Rabu, 21 Juni 2017

Tentang Kita

Langit cerah hari ini. Terang, namun tak terlalu terik. Awan putih hanya jadi titik-titik kecil yang menggantung di bawah langit biru. Sungguh meneduhkan. Serasa alam turut merestui langkahku bertemu denganmu. Seakan memahami kalau rinduku sudah tak tertahankan lagi, meski belum tentu berbalas.
 
Dengan penampilan sebaik mungkin, aku pun bergegas menuju tempat pertemuan yang kita janjikan. Aku takut terlambat, hingga alam berubah pikiran, lalu hujan merintangi jalanku. Takutku juga jika terlambat, sampai kau kesal, lalu suasana hatimu mengeruh dan kerinduanmu berubah jadi benci. 

Memang pantas jika aku berkorban di momen ini. Akulah yang terlalu kangen memandang mata sayu dan mendengar tawa kecilmu. Aku merasa lebih menginginkanmu, daripada sebaliknya. Meski kaulah yang merencanakan pertemuan kali ini, aku tak berharap lebih. Kuduga, sebagai sahabat, kau hanya ingin memberikan pesan-pesan terakhir sebelum pergi ke kota seberang.

Adakah obrolan kita akan mengerucut pada persoalan perasaan, hingga berujung pada kesepakatan untuk saling mengikat hati? Kurasa, itu sulit terjadi. Sepanjang perkenalan kita, kau hanya menganggapku teman biasa. Bahkan, aku hanyalah seorang lelaki yang kau jodoh-jodohkan dengan seorang temanmu sendiri.

Entah berapa kali sudah aku menyampaikan maksud hatiku padamu, tapi kau selalu mengelak, demi dirinya. Pernah aku memberikan sebuah gelang untukmu, tapi benda itu malah melingkar di pergelangan tangannya. Pernah aku meminjamikan sebuah novel padamu, tapi darinyalah aku mengambil buku itu kembali. 

Dari semua peristiwa yang telah kita lalui, aku mengerti satu hal, bahwa kau tak pernah mengharapkanku, sebagaimana aku mengharapkanmu. Jelas terlihat, kau tak mengharapkan apa-apa dariku. Dan paling tragisnya, kau malah berharap aku mendua dengan sahabatmu, dengan dia yang tak pernah kuharapkan sebagaimana aku mengharapkanmu.

“Hai, sudah lama menunggu?” katamu, setibanya di satu sofa kafe, tempat yang kita sepakati. Kau datang seorang diri, dengan senyuman yang masih semanis dahulu.

“Baru saja,” balasku, lalu menyalami tanganmu yang dingin. Aku jelas berbohong, sebab aku telah tiba hampir satu jam sebelumnya. “Menunggu lama untukmu, tak masalah bagiku,” sentilku, berusaha mencairkan suasana. Aku tak ingin terlihat kaku dan aneh. Apalagi selama ini, kau mengenaliku sebagai sosok yang humoris dan penuh percaya diri.

Kau sontak mengalunkan tawa kecilmu yang menggemaskan, kemudian mengucapkan satu sangkalan fovoritmu itu, “Gombalan kacang!”

Di beberapa menit selanjutnya, kita pun mengulas kembali rangkaian kisah masa lalu. Kita juga berbagi cerita tentang peristiwa yang terlewati selama tak saling mengindrai. Tentang kesibukan masing-masing, rencana masa depan, hingga proyeksi pasangan hidup.

“Sebenarnya, ada apa kau mengajakku kemari?” tanyaku, setelah merasa bosan, sebab kita hanya mengulang-ulang pembahasan yang sama.

Kau berdeham. “Memangnya harus ada alasan penting untuk bertemu dengan teman lama?” jawabmu, terkesan mengelak dari alasan yang sesungguhnya. “Aku hanya ingin mengobrol denganmu. Apalagi, kau tahu sendiri, sore nanti, aku akan pergi ke kota seberang untuk waktu yang lama.”

“Bukan karena rindu?” sergahku, dengan sikap yang serius. Berharap kau jujur saja jika memang kau punya perasaan yang entah apa padaku.

Kau menggeleng dengan mimik datar.

Aku tahu kau berbohong, tapi aku tak ingin memaksamu berkata jujur.

Seketika, kau beralih dari perbincangan tentang kita, seperti biasa, “Ngomong-ngomong, hubungan kalian baik-baik saja kan?”

Kau memang tak menyebut nama, tapi aku yakin, yang kau maksud adalah si dia, teman baikmu, seseorang yang selalu kau jodoh-jodohkan denganku. “Ya, baik-baik saja. Seperti biasa,” jawabku, tanpa balas bertanya. Aku ingin mengesankan kalau aku tak berselera jika kita mambahas tentang kami.

Kau terlihat kecewa dengan respons seadaku. Kau tampak menelan ludah yang mengering di tenggorokanmu. Kau seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit untuk kau ucapkan. Lalu, kau pun berucap dengan terbata-bata, “Kau harus tetap bersamanya! Seperti dahulu, aku ingin melihat kalian hidup bersama.”

Aku diam saja mendengar penuturan yang sedari dulu kau tegaskan.

“Kurasa sudah saatnya aku mengungkapkan sebuah rahasia padamu.” Bola matamu tampak liar, seperti segan padaku. “Sebelum kita saling mengenal, dia begitu mengagumimu. Dia mengenalmu, sebelum aku mengenalmu. Dia sering bercerita, kalau dalam hidupnya, ia sangat berharap berjodoh denganmu. Dan karena itu, aku tak ingin kau mengecewakan perasaannya.”

Lagi-lagi, kudengar satu nasihat yang aku tak suka darimu, bahwa kau menganggap perasaaan bisa dialihkan begitu saja.

“Kau tahu, sisa hidupnya tak lama lagi,” katamu, dengan raut wajah yang sayu. “Dokter memprediksi, hidupnya tak akan bertahan lama. Dia mengidap kanker otak.”

Mendengar penuturanmu, sungguh membuat perasaanku tersentak. “Kenapa kau baru mengatakan itu padaku?”

Tangismu tak tertahan lagi. “Dia yang memintanya. Dia tak ingin aku menceritakannya pada siapa-siapa, apalagi padamu.”

Aku termenung saja, membayangkan sikap abaiku yang tak pernah tulus bertanya tentang kabarnya, saat kami berdua. Sungguh, aku tak tak tahu apa-apa tentang keadaannya. Dan kini kusadari, aku bukanlah seorang lelaki yang perhatian padanya, meski atas nama sahabat.

