Rabu, 31 Mei 2017

Tak Ada Rasa

Ada kehebohan di lingkungan kampus. Bukan karena tawuran antarmahasiswa, cuma sebuah keanehan kecil: Jinggo, si anak pemalu yang sering diolok-olok atas penampilan culunnya, tiba-tiba berubah drastis. Rambutnya tak lagi dibelah dua, tapi ditegak-tegakkan. Celana dan bajunya pun, modis nan bermerek. Bahkan dengan percaya diri, ia telah berani menegakkan badannya dan memandang lurus ke segala arah.
 
Kehebohan semakin menjadi-jadi saat orang tahu, Jinggo sanggup berbasa-basi dengan lagak mencurigakan di depan seorang wanita. Padahal, sepanjang waktunya sebagai mahasiswa, ia terkenal gugup setengah mati jika berhadapan dengan kaum hawa. Bahkan banyak mahasiswa yang iseng menyapanya dengan panggilan Jiho, Jinggo Homo, karena ia tampak tak bernyali dan berhasrat pada perempuan. Tapi serangkaian anggapan dan julukan itu, serasa sudah tak pantas untuknya sekarang.

Tak tanggung-tanggung, Jinggo tampak melakukan pendekatan pada Julia, mahasiswi idaman warga kampus. Jika pada awalnya, para mahasiswa menilai kedekatan keduanya cuma sebatas teman biasa, sekadar partner dalam mengerjakan tugas kuliah, maka akhirnya, mereka harus mengaku salah tebak. Dengan mudah, mata-mata sinis mereka bisa melihat Jinggo dan Julia pulang beriringan, makan bersama di kantin, atau sekadar becanda-ria di segala tempat.  

Hubungan Jinggo dan Julia, tak pelak, merisaukan banyak mahasiswa, terutama mereka yang sedari awal menyimpan harapan besar pada Julia. Kecewa bukan karena kalah saja, tapi juga karena merasa dipermalukan. Secara kasat mata, mereka bisa memvonis kalau Jinggo tak serasi dengan Julia. Bagaimana pun, Jinggo tak memiliki kelebihan apa-apa, meski ia telah berusaha menutupi segala kekurangan pada dirinya sendiri. Sedang Julia, tampak menawan sedari dulu.

Kerisaukan warga kampus semakin tak terbendung, mengingat Julia pernah memadu kasih dengan seorang laki tampan bernama Juan. Dan jika penampilan Jinggo dibandingkan dengan Juan, maka perbedaannya bak langit dan bumi. Juan yang paling getol memanggil Jinggo dengan Jiho, sungguh menawan di mata para wanita. Namun apa mau dikata, Julia rela memutuskan hubungan dengannya, dan malah mengikatkan diri pada Jinggo.

Bak pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, hari demi hari, hubungan Jinggo dan Julia semakin mesra saja. Seusil apa pun para warga kampus menghujat dan menggungjingkan hubungan keduanya, tetap saja tak berpengaruh apa-apa. Jinggo telah berevolusi menjadi penakluk hati wanita. Ia telah menggenggam hati Julia, bahkan tampak dibuatnya semakin berbunga-bunga. Hingga orang-orang pun berani bertaruh, kalau Julia mungkin lebih tersakiti jika saja keduanya terpisahkan.

Dan sampailah waktunya, Jinggo handak mengulik isi hati Julia atas hubungan mereka, setelah baru sehari lalu, mereka resmi mengikrarkan diri sebagai pasangan kekasih. “Apa kau tak risih menyaksikan orang-orang terus membicarakan hubungan kita?” selidik Jinggo, dengan kegugupan yang sampai kini, belum sepenuhnya berhasil ia redam. Ia bertanya tanpa sekali pun memandang mata Julia lebih dari sedetik.

Julia pun menoleh pada Jinggo yang duduk tepat di depannya. Mereka hanya dipisahkan sebuah meja kantin. “Kalau yang kau maksud adalah omongan orang-orang kalau kita tak serasi, itu tak masalah bagiku. Itu kan penilaian mereka. Yang pasti, hubungan ini, adalah urusan kita berdua. Kalau kita sama-sama senang, tak ada urusan dengan mereka.”

Jinggo sedikit tergugah dengan penuturan Julia. “Apa kau benar-benar serius dengan hubungan kita?”

“Iya,” tegas Julia. Matanya membeliak. Jelas ia heran mendengar Jinggo meragukan kesungguhannya. “Kau sendiri bagaimana?”

Dengan kekakuan yang sangat, Jinggo pun menuturkan kadar perasaannya sedari dulu. “Maafkan aku. Mungkin benar kata orang-orang kalau aku tak pantas untukmu. Meski pun kau mengingkari anggapan mereka, kurasa itu belum cukup untuk kelangsungan hubungan kita,” katanya, kemudian terdiam sejenak, menelan ludahnya yang tiba-tiba tertahan di tenggorokan. 

“Maksudmu?” Julia bertanya seketika.

Jinggo menatap mata Julia sejenak. Ia hendak memastikan kalau gadis itu telah siap menerima ungkapan perasaannya. Sebuah kejujuran yang mungkin menyakitkan. “Jujur, kurasa, hatiku tak tertuju padamu. Aku tak bisa pura-pura untuk terus menyenangkan hatimu setiap waktu. Aku tak ingin mempertahankan hubungan kita dalam kemunafikanku. Aku ingin tentang kita, cukup sampai di sini saja.”

Julia tertunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang tawar; tidak sedih ataupun gembira. Ia melewatkan beberapa detik untuk mengonsepkan balasan yang pantas untuk Jinggo. “Kalau itu maumu, aku tak apa-apa. Kau tahu sendiri, perasaan memang tak bisa dipaksakan. Aku hanya berharap, kau tetap menganggapku sebagai teman baik setelah ini.”

Mendengar balasan Julia, Jinggo pun terheran. Ia tak menyangka kalau Julia begitu legowo menerima keputusannya. Tapi semua telah diputuskan. “Kita akan tetap berteman,” katanya. “Terima kasih kau telah memahamiku.”

