasa saja. “Tak apa-apa kalau begitu, Pak. Tak usah pusingkan,” katamu dengan tenang dan menenangkan. “Aku tahu kondisi keuangan Bapak harus dijaga. Apalagi Bapak perlu mencukupkan tabungan untuk membeli sebuah rumah di tengah kota. Bapak tak usah memaksakan permintaanku. Apa pula gunanya membeli perabotan dan menghias rumah sedemikian rupa, jika tak ada seorang pun yang akan mewarisinya.”

Aku terenyuh mendengar penuturanmu.

Mimikmu sontak menyiratkan kesedihan. Dan lagi, kau kembali menyalahkan dirimu untuk ke sekian kalinya. “Maafkan aku, Pak, sebab tak bisa menghadiahkan seorang anak pun untuk Bapak.”

Aku memelukmu seketika, bersama rasa bersalah, sebab telah menolak permintaanmu yang sederhana dan jarang-jarang, hingga kau harus menyalahkan dirimu lagi. “Jangan berkata seperti itu, Bu. Aku yang seharusnya minta maaf, sebab tak bisa memenuhi permintaan orang yang kusayangi, satu-satunya.”

Kau lalu menggenggam tanganku. “Bapak tak usah merasa bersalah kepadaku. Permintaan itu, juga bukan untuk aku, tapi untuk Leni, sepupuku. Bapak masih ingat dia kan? Sepupuh jauhku dari kampung yang saat ini tinggal di tengah kota?”

Seketika, aku terenyuh mendengar nama itu. Aku tak tak bisa berkata-kata, dan hanya kuasa menganggukkan pertanyaanmu.

“Lima hari ke depan, ia akan datang ke mari. Tidak berserta suaminya. Katanya dia rindu bertemu denganku.” Kau berucap dengan wajah berseri-seri. “Ya, sebagaimana baiknya, aku ingin dia merasa nyaman tinggal di rumah ini.”

Aku serasa kalang-kabut mendengar kabar itu. Seorang tamu istimewa akan datang, tapi aku baru mengetahuinya hari ini.

Kau lalu berdeham. “Oh, iya, kalau bisa dan tidak memberatkan. Aku minta Bapak menyisihkan sedikit uang untuk membeli sejumlah mainan, kereta anak, dan bahan makanan untuk balita Leni, sebelum ia datang. Besok, biar aku yang pergi belanja. Bapak tahu sendiri, ia mempunyai seorang anak perempuan yang mungkin telah berumur dua tahun lebih.”

Dan untuk permintaanmu itu, aku tak bisa menolak. Aku rasa, keinginan anak kecil, lebih penting daripada kebutuhan orang dewasa. “Kalau itu, harus, Bu,” kataku, masih dengan sikap yang kaku.

“Terima kasih, Pak,” katamu. Terlihat sangat bahagia. “Ah, akhirnya aku bisa memanja bayi beberapa hari lagi.” Kau tampak kegirangan, lalu menoleh padaku. ”Kini aku sadar, Pak, mungkin ada baiknya, Bapak mencari seorang wanita lain untuk dijadikan seorang istri. Aku sudah renta, dan dipastikan, tak akan bisa melahirkan keturunan.”

Seketika, aku tersentuh mendengar tulusnya pengorbananmu.

“Jika saja Leni belum menikah, aku sarankan pada Bapak untuk menikah saja dengannya,” ketusmu, sebuah kalimat yang kutaksir sebagai candaan, tapi kau tampak mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh.

“Tak usah bahas soal itu, Bu,” pintaku, sambil mewanti-wanti bagaimana suasana rumah lima hari ke depan, kala seorang wanita datang membawa seorang anak yang terbiasa menyapaku dengan panggilan “ayah”.

Yang Tercuri

Hujan deras turun ketika Risma sampai di pekarangan rumahnya. Hujan disertai angin kencang, bersilang-silang. Membuat ia enggan turun dari ruang kemudi mobil cepat-cepat. Takut terkena percikan air atau terpaan debu yang bisa membuat pakaian mewahnya tampak kumal. Ia menunggu saja sampai keadaan tenang, sembari mengurai pakaian dan melepas sepatunya, untuk diamankan.
 
Ketika hujan mengambil jeda, Risma segera keluar dari mobil. Menginjakkan kakinya pada lantai yang basah, kemudian berlari-lari kecil. Tetap bersikap awas, kalau-kalau ada benda yang menjegal kakinya yang halus. Tapi belum juga sampai di depan pintu, bulir hujan yang menyerong akibat tiupan angin, sempat menjilati roknya. Maka dengan perasaan kesal, ia bergegas melampaui pintu, kemudian menutupnya rapat-rapat. 