“Aku akan sangat  berterma kasih padamu, jika kau bersedia membahagiakannya di sisa waktu yang ada. Apalagi, setelah aku pergi, dia tak akan punya teman penghibur selain dirimu. Aku mohon!” pintamu, seperti sangat memohon, sambil menyeka bulir-bulir air mata yang jatuh di pipimu.

Dalam kebimbangan, aku mengangguk saja.

Kita sama-sama larut dalam kegalauan untuk beberapa saat.

Lalu, kau berucap lagi, untuk saat-saat terakhir, “Sepertinya, aku harus pulang. Banyak sesuatu yang harus aku persiapkan sebelum pergi,” katamu, dengan senyuman yang tak sepenuhnya menutupi kesedihanmu. “Ambillah, untuk ulang tahunmu hari ini.” Kau lalu menyodorkan sekotak kado untukku.

Seketika, kusadari, hari ini aku berulang tahun. “Terima kasih,” balasku.

Kau tersenyum lagi, meski terkesan berat. “Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah padanya. Kado itu miliknya.”

Lagi-lagi, kau melakukan pengalihan. Tapi atas rahasia besar yang telah kau ungkapkan, aku tak bisa membenci tentangnya lagi.

Setelah saling berbalas senyuman untuk ke sekian kalinya, kau pun  pergi dari pandanganku, menghilang bersama perasaan yang harus kupendam kembali.

Tiba-tiba, rasa ibaku muncul. Aku merasa sedikit bersalah telah mengabaikan perasaannya untuk waktu yang lama. Aku merasa berdosa telah bersikap dingin padanya.  Sungguh!

Aku pun bergegas mengirimkan pesan singkat kepadanya.

Aku: Terima kasih untuk kado ulang tahun darimu.

Dia: Kado apa yang kau maksud? Hari ini kau ulang tahun?

Segera kusibak bungkusan kado yang kau berikan untukku. Dan akhirnya kujumpai boneka kelinci, sebuah kado ulang tahun yang kuberikan padamu enam bulan lalu. Dan berserta itu, kudapati secarik kertas bertuliskan: Bulan depan, dia ulang tahun. Berikanlah kado ini untuknya.

Elegi Waktu

Sepanjang hari, Rumi berdiam diri di rumah. Hanya duduk termenung di satu kursi yang hampir selurus dengan jendela. Meneleku pada meja, sambil memandang sebuah kalender yang tertempel di dinding. Matanya tertuju pada bulan Juni. Di sana, ia telah melingkari angka 1. Tepat di tanggal itulah, telah terjadi peristiwa yang membekas di memorinya. 
 
Teringat lagi oleh Rumi, kala dahulu, berbulan-bulan sebelum tanggal 1 Juni, ia telah melakoni serangkaian kisah. Panjang jalan yang ia lalui sebagai awalan demi mengenal seorang wanita bernama Rika, seorang pramusaji di sebuah kafe. Bahkan ia harus rela menghabiskan waktu yang lama di tempat kerja sang gadis, sekadar untuk mencuri perhatian.

Sesi penjajakan, rupanya tak berjalan mulus. Rumi, seorang lelaki pemalu, terus saja diam dalam kebodohannya. Sering kali hanya memandang sang pujaan hati berlalu-lalang dan berlaku ramah dengan para pengunjung kafe. Ia tak tahu harus berbuat apa. Barulah ketika hasratnya memuncak, ia berani berbagi senyum dan bertutur sapa, tapi hanya untuk kepentingan pelayanan.

Dan, di satu malam yang tenang, terjadilah peristiwa yang memaksa Rumi melangkah lebih jauh. Entah bagaimana ceritanya, secangkir kopi yang disajikan sang gadis di hadapannya, terjatuh. Cairan pekat pun, terpercik ke baju Rumi. Tapi atas perasaannya yang mendalam, ia tak marah sedikit pun. Terang saja, ia malah berlaku lembut pada si gadis jelita. 

Sejak malam itulah, Rumi telah menggenggam kisah yang pantas menjadi alasan untuk berbagi senyuman dan bertutur sapa secara intens. Mereka pun jadi semakin dekat.

Tak ingin melewatkan waktu lebih lama lagi, tepat di tanggal 1 Juni, Rumi pun menyatakan perasaannya pada Rika. Peristiwa itu dilakukannya dengan cara yang istimewa. Tepat ketika malam panggung bebas musik di kafe, ia menyanyikan sebuah lagu. Dan di akhir penampilannya, terucaplah kalau lagu itu, ia persembahkan khusus untuk Rika.

Setelah peristiwa di malam tanggal 1 Juni, tanpa perlu penegasan lagi, hati mereka saling terikat. Banyak waktu yang mereka lalui bersama. Mereka suka menelusuri bangunan kota, olahraga di ruang terbuka hijau, hingga begumul dengan huruf-huruf di perpustakaan. Dan yang mereka paling suka adalah duduk di tepi pantai sambil memandang sang surya tengggelam.

Begitulah cerita kedekatan mereka yang penuh rasa.

Dan kini, mata Rumi beralih dari tanggal 1. Pandangannya lalu tertuju pada angka 30 Juni di kalender. Di tanggal itulah, ia berencana mengakhiri hubungan semunya dengan Rika. Ia menginginkan hubungan yang sungguh-sungguh, dalam ikatan pernikahan. Apalagi, ia meyakini, gadis bermata sipit itu adalah sosok terbaik untuk menjadi pendamping hidupnya.

Demi niat mulianya, di sepanjang waktu menjelang tanggal 30 Juni, Rumi pun senantiasa mengesankan diri sebagai sosok calon suami yang layak bagi Rika. Semasih atas nama pertemanan, sesekali ia bertandang ke kediaman sang pujaan, sekadar untuk mengenal calon mertua. Sebaliknya, Rika pun sesekali datang ke rumahnya untuk maksud yang sama.

Sejauh pandangan Rumi kala itu, tak ada rintangan yang berarti untuk rencananya mengajak Rika duduk di pelaminan.

Dan sontak, mata Rumi beralih lagi. Kini, perhatiannya tertuju di angka 15, satu angka di antara tanggal 1-30 Juni. Segenap hati dan pikirannya tersita, karena pada angka itulah, tercipta jarak antara harapan dan kenyataan yang telah dikira-kiranya sepanjang waktu. Angka 15 menjadi pembatas, sebab di tanggal itulah, Rika mengalami kecelakaan tragis. Ia meninggal seketika.