Tak berselang lama, Jinggo pun pergi, tanpa membawa suka-duka yang berlebihan. Dalam hatinya, terbersit satu kemenangan, sebab ia telah berhasil menjadi kekasih Julia, meski sekarang tidak lagi. Setidaknya, ia telah membuktikan pada orang-orang, terutama pada Juan, kalau ia adalah lelaki yang tak pantas dipandang sebelah mata.

Sedangkan Julia, terus memandang Jinggo pergi dengan perasaan yang juga biasa saja. Ia tak sedikit pun merasa terluka atas akhir hubungannya yang singkat. Bahkan di sisi hatinya yang terdalam, mencuat rasa iba dan haru melihat keadaan Jinggo, kini. Itu karena ia tahu kalau atas hubungannya yang telah berakhir, Jinggo hanyalah korban indimidasi Juan, mantan kekasihnya sendiri.

Dan hari-hari selanjutnya, obrolan warga kampus pun, semakin riuh. Tersiar kabar yang lebih menghebohkan dari sebelumnya: Jinggo yang cupu, memutuskan hubungan dengan wanita idaman warga kampus, Julia. Atas kehebohan itu, Julia merasa berhasil membuat Jinggo terpandang di mata orang-orang, sekaligus membuat Juan kalah untuk kedua kalinya.

Jika Saja Tak Kutahu Namanya

Malam itu, aku dilanda kekalutan. Aku diserang rasa tak keruan yang sebabnya entah apa. Hanya hampa terasa. Aku gelisah tanpa menunggu kabar apa-apa. Aku marah tanpa membenci siapa-siapa. Aku kesepian tanpa tahu bagaimana bisa. Atas itu, aku bingung sendiri, bagaimana cara mengatasinya. Tapi kuduga, mungkin aku cuma butuh sedikit hiburan.
 
Tanpa pikir panjang, kuputuskanlah untuk berkunjung ke sebuah pementasan musik seorang diri. Kurasa itu tepat, sebab konser itu akan menampilkan band favoritku juga, Gigi. Terlebih lagi, aku terlanjur memiliki tiket. Sebuah tiket yang terpaksa kubeli dari sahabatku sendiri yang batal menunaikan hasratnya malam itu, karena terkendala urusan penting. 

Bersama kegalauan yang sangat, aku pun menyusuri jalan-jalan kota dengan sepeda motor bututku. Aku pergi sambil berharap menemukan kedamaian di sana. Tapi kenyataan tak selalu seindah rencana. Baru saja berangkat, aku sudah terpasung di tengah jalan yang sesak. Kendaraan berjejal entah hendak ke mana. Macet pun berkepanjangan, dan aku harus sabar. 

Akhirnya, dengan kejelian memanfaatkan ruang kosong di tengah waktu yang memburu, aku pun sampai dengan balutan peluh. Aku terlambat. 

Kuparkirkan sepeda motorku segera. 

Seketika, terdengarlah lagu Nirwana tengah didendangkan Arman Maulana Cs. Tak ingin kehabisan lagu, kupercepat langkahku mendekat ke lokasi pementasan. Jelas, aku ingin bersuara untuk satu lagu terbaik itu. Tapi belum juga sampai di gerbang pemeriksaan, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada satu tiket yang nyaris saja kutapaki.

Setelah memungut dan mengantongi tiket yang entah siapa pemiliknya itu, aku kembali bergegas dengan setengah berlari. Tak lama kemudian, aku tiba di depan gerbang dengan napas yang tersengal-sengal. Segera saja kupersiapkan tiketku sembari mengantre, menunggu tiga orang di depanku selesai diproses.

Sambil menunggu giliran, kuarahkan pandanganku ke segala arah. Aku bermaksud menemukan kalau-kalau ada seseorang yang kelimpungan mencari tiketnya. Dan benar saja, aku melihat seorang gadis di sampingku tampak berdiskusi dengan petugas. Sayup-sayup kudengar, ia memohon agar diperbolehkan masuk tanpa tiket. 

Dengan terpaksa, aku keluar dari baris antrean, lalu menghampiri gadis itu. “Revita Riona?”

Gadis itu lalu berbalik, seakan nama yang kueja di balik tiket, benar-benar namanya.

“Kau kehilangan tiketmu kan?” tanyaku, sambil menyodorkan tiket yang kutemukan sebelumnya.

Ia diam, tertegun, seakan melihat sesosok malaikat penyelamat berdiri di depannya. Dan setelah mengamati satu tiket yang kuulurkan, senyuman manis pun, merekah di wajahnya.

 “Aku mendapatkannya di sana, tadi, di jalan masuk ke sini,” jelasku, sembari balas tersenyum.

Matanya tampak berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya, dengan senyuman yang mengembang makin sempurna.

Aku mengangguk saja.

Seusai sesi kejutan itu, aku dan dia, lalu menuju gerbang pemeriksaan. Di sana, tak ada lagi antrean. Maka tanpa perlu menunggu lama, kami pun masuk ke lapangan pementasan. Kami berjalan beriringan, menuju depan panggung. Dan entah bagaimana, langkah kami, sama-sama melambat. Pada momen itulah, di langit-langit udara, mengalun lagu 11 Januari; sebuah lagu yang tepat menggambarkan waktu pertemuan kami hari itu: 11 Januari.

“Kamu sendiri ke sini?” Ia bertanya, tanpa lebih dulu bertanya tentang siapa namaku.

Aku mengangguk. “Tak ada yang bisa kuajak,” kataku, sedikit gugup, bermaksud menyampaikan kesediaanku kalau-kalau ia bersedia menemaniku menonton konser sampai selesai. Tapi akhirnya, aku sadar, itu terlalu polos. Maka segera kutimpali dengan kalimat yang ternyata tak lebih baik untuk menutupi kegalauanku, “Lagi pula, aku memang lebih suka sendiri. Maksudku, aku karakter lelaki penyendiri.”