Setelah berada di ruang tamu, mata Risma sontak tertuju pada lantai yang kotor. Ada bekas kaki bercetak tanah di mana-mana. Keadaan yang membuatnya tambah suntuk. Ia pun mencari keberadaan sang anak yang mungkin telah puas bermain petak umpet tanpa batas. Sesekali ia menyahut, setengah berteriak. Tapi sia-sia. Tak ada tanda-tanda kalau sang anak akan segera datang menghampirinya. 

Jadilah Risma geram. Dengan emosi yang melunjak, ia bertekad menemukan seseorang yang harus bertanggung jawab. Ditelusurinya jejak langkah di lantai untuk segera memberi hukuman pada si pelaku. Sampai akhirnya, ia terhenti di depan lemari yang terbuka dan berantakan. Kenyataan yang membuat ia mulai curiga, bahwa ia telah kemalingan. Hingga tak berselang lama, didapatinya sejumlah uang dan perhiasan di antara pakaian, lenyap entah ke mana.

Atas harta benda yang telah raib, Risma pun dirundung kesedihan. Sungguh berat ia terbayang-bayang, bahwa di pesta pernikahan tetangga dua hari ke depan, ia akan hadir tanpa perhiasan yang memadai. Wibawa sebagai wanita berkasta, jelas akan keok. Maka disampaikannyalah kabar buruk itu kepada sang suami, sembari berharap ada langkah jitu demi mengembalikan perhiasan miliknya.

Setelah berkabar dan berkeluh kesah, Risma lalu menyeret tubuhnya ke ruang makan. Duduk menghadap ke meja makan yang menampilkan hidangan tak lengkap. Hanya ada nasi dan sayur, sisa sarapan pagi. Keadaan yang membuatnya jadi semakin lesu, hingga untuk memasak saja, ia ogah. Hanya kuasa menggoyang-goyangkan segelas air putih, meneguknya sesekali, sambil memikirkan nasibnya di pesta nanti, dua hari lagi.

Dan dari arah luar rumah, terdengarlah suara sahutan seorang perempuan. Berpikir itu sesuatu yang penting, Risma pun bergegas mengecek dengan perasaan malas. Ia kemudian mengintip di balik jendela. Sampai terlihat olehnya, seorang wanita tua berdiri lesu di depan pagar rumah, sambil bertumpu pada tongkat. Perempuan itu, terlihat menenteng keranjang berisi keripik. Tipe penjual yang dianggap Risma seperti pengemis. Penjaja yang berharap jajanannya dibeli atas rasa kasihan.

Risma pun memerhatikan si nenek tua sejenak. Mengawasi kalau-kalau si tua itu menunujukkan gelagat mencurigakan, seumpama hendak melakukan tindakan kriminal. Sebagaimana anggapan umum yang juga ia benarkan, orang semacam nenek tua, kadang hanyalah pencuri yang berkedok penjual sembari mengemis-ngemis. Mendatangi rumah orang untuk mencuri, atau sekadar mengamati keadaan untuk melakukan perampokan di lain waktu.

Tanpa ingin menunggu lama, Risma pun mengambil tindakan. Ia kemudian keluar ke teras, memberikan tanda pengusiran pada si nenek yang telah berkali-kali mendentingkan gembok pagar. Berharap adegan itu segera lenyap dari pandangannya, sehingga ia bisa merenung tenang. Dan setelah memastikan si nenek pergi, Risma pun masuk ke dalam rumah. Membentangkan gorden jendela, juga memastikan pintu terkunci. 

Dan sebagaimana inginnya, ia  kembali termenung pada satu kursi di ruang makan, tanpa mau memusingkan keadaan dan akhir perjalanan si nenek yang akan melangkah entah ke mana, di tengah hujan yang masih deras. Ia tak mau peduli, bahwa di tengah hujan dan angin ribut, payung tak akan mampu menepis bulir air sepenuhnya. Ia tak mau peduli, bagaimana basah dan dingin akan mengepung tubuh si nenek, sampai menggigil. 

Setengah jam berlalu sejak kedatangannya, Risma masih malas saja melakukan apa-apa. Ia hanya duduk berkhayal, menyetel siaran radio silih berganti, sambil meneguk air sedikit demi sedikit. Hanya beranjak jika tubuhnya terdesak ingin buang air kecil, kemudian kembali lagi pada posisi semula. Semangat hidupnya hilang, kecuali untuk berharap perhiasannya kembali, atau menunggu suaminya pulang dan memberikan solusi jitu.

Setengah jam berikut, suaminya, Milan, tiba dengan pakaian setengah basah. Ia datang dengan napas terburu-buru, seakan baru saja berlari jauh. Segera ia meminta maaf untuk kedatangannya yang lambat, kemudian bergegas mengecek isi rumah. Ia hendak memastikan, kalau informasi tentang pencurian, bukanlah khayalan Risma yang kadang terlalu paranoid kehilangan harta benda. Dan akhirnya, ia pun yakin, itu adalah kebenaran. 