Kisah Rumi dan Rika, berakhir sudah.

“Nak, apa kau akan terus seperti ini?” Suara Rita, sang ibu, menyadarkan Rumi dari lamunannya.

Rumi bergeming.

“Peristiwa itu telah terjadi, Nak. Kau harus bisa menerima kenyataan,” ucap Rita lagi, menasihati.

Sejenak, Rumi berdialog dengan dirinya sendiri. Ada juga sedikit kesadaran dalam dirinya untuk berhenti berkabung. Tapi jika mengingat hari terakhir hidup Rika, ia jelas tak bisa keluar dari kesedihannya. “Aku butuh waktu, Bu,” kata Rumi.

Rita hanya menggeleng-geleng. Tekad untuk bangkit dari keterpurukan, sedari dulu telah dituturkan sang anak, tapi tak jua ada buktinya. “Nak, mungkin ada baiknya kau mencari wanita lain. Aku yakin, di alam sana, Rika tak ingin kau sedih seperti ini.”

Rumi menarik napas dalam-dalam. Seakan-akan ia ingin mengatakan kalau nesehat itu, sungguh berat baginya. Rasa cinta dan rasa bersalah, telah bersatu-padu menjeratnya dalam kenangan pahit bersama Rika.

Mungkin sampai kapanpun, Rumi tak akan melupakan hari terakhir Rika, tanggal 15 Juni. Sore itu, kala langit mendung, ia mengirimkan pesan singkat kepada Rika untuk segera menemuinya di tempat favorit mereka berdua, di tepi pantai. Ia menjanjikan sebuah kejutan. Diam-siam, ia berencana mengungkapkan tekadnya untuk menikahi gadis itu, di bawah naungan langit senja.

Dan hingga malam tiba, di bawah langit yang tak henti meneteskan titik-titik hujan, Rika tak juga datang menemuinya. Hingga datanglah kabar kalau gadis itu terlibat kecelakaan yang merenggut hidupnya, seketika.

Atas peristiwa itu, sampai kini, Rumi tak henti menyalahkan dirinya.

“Nak, ada baiknya kalender itu diganti,” saran sang ibu.

Mata Rumi seketika tertuju pada tahun yang tertera pada kalender yang menggantung di depannya: 2016. Sudah satu tahun berlalu. Tapi seperti sebelumnya, Rumi tetap menolak saran sang ibu tanpa menuturkan alasan yang sesungguhnya. “Jangan, Bu!”

“Tapi aku telah membeli kalender yang baru,” sergah Rita.

“Tempel saja di dinding yang lain!” tegas Rumi.

Untuk ke sekian kalinya, Rita mengalah.

Setengah Satu

Kita mengerti bilangan satu dan dua
Genap adalah keterpisahan
Ganjil adalah keterasingan
Lalu kita memilih di antaranya
Kita jadi satu setengah
Bersama tapi tak memiliki

Kita paham penjumlahan
Kekosongan tak menggenapi
Keadaan tak mengganjili
Lalu kita memilih bersatu
Kau dan aku mendua
Memiliki tapi berjarak

Kita paham pengurangan
Genap menjadi ganjil
Ganjil menjadi kosong
Lalu kita memilih mendiamkan
Kita menjadi satu-satu
Berjarak tapi merindu

Kita tamat matematika
Kita bisa genap
Kita bisa ganjil
Tapi kita tak ingin mendua atau bersatu
Tak ingin bersama lalu berpisah
Tak ingin bahagia lalu terluka
Lalu kita menjadi setengah satu
Merindu dalam harapan

Matinya Sang Dermawan

Warga Desa Makmur, tersentak. Makmum, sang kepala desa, meninggal dunia subuh tadi. Ia wafat mendadak karena serangan jantung. Para warga jelas kaget. Tak ada yang menduga kalau lelaki bertubuh gempal itu, akan meninggal tanpa aba-aba. Apalagi, ia terbilang masih muda. Usianya baru menginjak kepala empat.
 
Kematian Makmum, jelas membuat warga berduka-cita. Pasalnya, kehormatan telah ia sandang atas laku baiknya selama ini. Warga desa begitu mengagumi keredahan hatinya. Tak ada warga menyangsikan kalau ia begitu dermawan. Suka menyantuni warga miskin, bahkan dengan menggunakan uang dari kantong pribadinya sendiri. 

Citra baik Makmum, seperti tanpa cela. Perbuatan baiknya saja yang membekas dan terus dielu-elukan. Harapan besar warga atas kemajuan desa di bawah kepemimpinannya, seperti sulit dienyahkan. Apalagi, para warga ragu bisa menemukan sosok seperti Makmum, seorang pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi.

Atas nama baiknya, Makmum bisa dipastikan terpilih lagi menjadi kepala desa jika saja ajalnya belum sampai. Tak ada warga yang meragukan itu. Adian salah satunya. Sebagai orang yang dekat dengan almarhum, bahkan ditunjuk secara langsung untuk menjadi bendahara desa, ia bisa memastikan kalau para warga akan memilih Makmum kembali. 

Tapi kali ini, Adian pasrah pada nasib. Ia menerima kenyataan, bahwa di waktu-waktu mendatang, bisa saja ia tak kebagian jabatan lagi. Teman baiknya yang kharismatik, telah pergi. Tampuk kepemimpinan desa bisa saja beralih pada kubu yang lain. Sebagaimana pahitnya politik, kelompok yang kalah tak mendapatkan apa-apa.

Dan sekacau apa pun keadaan, Adian tak ingin memusingkan takdirnya terus-menerus. Apalagi, ia memang merasa sudah cukup menjadi seorang pejabat desa untuk beberapa tahun belakangan. Ia hanya berharap bisa kembali menjadi warga biasa, hidup tenang dari usaha bertani, tanpa dipusingkan urusan pertanggungjawaban uang-uang publik. 

“Bapak belum mandi?” Tijah, istri Adian yang baru saja datang dari kota untuk mengunjungi anaknya yang masih kuliah, bertanya penuh curiga.

Adian yang kumal, menjawab dengan lesu, “Belum, Bu. Prosesi penguburan baru saja selesai.”

Tijah tambah heran. “Kok terlambat amat, Pak?”