Dia tergelak.

“Kau sendiri?” Aku bertanya, tanpa kuasa memandang sorot matanya yang tajam.

Seketika, ia tertunduk, seperti berusaha  mencari kalimat balasan yang tepat. “Aku ada janji bertemu dengan seseorang di sini. Mungkin sedari tadi, dia menungguku,” katanya, lalu menoleh sejenak padaku, melemparkan satu senyuman lagi.

Dan tak berselang lama, seorang dari jarak yang tak terlalu jauh, tampak melambaikan tangan ke arah kami. Seketika aku tahu, ia bermaksud memberikan isyarat pada wanita di sampingku.

“Itu dia,” katanya, dengan raut wajah yang terlihat begitu senang. “Aku pergi dulu ya!”

Tiba-tiba, muncul kekecewaan yang mendalam di hatiku, menyaksikan ia pergi untuk seseorang. Tapi aku tak bisa apa-apa.

Dengan terburu-buru, ia melangkah ke arah lain. Setengah berlari. Lalu, sejenak, langkahnya terhenti, lalu berbalik padaku, “Hai, kamu! Terima kasih sekali lagi!” serunya, kemudian memunggungiku kembali, dan tak mengacuhkanku lagi.

Sikapnya itu, membuatku dilema. Lidahku kelu. Entah kenapa, aku tak mampu membalasnya dengan kata-kata apa pun, meski berjuta rasa ingin kuteriakkan ke arahnya. Aku seumpama sosok yang baru saja bertemu dengan mantan kekasih, yang pergi meninggalkan luka.

Di tengah keguncangan hati, beruntung, akal sehat masih menuntunku berlaku sewajarnya. Demi menjaga perasaanku, juga untuk tidak mengganggu ketenteramannya dengan seorang lelaki yang ia sebut teman, maka kupilih menuju sisi yang berlawanan darinya.

Dalam keheninganku sendiri, terdengarlah lagu Kembalilah Kasih. Aku meresapinya begitu dalam, seakan-akan, aku baru saja ditinggal pergi seorang kekasih. Tak sampai lima menit, lagu Jomblo yang mengalun. Untuk satu lagu itu, aku benar-benar tak bisa menahan diri untuk turut meneriakkan keluh-kesahku, dari hati.

Dan setelahnya, aku harus bersusah payah untuk menikmati konser hingga selesai.

Kini, sungguh, aku tak menyesali apa yang terjadi malam itu. Sebagaimana biasa, aku selalu senang bertemu dengan orang baru yang mampu membuatku terkesan, meski hanya sesaat, termasuk bertemu sosok seperti dia: gadis cantik yang dalam sekejap mampu memberikan semangat hidup yang tak terkira padaku, hingga aku bisa merasakan nikmatnya menjadi seorang lelaki. Kalau ada masalah setelahnya, aku saja yang salah, yang terlalu mudah merasa dan suka memendam.

Demi kesan-kesan indah di malam itu, jika saja aku bisa melenyapkan bagian-bagian kenangan di dalam memoriku, maka aku tak akan menghapus tentang gambaran dirinya. Itu terlalu menguntungkan bagiku. Tapi jika itu mungkin, aku hanya ingin menghapus namanya dalam ingatanku. Nama itu terlalu membahayakan bagi ketenteraman hidupku sebagai pemendam. Itu memberikanku jalan untuk mengenalnya secara sepihak, hingga aku tak bisa lepas dari jerat bayang-bayangnya, tanpa ia  ketahui.

Dan malam ini, seperti yang kusesalkan, petaka atas namanya, kembali menimpaku. Sambil berbaring dan memandang kosong ke langit-langit kamarku yang hampa, kunikmati lagi lagu Kembalilah Kasih, seakan-akan aku pernah memilikinya dan ada kemungkinan kami bersama lagi. Hingga tak cukup lima menit, lagu beralih ke My Facebook. Lagi dan lagi, aku menikmati lagu itu, sembari mengintip akun facebook miliknya, dengan berbekal nama yang unik, yang tak akan kulupa sepanjang waktu: Revita Riona.

Yang Terjual

Entah ada apa, Durmin tampak berkhayal dan tersenyum-senyum sendiri. Padahal ia hanya duduk berhadapan dengan segelas kopi hitam, di sebuah kafe modern yang tenang. Saking terbuainya dengan angan tak terucap itu, ia baru tiga kali mengecap kopi pesanannya yang mulai mendingin. Bahkan kue-kue cita rasa impor di hadapannya, tak tersentuh sedari tadi.
 
Diam-diam, di balik jendela kaca, Durmin terus memandang jauh ke puncak sebuah gedung dengan penuh kekaguman. Dalam memorinya, terputar lagi sejarah panjang dari masa lampau, saat lokasi gedung itu, hanya tanah kosong nan gersang yang tak menghidupi. Ia tak pernah menyangka, gedung megah akan berdiri di sana, seperti sekarang.

Asyik bermain dalam imajinasinya, membuat Durmin seakan lupa diri. Ia bahkan lupa kalau hampir setengah jam, ia hanya duduk termenung, menunggu anaknya, Bahar, datang menghampiri. Sebagaimana kesepakatan di awal, sebelum ia pergi menemui seseorang dan sang anak juga pergi entah ke mana, mereka akan bertemu di sebuah warung kopi, tapat jam 12. 

Saat Durmin tersadar dan mulai gusar menunggu, Bahar yang kini menjalani semester II perkulihan, muncul juga. Tapi aneh, bukannya lekas minta maaf pada sang ayah, ia malah lebih dulu mengungkapkan kegusarannya. Ia mengaku telah menunggu begitu lama di kedai kopi seberang jalan, bahkan harus mondar-mandir demi menemukan sang ayah.

Setelah saling menyalahkan, mereka akhirnya sepaham, kalau mereka sama-sama salah paham tentang warung kopi yang disepakati sebagai tempat pertemuan. Dan sialnya, telepon genggam Durmin, sedang tak berdaya.