Segera, Milan kembali ke hadapan istrinya, lalu berusaha memberikan ketenangan. “Ibu sabar saja. Pasti ada cara agar perhiasan Ibu kembali. Kalau perlu, kita lapor ke polisi,” kata Milan, sambil menggenggam tangan istinya. “Ya, kalau pun tidak, besok-besok, biar aku belikan yang baru.”

Risma tetap memberengut. Menegaskan keinginannya agar perhiasan itu kembali dengan utuh, seperti semula.

Beberapa detik, mereka saling mendiamkan. Larut dalam menungan masing-masing.

Melihat keadaan istrinya yang semakin lesu, di antara hidangan sisa yang tak mengggairahkan, Milan pun menyodorkan sekantong plastik yang berisi lebih dari sepuluh bungkus keripik. “Ibu kelihatannya lapar. Makanlah. Ini baik sebagai pengganjal perut sementara. Nanti setelah hujan reda, aku belikan makanan berat di warung kesayangan Ibu,” tutur Milan, kemudian menyobek sebungkus keripik pisang untuk istrinya. “Hari ini, Ibu tak usah masak.”

Risma menyambut sodoran suaminya. “Beli keripik banyak begini di mana?” tanya Risma, lesu, sambil melahap potongan pisang rasa keju, satu per satu.

“Aku beli dari seorang nenek tua di jalan, sepulang aku ke sini. Aku kasihan melihat ia yang harus menjajakan jualannya di tengah hujan yang deras. Dia terlihat lemah dan menggigil. Pakaiannya basah,” cerita Milan.

Sontak, Risma menyimak dengan serius.

“Ia tampak lemah. Kuduga, ia sakit. Aku pun menawarinya ke puskesmas. Tapi ia menolak. Maka kuputuskanlah untuk memberi tumpangan hinggga sampai di rumahnya,” lanjut Milan, sembari turut menyantap keripik bawaannya. “Ia sangat berterima kasih padaku, sampai memaksa agar aku menerima keripik jualannya secara cuma-cuma. Jelas saja aku menolak.”

Risma merasa terenyuh, sembari terus menyimak kelanjutan cerita yang dituturkan suaminya.

“Aku lalu memberinya bayaran untuk keripik yang ia berikan padaku. Aku memberinya bayaran yang lebih. Tapi ia menolak, dan hanya bersedia mengambil bayaran yang sewajarnya. Aku tak bisa memaksa,” sambung Milan lagi, lalu tersenyum, terkenang.

Seketika, Risma merasa terkutuk atas prasangka buruknya sendiri, beberapa saat lalu.

“Aku sangat kasihan padanya,” tutur Milan, dengan sepenuh hatinya. “Aku kadang heran, bagaimana orang tak mau peduli pada orang tua semacam itu. Orang-orang tampak tak berselera menyedekahi atau sekadar membeli jajanan mereka. Bahkan kukira, nenek tadi terpaksa menerobos hujan sebab tak ada orang yang sudi memberinya teduhan. Sungguh ironis, semakin maju kehidupan, ternyata membuat orang semakin abai pada sesama. Mudah-mudahan keluarga kita dihindarkan dari sikap semacam itu.”

Cerita penuh amanat dari sang suami, sontak membuat Risma merasa bersalah setengah mati. Bahkan rasa bersalahnya itu, mampu mengalahkan rasa kehilangan yang sedari tadi melandanya. 

Risma jadi tak kuasa berkata-kata. Ada pergolakan di dalam batinnya, tentang memberi dan kehilangan, atau soal ego pribadi dan kepedulian sosial. Ia merasa telah kehilangan dirinya sendiri. Hilang, bersama rasa cintanya pada benda yang lenyap entah ke mana. 

Mereka tak saling bercakap untuk beberapa saat. Hanya terpaku pada alur pikirannya masing masing.

Seketika, Milan memecah keheningan. Ia menuturkan satu langkah jitu demi menemukan si pencuri dan mengembalikan perhiasan sang istri. “Setahuku, tetangga sebelah telah memasang CCTV beberapa hari yang lalu,” katanya, semringah. “Aku yakin, identitas para pencuri akan segera terkuak dengan rekaman CCTV itu.”

Risma tampak terkejut.

“Kukira, meminta rekaman CCTV pada tetangga sebelah, lalu diserahkan kepada pihak kepolisian, adalah langkah terbaik,” kata Milan, tegas.

Mendengar soal rekaman, membuat Risma teringat sikapnya di teras rumah, pada lebih dari satu jam yang lalu. Itu jelas membuatnya berat hati menerima rencana sang suami. Ada sesuatu yang harus disembunyikannya di saat ia seharusnya mencari sesuatu yang lain.

Milan beranjak, mungkin untuk memulai rencananya.

Dan lagi, Risma masih terdiam. Hanya termenung.