“Tadi kan hujan, Bu. Banyak masalah di pekuburan,” tegas Adian.

Tijah mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Hujan memang deras, Pak.”

Mereka pun terdiam.

Dalam hati, Adian merasa tak berselera menguraikan kronologi sampai penguburan Makmum molor dari jadwal yang direncanakan. Ia merasa tak perlu merinci bahwa pemandian mayat molor karena air dari pegunungan, keruh; salat mayat diundur, sebab imam datang terlambat karena terhalang hujan; hingga lumpur dan genangan air yang tak henti mengisi liang kubur si mayat.

Dan tentu, ia juga tak mungkin menceritakan puncak misteri penguburan, kala hujan berangsur-angsur berhenti setelah imam desa yang memandu proses penguburan, meminta doa pemaafan dari seluruh warga desa untuk kesalahan lahir-batin si mayat.

Adian memilih untuk merahasiakan cerita-cerita penuh keganjilan itu.

“Ibu sendiri kenapa baru sampai dengan pakaian penuh bercak tanah begitu?” tanya Adian.

“Ya, karena hujan deras juga, Pak. Mobil harus tertahan beberapa jam di jalan desa, di tanjakan, karena jalan berlumpur,” jelas Tijah.

Adian mengangguk-angguk.

“Entah kapan juga jalan desa kita dibeton seperti jalan desa lain. Ya, jika saja Pak Makmum tak keburu ajal, mungkin tahun depan jalan kita sudah dibeton,” harap Tijah.

“Entahlah, Bu,” ketus Adian.

Seketika, mata Adian tertuju pada masjid dusun di seberang rumahnya. Sebagai bendahara desa, ia tahu, tak mungkinlah masjid semegah itu jika saja jalan desa tak seburuk sekarang. 

Adian sadar kalau dirinya turut bersalah hingga jalan desa tak kunjung membaik.

“Tabungan Bapak masih banyak, kan?” tanya Tijah.

“Memangnya kenapa? Uang belanja harian habis lagi?” Adian tampak tak berkenan.

Tijah jadi segan. “Bukan untuk itu, Pak. Aku berencana beli baju kebaya dan sarung untuk istri Pak Makmum, sebagai tanda belasungkawa. Boleh kan?”

Adian membalas dengan anggukan seadanya.

Selasa, 06 Juni 2017

Demokrasi Ala Pancasila

Pancasila tak pernah benar-benar final. Sebagai ideologi terbuka yang senantiasa terejawantahkan sesuai perkembangan zaman, Pancasila selalu memancing dikusi dan perdebatan yang tak ada hentinya. Salah satu yang sedari dulu tak pernah selesai adalah pembicaraan soal konsep demokrasi seperti apa yang sejalan dengan Pancasila. 
 
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Begitulah lugasnya diktum sila ke empat Pencasila. Namun dalam memaknainya, masih timbul ketidaksepahaman mengenai mekanisme demokrasi apa yang sesuai dengan Pancasila, apakah murni musyawarah untuk mufakat, atau juga membenarkan mekanisme suara terbanyak (voting).

Persoalan formulasi demokrasi yang sesuai dengan Pancasila, belakangan semakin mencuat pasca tersebarnya pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di media massa, kala menyampaikan orasi kebangsaan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Minggu, 4 Juni 2017. Pada kesempatan tersebut, ia dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, tidak sesuai dengan Pancasila. Ia menilai bahwa musyawarahlah praktik demokrasi yang pancasilais, bukan voting.

Roh Demokrasi Pancasila

Secara tersirat, sila ke empat Pancasila mendudukkan rakyat sebagai kesatuan yang dipentingkan dalam urusan pengelolaan negara. Mekanisme pengelolaan negara, wajib melindungi kepentingan rakyat. Apa kebutuhan rakyat, itulah yang harus diwujudukan. Karena itulah, klausul “permusyawaratan perwakilan” dapat menjadi jaminan bahwa dalam negara Indonesia, keputusan pemerintahan tidak boleh diambil semau-mau pemerintah, sebagaimana terjadi di negara negara otoriter, tetapi harus berdasarkan aspirasi rakyat.

Demokrasi Pancasila, menurut Yudi Latif (Revolusi Pncasila, 2015: 73-74), mengandung prinsip-prinsip fundamental yang tersusun dalam kerangka etis: pertama, cita kerakyatan, berupa penghormatan terhadap suara rakyat dalam politik, yaitu dengan memberikan peranan yang lebih kepada rakyat; kedua, cita permusyawaratan, berupa adanya upaya untuk menghargai nilai kekeluargaan dan pluralitas, sehingga keputusan tak boleh diambil secara tertutup dan sepihak; ketiga, cita hikmat-kebijaksanaan, berupa refleksi orientasi etis berlandaskan nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Dari kerangka di atas, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa basis demokrasi Pancasila adalah individu, namun tujuan utamanya adalah untuk kepentingan bersama. Pada satu sisi, rakyat secara individual, memegang kedaulatanya masing-masing. Namun titik temu di antara kedaulatan yang individualistis tersebut, harus diwujudkan melalui makanisme musyawarah untuk mufakat berdasarkan cita hikmat-kebijaksanaan, atau melalui mekanisme yang tidak bertentangan dengan nilai dasar Pancasila. 

Secara umum, demokrasi dapat dimaknai sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat. Nilai demokrasi diharapkan senantiasa hidup, baik dalam tahap pengambilan, pelaksanaan, maupun refleksi terhadap tujuan keputusan bersama. Ringkasnya, bisa dikatakan bahwa inti dari demokrasi adalah bagaimana rakyat memegang kedaulatan atas proses pemerintahan negara. Rakyat adalah penentu kebijakan. Oleh karena itu, di luar mekanisme permusyawaratan oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat, mekanisme apa pun dapat dianggap demokratis, asalkan mendudukkan rakyat sebagai basis utamanya.

Merujuk pada nilai esensial demokrasi di atas, mekanisme suara terbanyak juga tetap demokratis, sebab rakyat jualah yang menentukan pilihannya. Antara mekanisme musyawarah atau voting, menurut Munir Fuady (Konsep Negara Demokrasi, 2010: 188-189), tidak boleh dianggap saling bertentangan. Bahkan sebaliknya, mekanisme voting, hadir sebagai solusi atas mekanisme musyawarah untuk mufakat. Kata mufakat yang bermakna win-win solution, sebagai hasil akhir musyawarah, kadang kala sulit tercapai. Pada kondisi itulah, penggunaan mekanisme voting berdasarkan metode one man one vote, dianggap lebih realistis.