“Kenapa kita harus minum kopi di tempat seperti ini sih, Ayah? Rasa kopi di sini dan warung sebelah, sama saja. Harganya saja yang beda. Di sini lebih mahal,” keluh Bahar, seakan masih kesal atas kesalahpahaman yang baru saja terjadi.

Seperti sebelumnya, Durmin terus saja tersenyum, seperti tak ada hal yang patut dipermasalahkan. “Apa salahnya, Nak. Kalau kita punya uang, tak apa-apa kita bersantap di tempat yang mewah.”

Mendengar penuturan ayahnya, Bahar semakin kesal. Ia merasa ayahnya terlalu kolot untuk memahami sistem bisnis para pemodal besar. “Ayah, kedai modern seperti ini, tak ubahnya penjajahan gaya baru. Kapitaslistik. Dengan jajan di sini, tanpa sadar, kita telah membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin,” terangnya. “Dan parahnya lagi, cafe ini punya orang asing. Itu berarti kita tidak nasionalis.”

Dengan entang Durmin menyanggah, “Kau jangan berpikir yang tidak-tidak, Nak. Kalau bisa enak, yang tak usah dipermasalahkan. Nikmati saja. Loh, wong yang kerja di sini juga orang-orang kampung. Hitung-hitung kita menghidupi mereka dengan cara berbelanja di sini.”

Sadar kalau sang ayah tak mungkin memahami penjelasannya, Bahar pun membungkam dirinya sendiri.

“Kau lihat gedung di seberang?” tanya Durmin, sambil menunjuk ke arah gedung yang sedari awal ia kagumi.

Bahar mengangguk malas. “Memangnya kenapa? Yang aku tahu, itu akan jadi pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Tempat para kapitalis kelas kakap memperjualbelikan barang-barang jarahannya dari para buruh. Tempat para penjajah itu memonopili harga dan mengendalikan nafsu belanja masyarakat secara luas.”

Menyaksikan sikap anaknya yang terkesan mengeyel, Durmin pun sedikit gusar. Ia jelas tak paham dengan jalan pikiran sang anak yang selalu menganggap kemajuan kota sebagai ancaman. Karena itu, ia ingin segera berterus terang tentang inti maksudnya, “Nak, setahun lagi, pusat perbelanjaan itu akan dioperasikan.”

“Terus,” ketus Bahar, menyela.

“Makanya, kau harus menyelesaikan kuliahmu segera, agar kau dapat berkerja di sana,” kata Durmin, diikuti senyuman penuh harap. “Kau tahu, Nak, dulu, tanah tempat gedung itu berdiri, adalah milik kita. Tanah kita yang tak menghasilkan apa-apa. Tapi setelah seorang pengusaha asing membelinya dengan harga tinggi sekitar tujuh tahun lalu, keadaannya telah banyak berubah. Tak lama lagi, gedung itu akan mempekerjakan warga sekitar sini, yang bertahun-tahun lalu, hanya jadi pengangguran. Kita telah berbuat sesuatu untuk kebaikan mereka.”

Bahar terenyuh mendengar penuturan ayahnya. “Apa? Terus kita dapat apa selain menonton?”

“Nah, kau tahu, Nak, tadi aku baru saja bertemu dengan pihak pengusaha itu. Sebagaimana janjinya dahulu sebelum membeli tanah kita, ia siap mempekerjakanmu, juga mempekerjakan saudara-saudaramu, kelak setelah kalian sarjana,” tutur Durmin, semringah.

Lagi-lagi, Bahar terperanjat dengan penjelasan ayahnya. Ia menilai ayahnya terlalu lugu membaca sistem kapitalistik di dunia modern. Tapi kali ini, ia tak ingin menanggapi soal itu lagi, sebab hanya akan memperpanjang perdebatan yang tidak penting dengan seseorang yang dianggapnya kolot. Dan untuk saat ini, ia belum menentapkan sikap atas tawaran itu.

Anak Penjajah

Tak ada jadwal mengajar untuk dosen hari ini. Semua ruangan terpakai untuk penyelenggaraan ujian tertulis masuk perguruan tinggi. Tapi bukan berarti dosen tak punya kegiatan. Negara telah memperbantukan mereka sebagai pengawas ujian. Mereka wajib memastikan proses ujian berjalan dengan baik.
 
Namun belum jam istirahat, Mulkan, sang dosen pengawas, sudah keluyuran lebih dahulu. Kepada temannya, ia beralasan sedang penat dan butuh minum. Padahal sejujurnya, ia bosan saja harus serius mengamati anak baru gede yang juga serius mengerjakan soal. Ia tak mau ambil pusing dengan cara apa para colon mahasiswa itu melulusi ujian.

Sejujurnya, ada juga sedikit rasa bersalah dalam hati Mulkan tiap kali meninggalkan tugas sebelum waktunya. Apalagi, ia digaji atas pekerjaan itu. Tapi ia sudah terbiasa melakukannya. Pada jam-jam mengajarnya sebagai dosen pun, ia sudah terbiasa mempermainkan waktu. Dan beruntung, ia tak pernah mendapat ganjaran apa-apa.

Kantin akhirnya menjadi tempat Mulkan mengulur waktu.

Setelah duduk beberapa saat di salah satu bangku, terlihatlah olehnya seorang lelaki tua yang duduk tak jauh dari arah depannya. Lelaki berpakaian kusut itu, tampak asyik menyeruput kopi hitam seorang diri. Dan timbullah keinginan Mulkan untuk mengobrol dengan sang lelaki yang mungkin telah berstatus kakek. Hitung-hitung, ia hendak beredekah hari ini.

Tanpa menunggu waktu, Mulkan pun mendekat, kemudian berkenalan dengan lelaki yang rambutnya hampir semua beruban. “Ngomong-ngomong, ada urusan apa Om Burhan ke sini?” tanya Mulkan setelah menawarkan sepiring gorengan.

“Aku mengantar cucuku. Kebetulan, dia juga ikut ujian hari ini,” jawab Burhan, sambil tersenyum bangga. Ia merasa senang melihat keramahan Mulkan. Apalagi sedari pagi, ia hanya sibuk memerhatikan penghuni kampus yang saling mengabaikan.

Mulkan mengangguk-angguk. “Cucu Om, ingin masuk jurusan apa?”

Sejenak, Burhan mencoba mengingat-ingat. “Kalau aku tak salah, ia ingin masuk jurusan akuntansi.”

Lagi-lagi, Mulkan mengangguk-angguk. Seperti hendak mengesankan kalau ia penuh perhatian atas obrolan itu. 

“Kau sendiri sedang apa? Mengantar anak?” Burhan balik bertanya, sembari mencicipi gorengan yang sedari tadi ditawarkan lawan bicaranya.

“Oh, tidak Om. Aku belum beristri. Hari ini, aku mengawas anak-anak ujian,” kata Mulkan, sambil tersenyum.

Mata Burhan menatap tajam, seperti ingin memastikan tebakannya, “Kamu dosen?”

Mulkan mengangguk lagi. Kali ini ia bermaksud mengatakan ‘iya’.

“Luar biasa. Masih muda sudah jadi dosen,” puji Burhan, diikuti decak-decak kagum. “Tiga tahun lalu, anak bungsuku juga ingin jadi dosen di fakultas ekonomi ini, sama sepertimu. Tapi ya, sistem telah banyak berubah. Kampus sudah otonom. Apa-apa, butuh jaringan,” kata Burhan, sambil memberikan isyarat tanda kutip dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

Perhatian Mulkan, seketika tertuju pada kisah yang dituturkan Burhan. Ia terdiam saja, sambil mendengarkan dengan takzim.

“Sekarang, menjadi pemenang, tidak lagi didasarkan kemampuan pribadi, tapi latar belakang keluarga. Kalau punya orang tua pejabat, akan mudah jadi pejabat. Kalau tidak, ya, biar uang yang bicara. Kalau tidak ada uang juga, ya, apa boleh buat,” sambung Burhan setelah melihat Mulkan memerhatikannya saja dan tak hendak menyela.

Mulkan sedikit tersentak mendengar kesimpulan Burhan. Sebagai orang yang kini berada di dalam sistem, ia jelas memahami apa yang dimaksud lelaki tua itu.

“Di masa seleksi tiga tahun lalu itu, hanya satu kuota dosen untuk fakultas ekonomi. Dan sial, pesaing anakku adalah seorang anak rektor yang masih menjabat saat ini. Ya, akhirnya, anakku pun kalah dalam proses seleksi yang kurasa patut dipertanyakan,” kenang Burhan dengan raut wajah yang tampak menerawang jauh ke masa lalu. “Saat ini, keadilan memang mahal. Orang yang bertahta dan berduit, dengan tega mencuri hak orang lain demi kesenangan mereka sendiri.”

Mulkan semakin terenyuh. “Terus, anak Om sekarang di mana?”

Senyuman pun merekah di wajah Burhan. Cerita pahit yang baru saja dituturkannya, seakan terhapus. “Anakku sekarang ada di Amerika. Baru saja ia menyelesaikan studi lanjutannya di sana. Dan atas prestasinya yang gemilang, ia diminta jadi dosen oleh pihak kampusnya sendiri. Aku rasa ia akan menerima tawaran itu.”

“Syukurlah,” kata Mulkan dari lubuk hatinya. Ia sedikit merasa tenang mengetahui akhir kisah yang baik untuk anak Burhan, serasa ia menjadi bagian dari cerita perjuangan itu.

“Aku selalu yakin, orang punya jalan untuk sukses, asalkan sabar dan berusaha. Dan kesuksesan yang terbaik dan membahagiakan, adalah yang diraih melalui keringat sendiri, bukan hasil dari cara-cara culas,” tutur Burhan, seperti hendak menasihati semua jiwa-jiwa yang tak adil.

Mulkan bergeming saja mendengar itu.

Ujian selesai. Anak-anak berhamburan ke luar ruangan.

Selepas berbasa-basi sejenak untuk topik yang berbeda, Burhan pun undur diri untuk menemui cucunya, seorang perempuan, yang sedang menunggu di depan ruangan.  Ia bergegas pergi, tanpa menghadap lebih dahulu kepada pemilik warung.

Di sisi lain, Mulkan masih duduk saja. Ia tampak tertegun, merenungi isi obrolan yang baru saja berlangsung. Ia tak hendak beranjak segera untuk menemui adik perempuannya yang juga selesai mengikuti ujian, entah untuk bertanya atau memberikan semangat. 

Sebagaimana sikap orang tuanya selalu, Mulkan tak mau ambil pusing atas nasib sang adik. Kalaupun adiknya gagal, jalur mandiri masih terbuka. Dan keluarganya, punya tahta dan uang.

Setelah puas merenung, Mulkan pun beranjak. Tapi sebelum itu, ia akan menyelesaikan urusan tagihan dengan sang pemilik warung, Mijan.

“Ini, Pak,” kata Mulkan, sambil meyodorkan uang pecahan Rp. 50 ribu. “Itu sekaligus untuk membayar minuman bapak tua tadi. Selebihnya, ambil saja  buat Bapak.”

Mijan tersenyum. “Tapi, Bapak Burhan Mulia sudah bayar, Nak, pas ia pesan tadi.”

Burhan sedikit kecele. “Oh, tak apa-apa kalau begitu, Pak. Kembaliannya ambil saja semua,” katanya, kemudian berbalik, hendak melangkah pergi. Tapi, ia terganjal satu keanehan yang tiba-tiba muncul di benaknya, dan patut dipertanyakan. “Kok Bapak tahu nama lengkap bapak tua tadi?”