Realitas Demokrasi Indonesia

Dari segi bentuk, demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, khususnya dalam perumusan kebijakan pemerintahan adalah demokrasi perwakilan. Beberapa orang yang telah memegang mandat rakyat melalui mekanisme tertentu, bertindak atas nama dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Para perwakilan itulah yang akan memusyawarahkan urusan kerakyatan.

Demokrasi perwakilan dianggap sebagai pengejawantahan dari frasa “permusyawaratan/perwakilan” dalam sila ke empat Pencasila. Melalui musyawarah, pengambilan keputusan telah dianggap demokratis, meski keterlibatan rakyat bersifat tidak langsung. Bentuk ini bisa dipertentangkan dengan demokrasi langsung, yang memberikan kewenangan kepada setiap individu rakyat untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintahan, misalnya melalui referendum.

Tidak terlibatnya rakyat secara langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintahan pada bentuk demokrasi perwakilan, bukan berarti bahwa rakyat kehilangan kedaulatannya. Rakyat tetaplah menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, namun kedulatannya itu telah dimandatkan kepada beberapa orang yang dapat saja dicabut melalui cara-cara yang konsitusional. Proses pemandatan itu, selama ini, diwujudkan melalui pemilihan umum dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak (voting), yang tiada lain adalah bentuk demokrasi langsung. 

Sekilas, uraian di atas menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia, mempraktikkan mekanisme musyawarah ataupun voting. Namun jika dikaji lebih dalam, ada dua masa yang berbeda terkait pelaksanaan dua mekanisme demokrasi tersebut, yaitu di masa praperwakilan dan masa perwakilan. Pada masa praperwakilan, di tahap masyarakat mencari mandatarisnya,  mekanisme demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia adalah voting. Rakyat memilih perwakilannya secara langsung dan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. 

Di sisi lain, pada masa perwakilan, ketika telah terpilih sejumlah orang sebagai pemegang mandat rakyat, berlakulah mekanisme musyawarah untuk mufakat. Pada forum-forum pengambilan kebijakan di badan legislatif dan juga eksekutif, ketentuan undang-undang senantiasa mewajibkan untuk mendahulukan penggunaan mekanisme musyawarah untuk mufakat. Namun jika tidak diperoleh kesepakatan melalui musyawarah, mekanisme voting menjadi jalan yang dibenarkan.

Pada titik ini, dapatlah disimpulkan bahwa dalam proses pemilihan perwakilan rakyat, Indonesia masih pakem pada demokrasi langsung, yaitu melalui voting. Sedangkan terkait pengambilan keputusan kerakyatan di antara orang-orang dan organ-organ perwakilan rakyat, senantiasa mengutamakan mekanisme musyawarah untuk mufakat, meski selalu memungkinkan mekanisme suara terbanyak jika terjadi deadlock.

Mengenai terminologi siapa “perwakilan” rakyat, secara umum, senantiasa dilekatkan pada orang-orang terpilih yang duduk di badan legislatif (MPR, DPR, dan DPD). Hal itu karena lembaga legislatif lekat dengan fungsi pengawasan, yang kemudian memungkinkan badan tersebut mengontrol kebijakan pemerintahan demi kepentingan rakyat. Di badan legislatif pula, ditetapkan hal-hal terkait angggaran dan sekelumit aturan menyangkut kepentingan bangsa dan negara.

Di sisi lain, kedudukan lembaga eksekutif secara fungsional, bisa pula dianggap sebagai perwakilan rakyat. Bagaimana pun juga, pemegang kekuasaan eksekutif, tetap memiliki tanggung jawab yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat. Namun demikian, kedudukan lembaga eksekutif selama ini, memang hanya dianggap sebagai pelaksana amanat rakyat yang telah diformulasikan di badan legislatif.

Akhirnya, pembagaian makna terminologi “perwakilan” rakyat seperti di atas, hanya perlu dilakukan jika mengkaji dari segi fungsi dan kewenangan lembaga negara. Namun secara umum, bisa dikatakan bahwa segala pejabat dan penyelenggara negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat, otomatis menjadi perwakilan rakyat.

Sikap Terbaik

Tak diragukan lagi bahwa sistem pemerintahan di Indonesia, dikelola secara demokratis. Rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi. Jika sebelum amandemen konsitusi UUD Tahun 1945, MPR didudukan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, yang berarti bahwa MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka kini, pascaamandemen yang mengubah sistem kelembagaan negara, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.

Masalah mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi, apakah musyawarah atau voting, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Setidaknya, begitulah panduan tegas yang digariskan oleh Pasal 2 UUD Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Dan sampai saat ini, berdasarkan beragam undang-undang yang berlaku, Indonesia masih membenarkan mekanisme voting, meski musyawarah senantiasa diutamakan. 

Pertanyaan besar dalam upaya mencari korelasi demokrasi dengan Pancasila adalah menjawab pertanyaan: apakah frasa “kerakyatan yang dipimpin” dan frasa “dalam permusyawaratan/perwakilan” berbicara soal tata cara pemilihan pemimpin, dalam hal ini pemilu, ataukah berbicara pada ranah pengambilan kebijakan pemerintahan oleh pihak-pihak yang telah dimandatkan sebagai perwakilan rakyat? Jawaban tentu beragam. 

Akhirnya, Pancasila sebagai ideologi terbuka, tentu tidak patut didasarkan pada satu tafsir saja. Apakah pelaksanaan demokrasi Pancasila harus melalui musyawarah untuk mufakat atau juga membenarkan mekanisme suara terbanyak, hanya dapat didasarkan pada bagaimana panduan hidup bernegara terrsebut dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. 

Kiranya, yang lebih penting daripada memperdebatkan apakah sistem demokrasi saat ini bertentang dengan Pancasila atau tidak, adalah menelaah sejauh mana rakyat dilibatkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejauh mana aspirasi rakyat mewujud dalam kebijakan pemerintahan. Yang pasti, sejauh pelaksanaan demokrasi masih mendudukkan rakyat sebagai basis utama, serta dilaksanakan berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku, tak patut menganggap demokrasi bertentangan dengan Pancasila.