Mijan tersenyum lagi. “Dia itu mantan rektor empat periode yang lalu. Mantan rektor di sini!” tegasnya

Dan untuk ke sekian kalinya, Mulkan terperanjat. Dengan rasa kalah yang tak terperi di dalam hatinya, ia pun beranjak pergi. Jelas saja, sedari awal, ia merasa tak patut dianggap anak muda sukses, melainkan pecundang yang hanya bisa bergantung pada ayahnya. Ya, ayahnyalah, seorang rektor yang sedang menjabat saat ini, yang berhasil menyingkirkan anak Burhan saat ujian penerimaan dosen tiga tahun lalu, demi anaknya sendiri, Mulkan.

Harga Diri

Hari ini, Juhri tak ikut kondangan. Padahal yang berhajat adalah tetangganya sendiri. Bahkan lokasi acara dengan rumahnya, cuma diselingi tiga buah rumah dan sebuah masjid. Tapi sebagaimana ketetapannya sedari awal, ia tak akan melangkahkan kaki ke sana. Banyak hal yang ia takutkan, terutama omongan miring orang-orang kala ia muncul di kerumunan warga.
 
Tak hadir kondangan, tak lantas membuat Juhri aman. Seperti biasa, ia tahu, anaknya, Karim, akan merengut dan memaksanya turut. Juhri tahu pasti, kalau Karim, seorang anak laki-laki yang manja, tak akan senang menghadiri acara tanpa dirinya. Seperti dulu, anak kelas II SD itu akan hadir di satu acara dengan tujuan utama: menyombongkan dan mengelu-elukan sang ayah saat berceramah, di antara teman-teman sepermainannya.

Demi mengantisipasi sikap Karim, jelas saja, Juhri telah mempersiapkan sejumlah alasan. Bakal alasannya, klasik. Ia akan pura-pura tak enak badan dengan segala macam komplikasi penyakit, hingga sang anak iba dan tak memaksa lagi. Berbohong pada anaknya sendiri, rela ia lakukan sekali ini saja, ketimbang harus setengah mati menegakkan harga diri di tengah kerumunan warga.

Dan sebagaimana biasanya, setiap kali ada hajatan, anak-anak sekolah di desa akan dipulangkan sebelum waktunya, sebab guru-guru juga butuh waktu untuk mempersiapkan diri menuju acara. Semua  ingin hadir di pesta dengan penampilan terbaik. Maka, saat masih jam 10 siang, Karim pun tiba di rumah dengan riang-gembira. Cekatan, ia bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian pesta yang pantas.

Setelah merasa siap, Karim pun menghadap kepada ayahnya. “Aku sudah siap ke pesta, Ayah!” serunya, sambil memamerkan penampilannya pada sang ayah yang tengah berselonjoran di atas sofa. Dan setelah menyaksikan penampilan ayahnya yang biasa saja, ia mulai menaruh curiga. “Ayah tak pergi ke pesta pernikahan?”

Sambil melepas batuk yang dibuat-buat, Juhri pun memelas. “Hari ini, aku merasa tak enak badan, Nak. Badanku panas dingin. Aku sakit kepala dan sempoyongan. Sepertinya, aku tak bisa hadir, Nak.”

Karim pun jadi bersungut-sungut. “Ayah…,” keluhnya, bermaksud membuat sang ayah iba. “Kalau tidak sama Ayah, aku pergi dengan siapa? Ibu kan ke kampung, dan tak tahu kapan pulangnya.”

Juhri lalu bangun dari pembaringan. Ia kemudian merangkul dan mengusap-usap rambut anak semata wayangnya. “Maafkan aku, Nak. Tapi kali ini, aku benar-benar tak  bisa.”

Raut wajah Karim, semakin muram. Ia seakan tak terima dengan keputusan ayahnya, meski dengan alasan apa pun.

“Kau pergi sendiri saja, Nak. Kan acaranya cuma di seberang rumah. Kau hanya perlu berjalan kaki beberapa detik, lalu sampai,” pesan Juhri, terkesan memohon.

“Aku ingin pergi kalau sama Ayah! Aku malu jika harus pergi sendiri! Aku takut teman-teman sekolah akan memandang rendah padaku,” bantah Karim. Jelas saja ia masih ingat rasanya hadir di pesta dengan tamu terhormat.

Mendengar keluh-kesah anaknya, Juhri kembari teringat di hari-hari kemarin, saat ia masih berstatus sebagai tokoh agama, sebagai seorang imam desa. Di masa itu, dengan berwibawa, ia sering berceramah di acara pernikahan warga desa, dengan pesan utama: menjaga keluarga dari perbuatan tercela.

“Apa Ayah tak dipanggil untuk berpidato lagi?” tanya Karim yang masih belum mengetahui status sang ayah di struktur pejabat desa dan di mata masyarakat.

“Yang ceramah nanti, bukan aku, Nak. Yang punya hajatan memanggil penceramah dari luar,” tutur Karim. “Pergilah, Nak. Kali ini, Ayah tak bisa menemanimu.”

Tanpa senyuman dan kata-kata lagi, Karim pun melangkahkan kaki dengan berat. Ia pergi ke pesta tanpa tahu kalau Ayahnya hanya pura-pura sakit. Ia pergi tanpa tahu kalau ayahnya telah mengundurkan diri sebagai imam desa. Dan ia juga tak akan sampai tahu kalau pengunduran diri ayahnya itu, berhubungan dengan kepergian ibunya. Yang sesungguhnya terjadi, ibunya tidaklah sekadar pulang kampung, tetapi juga menghindari hujatan warga desa, setelah ia ketahuan menggelapkan dana pembinaan keagamaan desa untuk kepentingannya sendiri.

“Nak, kalau warga desa tanya tentang aku, bilang saja kalau aku sedang sakit,” pesan Juhri, seakan butuh meyakinkan sang anak atas alasan yang sedari tadi diungkapkannya.

Karim menggangguk pelan sambil berungut-sungut, kemudian meneruskan langkahnya, pergi ke pesta.