Populisme dan Persekusi

Beberapa aksi persekusi menjadi viral dan diperbincangkan di media massa belakangan ini. Ada kasus Fiera Lovita, seorang dokter yang digeruduk anggota organisasi masyarakat (ormas). Itu terjadi setelah ia mengunggah status di Facebook yang dinilai para simpatisan ormas, melecehkan tokoh penutan mereka. Ada juga kasus seorang anak berumur 15 tahun berinisial PMA yang diintimidasi sekelompok orang, juga karena dinilai melecehkan tokoh ormas yang sama. Dua kasus ini hanya bagian kecil dari sekitar 60 kasus persekusi selama lima bulan terakhir menurut catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), yang sebagaian besar berawal dari unggahan di media sosial.
 
Maraknya kasus persekusi, tak pelak menimbulkan kesan teror bagi siapa pun. Selain dampak traumatis bagi korban, persekusi juga ampuh memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat secara umum. Atas tindakan persekusi, orang-orang menjadi takut berpendapat dan berekspresi untuk soal-soal tententu, baik secara langsung maupun melalui dunia maya. Mereka takut dipersalahkan secara semena-mena. Apalagi tindakan persekusi yang terjadi, sering kali hanya didasari penilaian dan kesimpulan sepihak para pelaku atas perihal yang dianggap singgungan atau hinaan.

Dari rentetan kasus yang telah terjadi, persekusi patut dipandang sebagai problem yang penting. Pemerintah dan para penegak hukum, perlu melakukan tindakan secara menyeluruh dalam menyeselaikan persoalan ini, bukan sekadar dengan menindak pelaku secara perorangan saja. Apalagi persekusi selalu mengandalkan dan memanfaatkan ranah kolektif masyarakat. Ini berarti bahwa persekusi terjadi bukan karena tindakan spontan dan individual, tapi ada keutuhan psikologis yang membuat para pelaku bersatu dan bergerak bersama. Ada kesatuan massa yang disatukan oleh emosi yang sama.

Populisme Sesat

Tindakan persekusi, tentu sebuah ironi di negara yang mendaku berdasarkan hukum. Penyelesaian masalah secara sepihak, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum negara yang memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian masalah. Mempersalahkan dan mengintimidasi seseorang tanpa proses sesuai aturan hukum, adalah tindakan penggembosan peran penegak hukum yang berwenang. Hingga munculnya asumsi bahwa hukum patut diabaikan karena sudah tak lagi mampu mewujudkan keadilan, adalah racun yang harus segera dibersihkan.

Tak bisa dimungkiri, bahwa pada satu sisi, maraknya tindakan persekusi, terjadi seiring dengan lemahnya penegakan hukum. Anggapan miring terhadap hukum yang didasari oleh rasa keadilan yang egoistis, sering kali menjadi pendorong utama timbulnya tindakan persekusi. Sebagai istilah lain dari tindakan main hakim sendiri, persekusi dianggap sejumlah orang sebagai cara terbaik dalam menyelesaikan masalah. Anggapan demikian, akan semakin menyebar dan menguat di bawah kata-kata “antihukum” dari segelintir tokoh massa yang merasa tak diuntungkan oleh proses hukum.

Sisa-sisa pilkada DKI Jakarta, setidaknya cocok untuk menggambar betapa besarnya pengaruh ketokohan dalam menggerakkan massa, juga dalam membangun cara pandang terhadap hukum. Sebelum, saat, dan setelah pilkada berlangsung, masyarakat ibu kota, bahkan seluruh warga Indonesia, berdiri tegak dalam ranah kekubuan yang saling berlawanan. Masyarakat terpecah secara ektrem dalam sikap pro dan kontra atas dasar unsur SARA, utamanya unsur agama yang terus menyelubungi proses pilkada hingga usai, bahkan hingga saat ini. Akhirnya, masyarakat yang terbelah karena mengekor pada tokoh-tokoh yang berseberangan, kukuh membela pandangan tokoh mereka masing-masing.

Pilkada Jakarta yang berhasil memunculkan tokoh dengan massa pendukung yang besar, menjadi satu fenomena tersendiri. Para tokoh dengan penuh kharisma, mampu menggerakkan pengikutnya untuk berlawanan sikap dengan kelompok lain. Sedang di satu sisi, para simpatisan turut saja melaksanakan petuah-petuah tokoh mereka, tanpa merasa perlu untuk berpikir-pikir. Massa dalam setiap kelompok sibuk merintangi dan mengimbangi kelompok lawan sesuai petunjuk tokoh, hingga lupa -kalau tidak mau dibilang tak ingin- melakukan autokritik terhadap kelompoknya sendiri. Tokoh dan massa menjadi modal dan alasan pembenar, meski harus berlawanan dengan aturan yang mapan, termasuk hukum negara.

Pantaslah jika konsep populisme dilekatkan pada fenomena persekusi. Setidaknya, pada beberapa kasus, kita dapat melihat bahwa tindakan persekusi yang jelas melanggar hukum, juga dipengaruhi unsur ketokohan. Hanya karena merasa sosok tokohnya dilecehkan atau diperlakukan secara tidak adil, mereka rela melakukan apa pun, termasuk mengabaikan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, tokoh kelompok pelaku persekusi, malah sering kali mengeluarkan pernyataan yang merangsang tindakan brutal para pengikutnya terhadap kelompok lain atau terhadap sistem negara. 

Konsep populisme yang secara teori lekat dengan unsur ketokohan, perasaan tertindas atau ketidakadilan, juga ketidakpercayaan terhadap sistem, tampak jelas dari tindakan persekusi yang terjadi belakangan ini. Para tokoh populis, senantiasa menggelorakan rasa kekecewaan, ketidakadilan, dan ketidakpercayaan pada mekanisme hukum. Bahkan pada sisi lain, secara tersirat ataupun tersurat, para tokoh persekusi berani "menganjurkan" kepada massa pengikutnya untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok dan sistem yang bertentangan dengan mereka. Dan pada kondisi ini, para anggota kelompok yang menghamba secara buta-buta, akan merasa bertanggung jawab untuk membela tokoh atau kelompoknya, bahkan bila harus dengan tindakan fisik dan melanggar hukum.

Bias Dunia Maya

Yang menarik dari maraknya aksi persekusi belakangan ini adalah soal sarana pemicunya: dunia maya. Berawal dari unggahan status di media sosial, seseorang dengan mudah dicap melecehkan oknum tertentu, hingga dianggap layak untuk diintimidasi. Paling tidak kesimpulan ini dapat dilihat dari dua kasus yang digamparkan di awal tulisan ini.

Unggahan status yang berbuntut tindakan persekusi, akhirnya menegaskan fenomena baru, bahwa dunia maya, kini menjadi dunia yang lebih menakutkan daripada realitas hidup di dunia nyata. Orang-orang dengan mudah mengunggah untaian kata dalam bentuk tulisan, audio, maupun video, dan dengan mudah pula, orang lain memberikan penafsiran sepihak atas ungggahan itu.

Mengunggah status dan komentar di media sosial, bukanlah tindakan yang melulu tentang diri sediri. Sebagai ruang khalayak ramai dengan berbagai latar belakang, unggahan di media sosial tetap rentan menyingung atau menghina perasaan orang lain. Hal itu tentu lumrah dalam komunikasi dunia maya, sebab orang hanya menafsirkan unggahan secara tektual, tanpa berdikusi dan berkomunikasi secara intensif. Namun ketersinggungan di media sosial akan berdampak fatal jika sebuah unggahan yang dianggap negatif, disikapi dengan hasutan untuk mengintimidasi si pengunggah. Ini jelas rentan terjadi jika unggahan menyentil unsur pemersatu kelompok tertentu, termasuk para tokoh populis.

Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa tindakan mengunggah status yang bermakna negatif, semisal memojokkan, menghina, atau menghujat, dapat dibenarkan. Tapi bagaimana pun juga, dengan longgarnya “pergaulan” di dunia maya, sulit untuk mengadakan kontrol secara menyeluruh atas semua unggahan status dan komentar. Pada titik inilah, kesabaran untuk saling mendidik di dunia maya, perlu untuk dilakukan, ketimbang saling memperkarakan di dunia nyata. Kiranya, menasihati lebih penting, ketimbang menggelorakan ujaran kebencian pada seseorang atau kelompok tertentu. Kita perlu mendewasakan diri untuk menganggap dunia maya tak lebih penting dari dunia nyata.

Akhirnya, yang lebih perlu dilakukan adalah menjamin bahwa unggahan bernada negatif, tidak berbentuk hasutan atau ujaran kebencian pada seseorang atau sekelompok orang, sebab itu jelas melanggar hukum dan rentan memicu reaksi berlebihan. Jika pada satu sisi, seseorang menganggap sebuah unggahan di dunia maya bernada negatif untuk diri atau kelompoknya, maka selayaknya tidak dibalas dengan unggahan yang menghasut untuk mengintimidasi si pengunggah status atau komentar. Ada mekanisme damai yang kiranya perlu ditempuh, atau paling banternya menempuh prosedur hukum yang berlaku. 

Tindakan Yang Perlu

Yang perlu dilakukan saat ini adalah penegakan hukum secara tegas kepada setiap pelaku persekusi. Pihak kepolisian harus hadir di tengah masyarakat untuk memberikan jaminan bahwa konflik tanpa batas di dunia maya, tak akan sampai menimbulkan korban di dunia nyata. Pihak kepolisian harus mengambil tindakan cepat, sebelum oknum-oknum yang mengamini pernyataan tokoh populis, baik pernyataan secara langsung maupun melalui media maya, termakan hasutan dan bertindak semena-mena.

Dunia maya sebagai titik lahir tindakan persekusi, juga sebisa mungkin disterilkan dari unggahan-unggahan yang bernada negatif, apalagi yang menyinggung unsur-unsur SARA. Pemerintah dan penegak hukum harus membangun sistem yang tepat untuk memonitoring aktivitas warga dunia maya, kemudian mengambil tindakan cepat jika menemukan unggahan negatif, utamanya yang bersifat menghasut. 

Di sisi lain, upaya-upaya pendekatan kepada kelompok populis yang terlibat atau berpotensi terlibat dalam tindakan persekusi, juga harus dilakukan. Para pengikut tokoh populis yang taklid secara membabi buta, harus dibina dan ditindak oleh pihak kepolisian. Mereka tak boleh dibiarkan menyesesaikan persoalan dengan cara main hakim sendiri, sebab jika itu terjadi, mereka akan merasa menang dan ketagihan untuk melakukan tindakan persekusi secara berulang-ulang.

Tak kalah penting, pemerintah harus melakukan upaya pendekatan kepada tokoh penggerak kelompok populis. Pemerintah harus mengajak mereka untuk turut menebarkan pesan perdamain, ketimbang memperuncing perbedaan dan memanaskan suasana. Jika upaya itu berhasil, bisa dipastikan bahwa perasaan saling memandang hina dan rendah di antara kelompok massa, akan sirna. Namun akhirnya, jika upaya-upaya persuasif telah dilakukan oleh aparat penegak hukum, namun kelompok massa tetap melakukan tidakan persekusi, maka polisi harus bertindak tegas. Hukum tak boleh kalah oleh aksi premanisme.

Minggu, 04 Juni 2017

Cinta Pertama

Jauh di masa lampau, aku kerap melihat ibuku menyibukkan diri di taman. Saat pagi, dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, ia senantiasa membersihkan, memangkas, dan menyiram segala macam tanaman bunga di halaman rumah. Dan kala sore hari, kami sekeluarga sering melewatkan kebersamaan di taman itu, entah untuk sekadar bersantai, atau bercengkerama tentang kisah-kisah kami sehari penuh.
 
Semua gambaran itu, akhirnya sirna sejak dua bulan yang lalu. Di taman, aku tak lagi melihat ibuku seceria dahulu. Raut wajahnya tampak layu di antara bunga-bunga yang masih bermekaran di bawah pemeliharaanku. Tiap kali duduk di bangku taman, ia hanya akan berdiam diri, termenung, sambil mengusap-usap cincin pernikahan di jari manisnya. Atas semua itu, aku bisa memastikan, perubahan sikapnya terjadi setelah cinta pertamanya, ayahku, meninggal dunia.

Dan pada satu pagi, saat aku selesai mengurus tetumbuhan yang terhampar indah, aku pun menghampiri ibuku di bangku taman. Aku hendak mengobrol sekaligus mengikis kesedihannya yang mendalam. Ada ketidaksabaran di hatiku, melihat sikapnya yang tak juga berubah. “Apa satu bulan belum cukup bagi Ibu untuk mengikhlaskan kepergian Ayah?” Aku bertanya lugas, sedikit segan.