Engkaulah Mereka

Untuk hatiku yang tak pernah terjamah, darimulah aku belajar artinya memendam. Setelah perkenalan kita di awal waktu, aku mulai belajar bahwa ada seni dalam hati setiap pengagum rahasia. Seni itu kadang menjelma sebetuk gambar-gambar nan mengangumkan, atau nada-nada yang menyentuh hati, juga kata-kata yang indah.
 
Di sela-sela waktu memendam itu, aku juga belajar tentang harapan darimu. Tentang betapa menegangkannya mengantungkan nasib perasaan pada orang lain, atau tentang candunya menggantungkan perasaan orang lain. Entah siapa di antara kita yang menggantungkan atau digantungkan. Yang pasti, selama memendam, aku menikmati asyiknya debaran jantung sekian lama, yang tak berakhir dengan kata-kata kepastian.

Setelah merasa puas bermain-main dalam ketidakpastian, datanglah juga inginku mencoba nuansa baru. Kukira, ada baiknya juga untuk belajar soal suka-duka menyayangi. Aku ingin tahu, bagaimana menantangnya terus-menerus menampakkan perhatian padamu, sembari membunuh kejemuan untuk kegiatan yang berulang-ulang, semisal bertanya tentang kabarmu setiap saat atau memelukmu kala bersedih.

Sebagaimana seharusnya, untuk berbagi kasih sayang secara nyata, kita butuh ikatan yang pasti, yang lebih dari sekadar pertemanan. Kita butuh mengikatkan diri dalam hubungan penghambaan, di mana kita tak patut lagi bertanya tentang alasan berkasih sayang, tetapi kita terikat dalam rangkain kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, aku pun menyatakan perasaan padamu, dan kau menerimanya dengan senang hati.

Di waktu-waktu setelah kita menyatakan perasaan, aku senantiasa membuaimu dengan kata cinta, seakan-akan itu adalah jaminan atas kesetianku. Aku pun memaksa diriku sendiri untuk memperbarui kata cinta itu dalam varian yang berbeda, setiap waktu. Entah dengan simbol, puisi, atau lagu. Hingga akhirnya, kau pun memasrahkan diri padaku. Kau seakan hidup dalam surga imajinasi yang kau bangun atas kata-kata cintaku, dan kau tak bisa ke mana-mana lagi.

Tapi sebagaimana yang ditakutkan, rasa bosan akhirnya menggerayangiku juga. Aku merasa jenuh dalam rutinitas hubungan yang itu-itu saja. Aku ingin nuansa yang berbeda dari sebelumnya. Dan untuk tujuan itu, aku ingin  perubahan. Aku berhasrat merasakan candunya kekecewaan atas sebuah perpisahaan. Sebab kurasa, perlu juga belajar tentang keilkhlasan dalam melepaskan.

Untuk benar-benar berpisah, tentu itu tak mudah bagimu. Kutahu betul, kau telah dipasung oleh kata cinta. Kau telah dikerangkeng dalam dunia khayal bersamaku. Tapi itu urusanmu. Aku merasa tak punya kepentingan dengan itu. Yang kubutuh hanyalah rasaku sendiri terhadapmu. Jadi, jika darimu aku pernah menikmati rasanya memendam dan menyayangi, aku pantas juga menikmati rasanya menyakiti.

Akhirnya, tepat saat ini, aku menyatakan perpisahan padamu. Aku ingin kau menganggap semua kisah tetang kita, sebagai hiburan dan pelajaran semata, sama seperti yang kulakukan. Jikalau semua kisah tentang kita itu tak tergambar dalam dunia nyata, maka hidupkanlah dalam dunia imajinasi.

“Tidakkah kau merasa berdosa telah menyakiti perasaan wanita dengan cara yang sadis?” Satu sisi hatiku yang berhubungan dengan dunia nyata, memberi nasihat.

Tapi aku, di sisi dunia imajinasi, merasa tak punya salah sedikit pun. “Tapi apa yang kuperbuat, tidaklah menyakiti siapa-siapa. Itu malah menyakiti diriku sendiri.”

“Kau bilang tak melukai siapa-siapa, tapi kau menyebarkan luka di balik harapan-harapan yang kau susupkan di setiap rangkaian kata ceritamu. Kau memang terlalu angkuh untuk menyadari kalau dengan cara itu, kau telah melukai seorang wanita, atau malah melukai banyak wanita. Kau benar-benar pendosa,” kata sisi kanyataanku.  

 “Apa salahku? Aku hanya menulis?” sergah aku di sisi imajinasi.
 
“Salahmu? Ya, karena kau menulis. Kau menulis seakan-akan itu bukan tentang siapa-siapa. Kau menulis seakan-akan semua cuma hasil karanganmu. Tapi kau bohong! Ada seseorang yang selalu hidup dalam tokoh ceritamu!” hardik sisi kenyataanku lagi.

“Lalu, apa salahnya? Toh, dia tak akan pernah tahu, sebab aku tak pernah mengatakannya secara langsung. Aku hanya menuliskannya,” kataku, di sisi imajinasi.

“Kau belum tahu kalau menulis itu adalah bentuk kejahatanmu? Kau menulis kata-kata dan menganggap semua itu hanya urusanmu. Kau menulis kata-kata seakan-akan kau tak berharap seseorang saja atau bahkan semua orang membacanya. Kau bohong!” tegas diriku di sisi kenyataan. “Sadarlah! Kau berdosa karena kau telah menulis cerita, sambil berdoa semoga satu hati yang kau tuju, mengejanya sambil berharap-harap cemas!”

Dan tiba-tiba, aku mengingatmu.

Seketika, aku pun hendak memendam saja semua yang kurasakan padamu, pada dirimu yang selama ini hanya hidup dalam cerita-ceritaku. Bahkan aku hendak mengurainya dari awal, lalu menghapus semuanya. Tapi lagi-lagi, dengan dosa yang kusadari, aku terlanjur menuliskannya.

Maaf.