Ia sontak menoleh padaku. “Itu tak mudah, Nak. Bagimana pun juga, rasa cinta antara kita dan dia, tak akan menghilang begitu saja,” katanya, dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku selalu merindukan kebersamaan kita dahulu. Jika saja itu masih mungkin.”

“Aku paham, Bu. Tapi setidaknya, kesedihan jangan sampai membuat Ibu lupa untuk membangun masa depan. Bagaimana pun juga, aku yakin, Ayah tak akan pernah menginginkan kita bersedih sepanjang waktu kepergiannya,” kataku, kemudian bertutur sedikit lancang, “Jika aku bisa setabah ini, ibu juga harus bisa. Ada baiknya jika kita berdoa untuknya ketimbang terus-terusan bersedih, Bu.”

Sorot matanya, menatapku semakin tajam. Kuduga, ia tersinggung atas nasihatku, dan amarahnya akan meluap. Tapi ketakutanku, salah. Ia bisa mengerti maksud perkataanku. “Ya. Kau benar. Tapi aku butuh waktu, Nak,” katanya.

Selepas itu, aku diam saja, sambil mengkhayalkan betapa dalamnya luka yang ditorehkan cinta yang dalam. Bias-bias tanya, muncul juga di benakku, tentang apa gunanya kita mencintai jika akhirnya perpisahan yang pasti, akan membuat kita bersedih setengah mati.

Setelah terdiam beberapa saat, ibuku  pun mengalihkan pembicaraan pada topik yang lain. “Nak, umurmu sudah hampir tiga puluh tahun. Sudah waktunya kau menikah,” katanya, dengan satu senyuman yang kaku. “Kau tahu sendiri, kondisiku tak akan selalu baik seperti sekarang. Aku takut jikalau aku pergi menyusul Ayahmu, sedangkan kau belum juga menemukan pendamping hidup.”

Lagi-lagi, aku semakin tak habis pikir, bagaimana ibuku yang terluka karena cinta, menginginkan aku menuju luka yang sama. Jelas saja, aku sulit menerima nasihat itu, “Bu, mencari dan menemukan seorang pendamping hidup, tak semudah membalik telapak tangan. Kurasa, ibu sendiri yang pernah menasihatiku untuk mencari pendamping hidup dengan baik,” melasku, kemudian lekas memuji, “Sulit mencari wanita sebaik Ibu.”

Seketika, senyuman ibuku terlihat lebih menawan. Sesaat, kekakuan di wajahnya, tampak sirna. “Kau hanya perlu menjadi lelaki sebaik Ayahmu,” pesannya.
 
Aku tersenyum saja.

Akhirnya, obrolan pagi itu berakhir. Aku masih dengan kebekuan hatiku tentang cinta, sedangkan ibuku masih dengan kenangan indahnya tentang cinta.

Tak terasa, waktu cepat berlalu, hingga sampailah aku di keadaan seorang diri. Setelah ditinggal pergi sosok ayah, kini, ibuku pun menyusul. Ia meninggal dengan duka hatinya yang tak kunjung sirna. Rasa sedih dan sepi, akhirnya menghujam perasaanku begitu dalam. Tapi, aku bersyukur, bahwa cukuplah aku yang berkabung ditinggal seorang diri. Aku bersyukur, sebab ibuku tak perlu merasakan kehilangan yang mendalam untuk kedua kalinya.

Kini, di tengah kesendirian, kukecap lagi harapan dan nasihat ibuku yang tak sempat kuwujudkan: tentang pendamping hidup. Tapi sekuat apa pun keadaan meruntuhkan anggapanku tantang candunya racun cinta, tetap tak mengubah apa-apa. Sampai saat ini, aku masih saja dengan sikap yang sama. Aku masih betah sendiri. Aku belum berhasrat menjatuhkan perasaan pada seorang wanita. Tidak kepada siapa pun, sebab aku mengerti bahwa cinta pasti berujung luka.

Sungguh, aku mengerti pahitnya mencintai dan dicintai begitu dalam dan buta-buta. Aku tahu itu dari kisah ayah dan ibuku. Sepeninggal ayah, ibuku terus hidup dengan duka yang meresap di hatinya. Ia tak bisa bangkit lagi. Padahal jika aku jadi dia, aku tak akan mengambil sikap yang sama, sebab aku selalu ragu ada cinta yang benar-benar sejati. Selalu banyak rahasia yang menyelubungi kata cinta yang manis.

Seketika, aku teringat lagi atas sebuah rahasia antara aku dan ayahku. Satu rahasia besar yang tersembunyi dari ibuku. Rahasia itu kuketahui menjelang kematian ayahku.

“Nak, aku ingin menitip pesan padamu, yang tak mungkin kutitipkan kepada yang lain, bahkan pada Ibumu,” kata ayahku, terbata-bata.

“Apa Ayah? Katakana saja,” pintaku.

Dengan napas yang tersengal-sengal, ia kemudian menerangkan, “Maafkan aku, Nak. Kau bukanlah anakku satu-satunya. Sejujurnya, aku telah menikah dengan seorang wanita yang lain. Aku memiliki seorang anak darinya, seorang perempuan, saudarimu sendiri.”

Waktu itu, aku sungguh kaget dan tak percaya. Tapi melihat keadaannya yang memprihatinkan, rasa iba, mampu juga meredam semua jenis perasaanku yang lain padanya.

“Aku mohon sepeninggalku, kau harus  bertemu dengannya. Bagaimana pun juga, kalian bersaudara. Aku ingin kalian saling menjaga,” pintanya, lalu menerangkan alamat rumah istri keduanya; istri rahasianya.

Atas rahasia besar itu, juga atas kesedihan yang mengantarkan ibuku menuju kematian, aku mengerti bahwa cinta hanya tentang tinggal-meninggalkan, luka-melukai, khianat-mengkhianati. 

Namun, kesimpulan itu belum benar-benar membunuh benih cintaku. 

Hingga, di waktu yang lalu itu pula, kala cintaku sedang mekar-mekarnya pada seseorang wanita, kutelusurilah alamat yang diberikan ayahku. Hingga akhirnya kutemukan sebuah kenyataan pahit, bahwa seseorang yang selama itu kudambakan menjadi mendamping hidup adalah saudara kandungku sendiri. 

Sejak saat itu, cinta pertamaku terenggut dan harus terbunuh. Setelahnya, aku tak ingin lagi mengenal cinta.