Kata-Kata Peninggalan

Semenjak ibuku pergi, menghilang entah ke mana, banyak perubahan pada diri ayahku. Sikapnya berubah jadi pemurung dan tak berselera lagi berbagi cerita. Ia hanya mengobrol untuk hal-hal penting. Fisiknya pun jadi tak terurus. Ia abai dengan penampilannya. Hingga rambut di sekitar wajahnya, tumbuh subur tanpa pernah dirapikan.
 
Sepintas, aku bisa memahami perubahan ayahku. Sebagai suami yang bertanggung jawab, wajar jika ia berduka kala ditinggal pergi sang istri. Apalagi, kutahu, kepergian sosok yang ia cintai, terjadi tanpa sebab yang jelas. Tentu butuh waktu yang lama untuk benar-benar menghapus rangkaian kenangan di benaknya. Bahkan tak ada jaminan kalau ia akan kembali hidup normal, seperti sedia kala.

Melihat keadaan ayahku, jelas membuatku prihatin. Karena itu, kasih sayangku padanya, semakin bertumbuh, di saat rasa benciku pada sosok ibu, juga semakin bertumbuh. Sebisa mungkin, aku meredakan pilu hatinya dengan sejumlah perhatian, meski ia sering kali menunjukkan ketidaksenangannya tiap kali aku khawatir secara berlebihan.

Sungguh, tak habis-habis kekagumanku pada sosok ayah. Walaupun telah disakiti, ia selalu meminta agar aku tak membenci perempuan yang menghianatinya, ibuku. Sikapnya memang berubah, tapi ia tak sedikit pun menampakkan kebencian atas ibuku yang telah pergi. Bahkan ia tampak menyalahkan dirinya sendiri atas perpisahan itu.

Di tengah kekalutan hatinya, ayahku masih dengan kebiasaan yang sama. Ia  tetap suka mengabiskan waktu di rumah seorang diri. Hanya duduk merenung di hadapan tumpukan kertas dan laptop. Bermesraan dengan buku-buku di ruang bacanya yang sempit, atau mengetik sesuatu di laptop yang tak kutahu apa.

Karena sosok ayah, hidup tanpa seorang ibu, kurasa bukan sebuah masalah. Keberadaan ayah, sudah cukup bagiku. Apalagi, kasih sayangnya padaku, tak pernah berubah-ubah. Meski hanya bekerja sebagai guru bahasa Indonesia berstatus honorer di sebuah sekolah dasar, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku pun melakukan bakti yang serupa. Ringkasnya, kami berdua saling menyayangi.

Namun atas ketidakpeduliannya pada diri sendiri, fisik ayahku pun tumbang diserang penyakit. Keadaannya semakin memburuk dari hari ke hari. Apalagi, ia tak pernah peduli jika aku menyarankannya berobat secara intensif di rumah sakit. Ia pasrah saja dengan keadaan dirinya setiap waktu. Hingga, ia pun kalah. Tepat seminggu lalu, ia meninggal kerena komplikasi penyakit.

Kini, aku benar-benar hidup sendiri. Tapi aku tak ingin larut dalam kesedihan dan kesepian yang mendalam. Sebagaimana pesan ayahku, sedih dan sepi hanyalah hasil dari ketidakcerdasan kita memanfaatkan waktu. Karena itu, aku pun melakoni kebiasaan ayahku dahulu: menghabiskan waktu dengan buku-buku di ruang baca yang sempit, hingga lupa waktu

Kala tengah asyik membaca novel, sebuah kiriman pun sampai di rumahku. Awalnya kukira itu adalah kiriman untuk ayahku. Tapi setelah kuperiksa identitas sosok yang dituju, di sana tertulis jelas namaku. Maka kusibaklah bingkisan itu. Ternyata, isinya adalah buku, sebuah novel berjudul Rumah Kita. Dan betapa kegetnya aku, sebab di sampul novel itu, tertulis terang nama ayahku: Dorman Sumanji Aka.

Bersama rasa penasaran yang menggebu, kubacalah surat yang menyertai kiriman novel itu. Kueja pada sepenggal isi surat: Novel karya almarhum ayah Anda, telah menjadi novel terlaris tiga bulan ini. Kami dari penerbit, berharap anda bisa berbagi kisah tentang proses kreatif almarhum.

Dengan ketakjuban yang semakin meninggi pada sosok ayah, segera saja kulahap kata-kata gubahannya. Aku penasaran juga mengetahui apa yang selama ini ia tulis di dalam kesedihan dan kesendiriannya, setelah ibuku pergi tanpa pamit. Dan beberapa jam kemudian, kutahulah, karyanya itu berkisah tentang kehidupan kami sekeluarga. Setidaknya, aku bisa meyakini itu dari petunjuk yang terpampang di sampul novel: true story.

Betapa mengagumkannya kisah gubahan ayahku. Aku tak menyangka kalau ia bisa merangkai kata dan cerita semenarik itu. Tapi apa yang ia ceritakan, jauh berbeda dari yang kuketahui selama ini. Banyak rahasia baru yang terungkap di dalamnya. Dan kenyataan itu membuatku merasa bingung harus meyakini cerita hidupku dari mana.

Ringkasnya, ia berkisah tentang seorang lelaki yang ditinggal pergi istrinya. Alasannya pelik. Sang suami berkeras untuk mengungkap satu rahasia besar pada sang anak, sedangkan sang istri menolak. Rahasia besar itu tentang status seorang anak dalam keluarga mereka, yang sebenarnya bukan siapa-siapa; hanya anak adopsi. Terjadilah percekcokan yang berujung pada kepergian sang istri, seorang perempuan yang tak bisa mengandung anak sendiri.

Kini, aku merasa dilema. Bimbang, di antara hadir atau tidak pada acara bedah novel karangan ayahku sendiri. Aku bingung sendiri harus berkisah apa, di saat banyak rahasia yang masih belum kuketahui, apalagi kuyakini, tentang hubungan ayah dan ibuku, juga hubungan mereka denganku.